25.2 C
Bojonegoro
Thursday, June 1, 2023

Khorij Zaenal Asrori

Sekolah Rakyat dan Dinamika Berebut Siswa

- Advertisement -

SEKOLAH Rakyat (SR) enam tahun. Itulah potret pendidikan masa kolonialisme militer Jepang menduduki Kabupaten Bojonegoro. Pendidikan tingkat dasar dijadikan satu macam saja, sehingga tidak ada sekolah lima tahun atau tujuh tahun, seperti dipraktikkan pemerintahan Belanda.

 

SR enam tahun atau Kokumin Gako ini menggantikan vervolk school dan volkschool dari Belanda. Dari dua atau tiga desa, terdapat SR enam tahun ini. Jepang juga menerapkan Cu Gako sebagai sekolah jenjang menengah tiga tahun.

 

Dikutip dari buku Sejarah Kabupaten Bojonegoro (Menyingkap Kehidupan dari Masa ke Masa), Cu Gako ini menggantikan sekolah menengah dulunya bernama MULO. Sekolah menengah ini hanya ada satu di setiap kabupaten atau karisidenan. Berarti dulu di Bojonegoro hanya ada satu sekolah ini. Pengantar dengan bahasa Belanda.

- Advertisement -

 

Melihat potret pendidikan masa penjajahan, betapa sedikitnya sekolah. Betapa minimnya masyarakat mengenyam pendidikan. Betapa sulitnya masyarakat mengakses lembaga pendidikan. Seakan ini menjadi cerita, karena saat ini justru sebaliknya. Sekolah kesulitan mendapat siswa. Sekolah-sekolah berebut mendapatkan siswa demi memenuhi pagu.

 

Saat ini jumlah sekolah seakan menumpuk. Sekolah telanjur bertebaran. Sampai-sampai dinas pendidikan, mulai memproteksi izin pendirian sekolah baru. Jika dibiarkan, kian banyak yang mengajukan izin pendirian sekolah.

 

Dalam dua minggu ini, penerimaan peserta didik baru (PPDB) SMPN di Bojonegoro jalur zonasi cukup menyita publik. PPDB digelar lebih awal, ternyata hasilnya belum maksimal, mengingat tahun lalu biasanya digelar setiap Juni. Dari 49 SMPN di Bojonegoro, ternyata 40 SMPN gagal memenuhi pagu siswa. Bahkan, terdapat SMPN di perkotaan sampai gagal memenuhi pagu. Ini menjadi rekor, selama ini SMPN di perkotaan kerap kali kelebihan siswa.

 

Perpanjangan waktu PPDB selama tiga hari, ternyata juga belum memberi kontribusi besar. Pendaftar ternyata masih sedikit. Hasil evaluasi Disdik Bojonegoro, akhirnya tidak ada perpanjangan PPDB lagi. Terpaksa sebanyak 1.642 pagu dibiarkan kosong. Total pagu PPDB dari 49 SMPN ini 10.080 kursi. Hanya, terisi 8.438 siswa.

 

Yang mengusik, ke mana lulusan SD ini mendaftar? Ini cukup beralasan. Sebab, total lulusan SD sekitar 13.000 siswa. Jumlah itu belum ditambah lulusan madrasah ibtidaiyah (MI) sekitar 5.000 siswa. Tentu, PPDB SMPN yang baru menampung 8.438 siswa, sisanya sekitar 5.000 lulusan SD bersekolah ke mana? Disdik setempat mengevaluasi, diprediksi sisa sekitar 5.000 lulusan SD ini melanjutkan sekolah di SMP swasta, MTs, hingga pondok pesantren (ponpes).

 

Dua hari lalu ngobrol dengan seorang praktisi pendidikan. Mantan guru dan kepala sekolah. Sudah bertahun-tahun bertugas di dinas pendidikan. Jedug, istilahnya kalau ditanya seputar sistem lembaga pendidikan dan pengajarnya. Namun, begitu kasihan ketika melihat hasil PPDB jenjang SMPN tahun ini.

 

Menurut dia, era serbadigital ini, sekolah tetap harus mengedepankan kualitas. Meski ada zonasi, tetap saja sekolah harus memprioritaskan kualitas pendidikan. Tidak menjamin, ketika bergulir sistem PPDB zonasi, faktanya masih saja sekolah kesulitan mendapat siswa baru. Sekolah harus punya identitas dengan ciri khas tersendiri. Seakan mudah, tapi membentuk identitas itu sulit.

 

Faktor lainnya, kolaborasi pendidikan sains dan agama perlu kembali dihidupkan lagi. Faktor inilah memicu banyak warga beralih mendaftarkan putra-putrinya di sekolah berbasis agama. Pendirian sekolah baru, rerata berkonsep sains dan agama. Ternyata, pendaftarnya justru membeludak. Memang belum ada riset dan penelitian tentang kolaborasi itu. Tapi, faktanya sekolah berbasis agama siswanya banyak.

 

Tahun-tahun sebelumnya, ada program SD Mengaji, begitu pun SMP. Saban hari siswa SD dan SMP sebelum belajar di kelas, menghafal juz amma dan Salat Duha berjamaah. Nantinya, saat lulus, siswanya hafal juz amma. Nuansa ini perlu digulirkan lagi.

 

Masih dalam obralan dengan  sosok magister itu, dia menjelaskan bahwa kebanyakan guru atau pendidik saat ini merasa nyaman. Baik guru ASN maupun honorer yang sudah memiliki nomor unik pendidik dan tenaga kependidikan (NUPTK). Rerata mereka sadar, sulit untuk diberhentikan di tengah jalan.

 

Berbeda dengan guru di sekolah swasta. Gajinya dari sekolah atau yayasan. Tentu, apabila tidak kerja cepat dengan kualitas, tentu bisa diberhentikan di tengah jalan. Tak heran, gaji mereka rela untuk ikut workshop, les penambahan materi dan skill lainnya dengan pengembangan kapasitas.

 

Namun, gagalnya 40 SMPN memenuhi pagu ini ada kendala regulasi yang dialami. Di tengah himpitan itu, PPDB SMPN harus ada batas waktunya karena ada seperangkat aturan mengaturnya. Berbeda dengan sekolah dan madrasah lainnya, terutama swasta, ternyata mereka bebas merekrut siswa baru. Bahkan, ketika SMPN menutup PPBD, mereka masih membuka pendaftaran.

 

Nah, kini kita menatap PPDB jenjang SMAN dan SMKN. Apakah nasibnya sama dengan jenjang SMPN. Mari menunggu dinamika pendaftaran siswa berbasis meteran ini atau zonasi. (*)

 

 

*) Wartawan Radar Bojonegoro

SEKOLAH Rakyat (SR) enam tahun. Itulah potret pendidikan masa kolonialisme militer Jepang menduduki Kabupaten Bojonegoro. Pendidikan tingkat dasar dijadikan satu macam saja, sehingga tidak ada sekolah lima tahun atau tujuh tahun, seperti dipraktikkan pemerintahan Belanda.

 

SR enam tahun atau Kokumin Gako ini menggantikan vervolk school dan volkschool dari Belanda. Dari dua atau tiga desa, terdapat SR enam tahun ini. Jepang juga menerapkan Cu Gako sebagai sekolah jenjang menengah tiga tahun.

 

Dikutip dari buku Sejarah Kabupaten Bojonegoro (Menyingkap Kehidupan dari Masa ke Masa), Cu Gako ini menggantikan sekolah menengah dulunya bernama MULO. Sekolah menengah ini hanya ada satu di setiap kabupaten atau karisidenan. Berarti dulu di Bojonegoro hanya ada satu sekolah ini. Pengantar dengan bahasa Belanda.

- Advertisement -

 

Melihat potret pendidikan masa penjajahan, betapa sedikitnya sekolah. Betapa minimnya masyarakat mengenyam pendidikan. Betapa sulitnya masyarakat mengakses lembaga pendidikan. Seakan ini menjadi cerita, karena saat ini justru sebaliknya. Sekolah kesulitan mendapat siswa. Sekolah-sekolah berebut mendapatkan siswa demi memenuhi pagu.

 

Saat ini jumlah sekolah seakan menumpuk. Sekolah telanjur bertebaran. Sampai-sampai dinas pendidikan, mulai memproteksi izin pendirian sekolah baru. Jika dibiarkan, kian banyak yang mengajukan izin pendirian sekolah.

 

Dalam dua minggu ini, penerimaan peserta didik baru (PPDB) SMPN di Bojonegoro jalur zonasi cukup menyita publik. PPDB digelar lebih awal, ternyata hasilnya belum maksimal, mengingat tahun lalu biasanya digelar setiap Juni. Dari 49 SMPN di Bojonegoro, ternyata 40 SMPN gagal memenuhi pagu siswa. Bahkan, terdapat SMPN di perkotaan sampai gagal memenuhi pagu. Ini menjadi rekor, selama ini SMPN di perkotaan kerap kali kelebihan siswa.

 

Perpanjangan waktu PPDB selama tiga hari, ternyata juga belum memberi kontribusi besar. Pendaftar ternyata masih sedikit. Hasil evaluasi Disdik Bojonegoro, akhirnya tidak ada perpanjangan PPDB lagi. Terpaksa sebanyak 1.642 pagu dibiarkan kosong. Total pagu PPDB dari 49 SMPN ini 10.080 kursi. Hanya, terisi 8.438 siswa.

 

Yang mengusik, ke mana lulusan SD ini mendaftar? Ini cukup beralasan. Sebab, total lulusan SD sekitar 13.000 siswa. Jumlah itu belum ditambah lulusan madrasah ibtidaiyah (MI) sekitar 5.000 siswa. Tentu, PPDB SMPN yang baru menampung 8.438 siswa, sisanya sekitar 5.000 lulusan SD bersekolah ke mana? Disdik setempat mengevaluasi, diprediksi sisa sekitar 5.000 lulusan SD ini melanjutkan sekolah di SMP swasta, MTs, hingga pondok pesantren (ponpes).

 

Dua hari lalu ngobrol dengan seorang praktisi pendidikan. Mantan guru dan kepala sekolah. Sudah bertahun-tahun bertugas di dinas pendidikan. Jedug, istilahnya kalau ditanya seputar sistem lembaga pendidikan dan pengajarnya. Namun, begitu kasihan ketika melihat hasil PPDB jenjang SMPN tahun ini.

 

Menurut dia, era serbadigital ini, sekolah tetap harus mengedepankan kualitas. Meski ada zonasi, tetap saja sekolah harus memprioritaskan kualitas pendidikan. Tidak menjamin, ketika bergulir sistem PPDB zonasi, faktanya masih saja sekolah kesulitan mendapat siswa baru. Sekolah harus punya identitas dengan ciri khas tersendiri. Seakan mudah, tapi membentuk identitas itu sulit.

 

Faktor lainnya, kolaborasi pendidikan sains dan agama perlu kembali dihidupkan lagi. Faktor inilah memicu banyak warga beralih mendaftarkan putra-putrinya di sekolah berbasis agama. Pendirian sekolah baru, rerata berkonsep sains dan agama. Ternyata, pendaftarnya justru membeludak. Memang belum ada riset dan penelitian tentang kolaborasi itu. Tapi, faktanya sekolah berbasis agama siswanya banyak.

 

Tahun-tahun sebelumnya, ada program SD Mengaji, begitu pun SMP. Saban hari siswa SD dan SMP sebelum belajar di kelas, menghafal juz amma dan Salat Duha berjamaah. Nantinya, saat lulus, siswanya hafal juz amma. Nuansa ini perlu digulirkan lagi.

 

Masih dalam obralan dengan  sosok magister itu, dia menjelaskan bahwa kebanyakan guru atau pendidik saat ini merasa nyaman. Baik guru ASN maupun honorer yang sudah memiliki nomor unik pendidik dan tenaga kependidikan (NUPTK). Rerata mereka sadar, sulit untuk diberhentikan di tengah jalan.

 

Berbeda dengan guru di sekolah swasta. Gajinya dari sekolah atau yayasan. Tentu, apabila tidak kerja cepat dengan kualitas, tentu bisa diberhentikan di tengah jalan. Tak heran, gaji mereka rela untuk ikut workshop, les penambahan materi dan skill lainnya dengan pengembangan kapasitas.

 

Namun, gagalnya 40 SMPN memenuhi pagu ini ada kendala regulasi yang dialami. Di tengah himpitan itu, PPDB SMPN harus ada batas waktunya karena ada seperangkat aturan mengaturnya. Berbeda dengan sekolah dan madrasah lainnya, terutama swasta, ternyata mereka bebas merekrut siswa baru. Bahkan, ketika SMPN menutup PPBD, mereka masih membuka pendaftaran.

 

Nah, kini kita menatap PPDB jenjang SMAN dan SMKN. Apakah nasibnya sama dengan jenjang SMPN. Mari menunggu dinamika pendaftaran siswa berbasis meteran ini atau zonasi. (*)

 

 

*) Wartawan Radar Bojonegoro

Artikel Terkait

Most Read

Berupaya Gelar Pasar Murah

Akses Jalan Desa Dukuhagung Terendam 

Genangan Belum Tertangani

Artikel Terbaru


/