BERJALAN sekitar 2 kilometer (km) tanpa alas kaki dengan medan penuh lumpur. Itulah kenangan “gado-gado” ketika liputan di Dusun Bunten, Desa Tondomulo, Kecamatan Kedungadem, Bojonegoro. Sebuah dusun pedalaman masuk wilayah Bojonegoro yang berbatasan dengan Kabupaten Lamongan, Jombang, dan Nganjuk.
Terpaksa harus delamak (logat Jonegaran, berarti tanpa alas kaki) karena justru sulit memakai sandal ketika berjalan dengan akses tanjakan dan turunan melewati perbukitan. Eh, tiba-tiba sandal sampai ketinggalan di Dusun Bunten.
Pembangunan jalan yang belum dirampungkan mengharuskan untuk memarkirkan motor di pinggir jalan tengah hutan demi menuju Dusun Bunten. Lalu, melanjutkan perjalanan dengan berjalanan kaki sekitar 1,5 jam.
Teriknya matahari turut menemani perjalanan siang itu. Keringat bercucur menjadi bukti bahwa perjalanan memang tidak mudah sama sekali. Setelah perjalanan cukup melelahkan terlewati, sampailah ke sebuah dusun terpencil terletak di ujung batas Bojonegoro ini.
Sebuah dusun yang dihuni oleh masyarakat sederhana dan apa adanya. Bertempat tinggal di rumah-rumah berdinding kayu dan berlantai tanah. Menjalani kehidupan sehari-hari dengan makanan dari hasil alamnya sendiri. Bertani dan beternak demi menyambung kehidupannya hingga nanti. Hidup damai bersama dengan flora dan fauna masih terjaga hingga kini.
Dusun Bunten, kata-kata warga setempat berarti timbunan inten (intan/emas) ini sangat perlu diperhatikan. Bukan hanya karena dipercaya menyimpan barang-barang berharga. Tapi, karena kondisinya. Kondisi Dusun Bunten berbeda dengan dusun-dusun lainnya. Bukan hanya akses jalannya, tapi meliputi segala aspek di dalamnya. Mulai kesehatan, pendidikan, ekonomi, sumber air, agama, dan lain sebagainya.
Letaknya berada di atas bukit dengan akses jalan yang buruk membuat mobil ambulans tidak bisa menjemput warga Bunten yang segera membutuhkan pertolongan ke rumah sakit. Warga yang sakit harus ditandu terlebih dulu hingga keluar dusun. Lalu, baru dibawa ke rumah sakit dengan ambulans. Wiu-wiu-wiu…
Pendidikannya pun memprihatinkan. Rerata masyarakat Bunten adalah lulusan sekolah dasar (SD). Ketika anak SD di dusun lainnya bisa fokus bersekolah sesuai dengan kelas masing-masing. Anak-anak SD Tondomulo III yang terletak di Dusun Bunten harus digabungkan dengan beberapa tingkatan karena hanya memiliki dua ruang kelas.
Sekolah tersebut sering dimulai pukul 08.30. Semua menyadari, karena akses jalan yang buruk dan jauh, guru dan siswa tibanya lebih lambat. Siswa tidak banyak lanjut ke jenjang SMP dan SMA karena jaraknya yang jauh dan perjuangan yang tidak mudah.
Kalau melanjutkan SMP, harus mendaftar ke sekolah di Kecamatan Kedungadem. Tentu jaraknya sangat jauh. ‘’Siswa harus berangkat pukul 04.00 pagi dan jalan kaki selama 1,5 jam untuk keluar dusun,’’ tutur Ahmad Hauyul Abadi siswa setempat yang sekolah di SMK Dirgahayu Kedungadem. Lokasi di pedalaman inilah, hingga saat ini baru ada enam lulusan SMA di Dusun Bunten.
Alam menjadi sehabat warga Bunten. Sepanjang mata memadang hanya bukit, rerumputan, pohon, dan jagung. Masyarakat Dusun Bunten mayoritas sebagai petani. Berbeda dengan petani di daerah lain. Di Dusun Bunten, petani harus berlapang karena serangan binatang-binatang buas seperti babi hutan, monyet, dan rusa terus mengancam tanaman petani.
Bukan hanya itu, petani Bunten harus membayar tukang bangkel (tukang angkut hasil tanaman) saat akan menjual hasil panennya di desa bawah.
Kesulitan dihadapi masyarakat Bunten lainnya, yakni mengenai air. Untuk mendapatkan air, warga Bunten harus ngangsu (membawa air dari sumur ke rumah-rumah dengan menggunakan ember atau wadah lainnya). Selain itu, saat musim kemarau, Dusun Bunten juga mengalami kekeringan.
Berbagai macam permasalahan ini membuat Dusun Bunten masih jauh dari kata sejahtera. Dusun jauh dari jangkauan mata ini kerap luput dari perhatian pemerintah. Hingga saat ini masih perlu banyak perhatian untuk kebaikan masyarakat Dusun Bunten.
Mau mencoba berkunjung ke Dusun Bunten? Awas, bukan serangan monyet atau babi hutan, tapi sandal harus hilang kepetel lumpur. (*)
*DEWI SAFITRI
Wartawan Radar Bojonegoro