31.2 C
Bojonegoro
Wednesday, June 7, 2023

Oleh: LUKMAN HAKIM *

Gerakan Samin dan Kearifan Ekologi

- Advertisement -

DI balik rindangnya hutan Blora, terlahir banyak tokoh mempunyai andil besar perjuangan melawan penjajah. Baik bergerak melalui media, budaya, dan gerakan massa. Saya maksudkan dalam tulisan ini adalah Sedulur Sikep atau pegikut ajaran Samin Surosentiko.

 

Sejarah orang-orang Samin sudah banyak diulas baik perjuangannya melawan penjajah dan ketertakaitan kehidupan dengan alam. Jika menghitung dari wafatnya Samin Surosentiko pada 1914 hingga zaman kiwari ini, sudah lebih dari satu abad. Sampai saat ini ajarannya masih menjadi fondasi bagi pengikutnya menjalani kehidupan.

 

Salah satu contoh paling dekat jika ingin melihat perlawanan Samin saat ini berada di wilayah Pegunungan Kendeng di Kabupaten Rembang. Gerakan penolakan Samin terhadap pabrik semen menguras pegunungan karst. Darah perlawanan Samin melekat, keseimbangan dan kelestarian alam menjadi landasan perjuangan tetap menggema.

- Advertisement -

 

Dalam lanskap gerakan perlawanan menjaga alam, jika meninjau perlawanan masayarakat India dengan Gerakan Chipko, memeluk pohon untuk menghentikan penebangan hutan masif. Gerakan perlawanan tanpa kekerasan sudah dilakukan lebih dahulu oleh Masyarakat Samin terhadap penjajah. Tentu bisa di bilang anti-mainstream, melawan tanpa sedikitpun melakukan kekerasan. Kalau anak sekarang istilahnya bersikap bodoamat atau bodoamat berlandaskan filosofi.

 

Sejarah mencatat, perlawanan Samin menjadikan belanda khawatir sehingga sang panutan dibuang ke Sawahlunto, Padang, Sumatera Barat. Setelah mendengar sang panutan meninggal, perlawanan Samin berkobar. Pengikutnya semakin banyak. Salah satu bentuk perlawanan yakni tidak berkenan membayar pajak dibebankan Hindia kepada pribumi.

 

Saat itu tidak terlepas dari kebijakan politik etis Belanda salah kaprah dalam praktiknya, misalnya terbit undang-undang Agrarische Wet 1870, dengan adanya staatsblad memutuskan penguasaan tanah, bagi masyarakat tidak bisa menunjukkan sertifikat tanah, diakui milik negara, atau saat itu disebut sebagai Domain Verklairing.

 

Beban rakyat, terutama petani semakin banyak, terlebih semua penggikut samin petani pengggarap sawah. Memanfaatkan hutan keberlangsungan hidup. Jika Samin Surosentiko sendiri lahir pada 1959, saat ada aturan tersebut disahkan, ia masih berusia 11 tahun. Sehinggga, kondisi itu memengaruhi keberpihakana kepada wong cilik.

 

Kalau bisa saya samakan gerakan tarekat di Indonesia juga memprakarsai perlawanan terhadap penjajah. Seperti Perang Paderi di Minangkabau atau Perang Diponegoro. Samin adalah perlawanan dengan metode pengasingan diri. Seperti diungkapkan Azyumardi Azra, bahwa gerakan perlawanan dari pengikut tarekat ada dua karakter. Yakni terbuka dan mengasingkan diri, menolak segala kebijakan Belanda.

 

Praktis penjajah tidak mendapatkan pajak. Selain perdagangan palawija, sumber kas Hindia adalah pajak sewa tanah. Ketakutan itu menjalar di tubuh penjajah, khawatir masyarakat menggikuti jejak pembelotan masyarakat Samin.

 

Potret seni perlawanan masyarakat Samin itu tumbuh dan sampai saat ini bisa dijadikan kawah candradimuka memperluas khazanah perlawanan kepada pihak sewenang-wenang merampas hak rakyat.

 

Yang menarik buat saya adalah perlawanan tersebut tidak hanya berdasar mempertahankan hak manusia, namun hak makhluk lain, yakni alam. Hubungan erat masyarakat Samin dengan alam tidak bisa diragukan. Masih saya ingat adalah filosofi ajaran tanah merupakan ibu bumi, memberikan manusia kehidupan.

 

Benar sekali, sebelum adanya maklumat tentang environmental etic atau etika lingkungan, masyarakat Samin mengamalkan ajaran keseimbangan dan saling membutuhkan antara manusia dengan alam. Kearifan ekologi dipegang teguh di persebaran masyarakat Samin seperti di Klopoduwur, Randublatung, Sambong, atau wilayah lainnya di Margomulyo, Bojonegoro. Dawuh-dawuh Ki Samin Surosentiko masih diugemi.

 

Saat ini usia perjuangan masyarakat Samin sudah mencapai satu abad lebih. Lebih tua dari usia kemerdekaan Indonesia. Semestinya kebijakan keluar dari pemerintah perlu menengok kembali apa pernah dilalui masyarakat Samin, seperti land reform, pengusaan tanah oleh negara dan penerapan UUPA 1960.

 

Saya selipkan sedikit ungkapan Gus Dur cukup berani saat menjadi Presiden, bahwa 40 persen tanah perkebunan negara atau hak guna usaha (HGU) dulunya diambil dari tanah rakyat oleh Belanda, maka pemerintah saat ini perlu membagikan lagi kepada rakyat.

 

Dalam hal ini, Samin sebagai gerakan, dan Samin sebagai ajaran mesti menjadi episentrum pengetahuan perlu dipelajari generasi saat ini. Stigma buruk berkembang saat masa penjajahan dan selama Orde Baru perlu dikikis dengan pembacaan sejarah secara menyeluruh.

 

Hingga kini saya masih optimistis jika masayarakat Samin masih berada di hutan Blora dan sekitarnya, kondisi hutan akan tetap lestari. Secara tidak sadar menyumbang keberlangsungan hidup masyarakat. Meski di beberapa persebaran, Samin sudah banyak beradaptasi dengan dunia modern. Jika asas ajaran Samin Surosentiko masih terpatri, alam akan terjaga keseimbangannya. (*)

 

*) Wartawan Jawa Pos Radar Bojonegoro

DI balik rindangnya hutan Blora, terlahir banyak tokoh mempunyai andil besar perjuangan melawan penjajah. Baik bergerak melalui media, budaya, dan gerakan massa. Saya maksudkan dalam tulisan ini adalah Sedulur Sikep atau pegikut ajaran Samin Surosentiko.

 

Sejarah orang-orang Samin sudah banyak diulas baik perjuangannya melawan penjajah dan ketertakaitan kehidupan dengan alam. Jika menghitung dari wafatnya Samin Surosentiko pada 1914 hingga zaman kiwari ini, sudah lebih dari satu abad. Sampai saat ini ajarannya masih menjadi fondasi bagi pengikutnya menjalani kehidupan.

 

Salah satu contoh paling dekat jika ingin melihat perlawanan Samin saat ini berada di wilayah Pegunungan Kendeng di Kabupaten Rembang. Gerakan penolakan Samin terhadap pabrik semen menguras pegunungan karst. Darah perlawanan Samin melekat, keseimbangan dan kelestarian alam menjadi landasan perjuangan tetap menggema.

- Advertisement -

 

Dalam lanskap gerakan perlawanan menjaga alam, jika meninjau perlawanan masayarakat India dengan Gerakan Chipko, memeluk pohon untuk menghentikan penebangan hutan masif. Gerakan perlawanan tanpa kekerasan sudah dilakukan lebih dahulu oleh Masyarakat Samin terhadap penjajah. Tentu bisa di bilang anti-mainstream, melawan tanpa sedikitpun melakukan kekerasan. Kalau anak sekarang istilahnya bersikap bodoamat atau bodoamat berlandaskan filosofi.

 

Sejarah mencatat, perlawanan Samin menjadikan belanda khawatir sehingga sang panutan dibuang ke Sawahlunto, Padang, Sumatera Barat. Setelah mendengar sang panutan meninggal, perlawanan Samin berkobar. Pengikutnya semakin banyak. Salah satu bentuk perlawanan yakni tidak berkenan membayar pajak dibebankan Hindia kepada pribumi.

 

Saat itu tidak terlepas dari kebijakan politik etis Belanda salah kaprah dalam praktiknya, misalnya terbit undang-undang Agrarische Wet 1870, dengan adanya staatsblad memutuskan penguasaan tanah, bagi masyarakat tidak bisa menunjukkan sertifikat tanah, diakui milik negara, atau saat itu disebut sebagai Domain Verklairing.

 

Beban rakyat, terutama petani semakin banyak, terlebih semua penggikut samin petani pengggarap sawah. Memanfaatkan hutan keberlangsungan hidup. Jika Samin Surosentiko sendiri lahir pada 1959, saat ada aturan tersebut disahkan, ia masih berusia 11 tahun. Sehinggga, kondisi itu memengaruhi keberpihakana kepada wong cilik.

 

Kalau bisa saya samakan gerakan tarekat di Indonesia juga memprakarsai perlawanan terhadap penjajah. Seperti Perang Paderi di Minangkabau atau Perang Diponegoro. Samin adalah perlawanan dengan metode pengasingan diri. Seperti diungkapkan Azyumardi Azra, bahwa gerakan perlawanan dari pengikut tarekat ada dua karakter. Yakni terbuka dan mengasingkan diri, menolak segala kebijakan Belanda.

 

Praktis penjajah tidak mendapatkan pajak. Selain perdagangan palawija, sumber kas Hindia adalah pajak sewa tanah. Ketakutan itu menjalar di tubuh penjajah, khawatir masyarakat menggikuti jejak pembelotan masyarakat Samin.

 

Potret seni perlawanan masyarakat Samin itu tumbuh dan sampai saat ini bisa dijadikan kawah candradimuka memperluas khazanah perlawanan kepada pihak sewenang-wenang merampas hak rakyat.

 

Yang menarik buat saya adalah perlawanan tersebut tidak hanya berdasar mempertahankan hak manusia, namun hak makhluk lain, yakni alam. Hubungan erat masyarakat Samin dengan alam tidak bisa diragukan. Masih saya ingat adalah filosofi ajaran tanah merupakan ibu bumi, memberikan manusia kehidupan.

 

Benar sekali, sebelum adanya maklumat tentang environmental etic atau etika lingkungan, masyarakat Samin mengamalkan ajaran keseimbangan dan saling membutuhkan antara manusia dengan alam. Kearifan ekologi dipegang teguh di persebaran masyarakat Samin seperti di Klopoduwur, Randublatung, Sambong, atau wilayah lainnya di Margomulyo, Bojonegoro. Dawuh-dawuh Ki Samin Surosentiko masih diugemi.

 

Saat ini usia perjuangan masyarakat Samin sudah mencapai satu abad lebih. Lebih tua dari usia kemerdekaan Indonesia. Semestinya kebijakan keluar dari pemerintah perlu menengok kembali apa pernah dilalui masyarakat Samin, seperti land reform, pengusaan tanah oleh negara dan penerapan UUPA 1960.

 

Saya selipkan sedikit ungkapan Gus Dur cukup berani saat menjadi Presiden, bahwa 40 persen tanah perkebunan negara atau hak guna usaha (HGU) dulunya diambil dari tanah rakyat oleh Belanda, maka pemerintah saat ini perlu membagikan lagi kepada rakyat.

 

Dalam hal ini, Samin sebagai gerakan, dan Samin sebagai ajaran mesti menjadi episentrum pengetahuan perlu dipelajari generasi saat ini. Stigma buruk berkembang saat masa penjajahan dan selama Orde Baru perlu dikikis dengan pembacaan sejarah secara menyeluruh.

 

Hingga kini saya masih optimistis jika masayarakat Samin masih berada di hutan Blora dan sekitarnya, kondisi hutan akan tetap lestari. Secara tidak sadar menyumbang keberlangsungan hidup masyarakat. Meski di beberapa persebaran, Samin sudah banyak beradaptasi dengan dunia modern. Jika asas ajaran Samin Surosentiko masih terpatri, alam akan terjaga keseimbangannya. (*)

 

*) Wartawan Jawa Pos Radar Bojonegoro

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru


/