HARI-hari ini media sosial di-hirukpikuk-kan berita tentang tuntutan perpanjangan masa jabatan kepala desa (kades). Yang menuntut adalah para kades dari seluruh pelosok tanah air.
Selama ini, masa jabatan kades enam tahun, dan dapat dipilih untuk tiga kali masa jabatan. (Pasal 39 UU 6/2014 tentang Desa dan Dana Desa). Itu artinya, kades punya hak menjabat selama 18 tahun. Jika nanti jadi diperpanjang menjadi sembilan tahun, berarti kades bisa menjabat selama 27 tahun. Wow…
Tampaknya, untuk saat ini, para kades merasa kurang puas terhadap masa jabatan yang hanya enam tahun tersebut. Ribuan kades lalu berunjukrasa di depan Gedung DPR-RI, Selasa lalu (17/1/2023). Mereka menuntut periodesasi jabatan kades menjadi sembilan tahun.
Sebenarnya, apa yang dilakukan oleh para kades tersebut sah-sah saja. Mereka punya hak berkumpul atau menyampaikan pikiran dan pendapat mereka. Itu dijamin oleh UUD RI 1945 maupun UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Yang penting, aksi mereka prosedural, tertib, dan tidak anarkis.
Namun demikian, ada beberapa hal yang patut disayangkan terkait aksi demo para kades tersebut. Pertama, mereka membawa-bawa nama rakyat/warga desa. Para kades bilang, apa yang mereka perjuangkan tersebut demi kepentingan rakyat di desa. Menurut mereka, masa enam tahun belum cukup untuk membangun desa. Juga, belum cukup untuk menyelesaikan konflik antarwarga pascapilkades sebelumnya.
Kedua, dalam aksi tersebut ada celetukan-celetukan kades yang isinya ancaman kepada pihak lain yang tidak mendukung tuntutan mereka. Mereka mengancam partai politik, ataupun wakil rakyat. Jika parpol tidak mendukung tuntutan tersebut maka para kades akan menggembosi suara parpol di desa dalam pemilu nanti. Ancaman seperti itu akan menjadi preseden (contoh) buruk dalam berdemokrasi di masa mendatang. Demokrasi melalui pressure massa, dan intimidatif.
Ketiga, aksi demo para kades tersebut dilakukan di tahun politik, saat tahapan Pemilu 2024 sudah berjalan. Akibatnya, demo para kades tersebut menambah kegaduhan politik di tahun politik. Selain itu, dikhawatirkan, aksi politik para kades itu menjadi politik dagang sapi dengan pihak-pihak yang berkepentingan.
Saya tidak yakin banyak rakyat di desa menginginkan periodesasi jabatan kades ditambah dari enam tahun menjadi sembilan tahun. Saya tidak yakin ada rakyat desa merasa terganggu karena ada sisa-sisa konflik di desanya saat pilkades sebelumnya.
Rakyat senang-senang saja jika umpama pilkades diadakan tiga tahun sekali. Ataupun, enam tahun sekali. Rakyat senang karena sering ada pesta demokrasi di desa. Sering ada acara makan-makan, bagi-bagi hadiah, dan sebagainya.
Begitu pula para tim sukses (bothoh) bakal calon kades. Mereka mungkin lebih senang jika masa jabatan kades tidak diperpanjang. Tim sukses akan lebih sering mendapatkan job (tugas) dari calon kades. Begitu pula para dukun pilkades. Bagi mereka yang percaya mbah dukun.
Jajak pendapat (polling) di sebuah grup WA pascademo kades menunjukkan, sebanyak 47,9 persen responden menyatakan sangat tidak setuju perpanjangan jabatan kades, 43,1 persen menyatakan tidak setuju. Yang menyatakan setuju hanya 9 persen dari total responden 666 orang.
Soal alasan adanya konflik dampak pilkades yang belum terselesaikan, itu juga kurang tepat. Saya yakin, tidak ada konflik serius di desa gara-gara pilkades. Dan, jika ada dan belum terselesaikan, itu juga pertanda bahwa pak kades terpilih kurang serius menyelesaikannya. Mosok enam tahun tidak selesai.
Satu sisi pak kades kurang serius mendamaikan. Pada sisi lain, pak kades mungkin tanpa disadari, justru memperkeruh suasana di desa. Misal, pak kades terlalu memanjakan kepada para pendukungnya. Terutama kepada para bothohnya. Sebaliknya, kurang peduli dan kurang adil kepada mereka yang bukan pendukungnya.
Kondisi seperti itu tidak hanya terjadi di desa. Bahkan, di level yang lebih atas, malah lebih mencolok. Misal di level kabupaten/kota, di provinsi, ataupun di level nasional. Pejabat terpilih memberikan tempat-tempat istimewa kepada para tim suksesnya. Dipromosikan untuk jabatan tertentu, atau dijadikan komisaris di perusahaan milik negara/daerah. Pada sisi lain, pejabat terpilih bersikap kejam terhadap mantan rival politiknya.
Dari sisi waktu, demo para kades ini tepat. Demo di tahun politik. Jumlah kades cukup banyak (81.616 desa), dan punya power di desa, tentu punya daya tawar politik cukup tinggi. Jika mereka mengancam akan menggembosi suara parpol yang tidak mendukung tuntutan mereka, mungkin yang diancam ya ngeper juga. Yang diancam akan mempertimbangkan tuntutan para kades itu dengan ekstrahati-hati. Terjadilah praktik politik dagang sapi. ‘’Jika tuntutan you saat ini kami dukung, kami dapat apa dari you tahun depan (2024)’’. Atau: ‘’Dukunglah kami (kades) sekarang, tahun depan you (parpol) akan kami dukung.’’
Demo para kades di tahun politik cepat menyita perhatian dari banyak pihak. Karena itu, jangan heran, aksi demo para kades kali ini langsung mendapatkan tanggapan dari para pejabat tinggi. Bahkan presiden dan wakil presiden juga sudah ikut berkomentar. Mendagri Tito Karnavian, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (PDTT) Abdul Halim Iskandar, wakil menteri, dan lainnya juga sudah mengomentari aksi para kades itu. Sampai-sampai, kasus bentrok antara pekerja asing dengan pekerja domestik/lokal di Morowali Utara yang menewaskan tiga orang, sepertinya tidak penting untuk ditanggapi. Prihatin ya…(*)
*MUNDZAR FAHMAN
Dosen Universitas Nahdlatul Ulama Sunan Giri Bojonegoro.