SETAHUN sudah konflik perang antara Rusia dan Ukraina, tepat tanggal 24 Februari 2022 lalu Rusia melakukan invasi ke daerah Crimea yang merupakan salah satu wilayah Ukraina. Walaupun sebenarnya konflik kedua negara tersebut sudah dimulai sejak tahun 2014, yang dimulai dari daerah Donbas, Ukraina dan diperkirakan menewaskan hampir 14.000 jiwa. Alih-alih sangsi yang menumpuk dari beberapa negara ke Rusia dan perang yang tidak kunjung berakhir, maka telah berdampak pada terhambatnya peluang untuk antisipasi perbaikan-perbaikan infrastruktur, termasuk infrastruktur industri pertanian berbasis biji-bijian yang selama ini menjadi primadona komoditas kedua negara tersebut. Kondisi ini juga secara umum akan berpengaruh ke wilayah negara-negara Commonwealth of Independent States (CIS) (organisasi negara-negara di wilayah Eurasia).
Dilaporkan oleh kantor berita Reuters (November 2022), bahwa selama perang dengan Rusia, Ukraina mengekspor sekitar 15,6 juta ton biji-bijian selama periode musim 2022/23 dan jumlah ini turun sebesar 30,8% dari jumlah sebesar 22,5 juta ton yang diekspor pada periode yang sama musim sebelumnya. Setelah blokade hampir enam bulan yang disebabkan oleh invasi Rusia, tiga pelabuhan Laut Hitam Ukraina dibuka pada akhir Juli 2022 berdasarkan kesepakatan antara Moskow dan Kyiv dengan penengah PBB dan Turki. Pemerintah Ukraina menyatakan dapat memanen antara 50 juta dan 52 juta ton biji-bijian tahun 2022, turun dari rekor 86 juta ton pada tahun 2021 karena hilangnya lahan oleh pasukan Rusia sehingga berdampak hasil panen menurun.
Di pihak Rusia, tahun 2022 merupakan negara pengekspor gandum terbesar di dunia, dengan panen hampir 158 juta ton (laporan Kementrian Pertanian Rusia 2022), dan merupakan angka tertinggi yang pernah ada. Namun, bea ekspor yang mengambang, melonjaknya biaya produksi, tantangan logistik, dan juga sanksi Barat yang semuanya bersatu, menjadikan beban masalah yang lengkap bagi petani Rusia. Tahun lalu, hampir semua harga yang dibutuhkan oleh petani biji-bijian untuk mempertahankan operasional telah melonjak di pasar Rusia, karena sanksi telah mendatangkan masalah serius pada rantai pasokan. Misalnya, harga benih melonjak 40% dibandingkan tahun sebelumnya, kemudian harga suku cadang dan peralatan juga naik lebih dari dua kali lipat. Disamping itu, masalah lainnya adalah waktu pengiriman menjadi lebih lama yang tadinya hanya beberapa minggu menjadi lama hingga 4 bulan.
Di sisi lain, jumlah ekspor yang rendah karena tekanan sanksi, telah menurunkan harga di pasar biji-bijian Rusia sebesar 30% hingga 50%, dan ini menambah faktor masalah yang merusak keuntungan bisnis. Dalam tiga bulan pertama tahun 2022, akibat sanksi dan ketidakpastian umum di pasar, maka ekspor biji-bijian Rusia secara nyata tertinggal dari tahun-tahun sebelumnya. Namun, eksportir biji-bijian rupanya telah berhasil beradaptasi dengan kondisi baru, sehingga diperkirakan sekitar bulan November 2023 penjualan untuk ekspor mjulai meningkat kembali.
Dampak perang Rusia dan Ukraina juga dipastikan mempengaruhi perdagangan internasional dan situasi ekonomi global. Perang di Ukraina dan sanksi yang dikenakan pada dan oleh Rusia dan Belarusia berdampak besar pada perdagangan internasional. Efek berkisar dari kekurangan produk makanan, bahan mentah dan komponen hingga rute perdagangan yang dibatalkan, perubahan permintaan dan kenaikan harga. Hal ini dipastikan mempengaruhi ketahanan pangan di negara-negara berkembang. Ukraina dan Rusia adalah di antara pemasok utama komoditas pertanian pangan dunia, khususnya biji-bijian (pangan dan minyak nabati). Keduanya menyediakan lebih dari 30% perdagangan gandum dunia, 32% barley/jelai, 17% jagung dan lebih dari 50% minyak bunga matahari dan biji-biji lainnya serta makanan. Banyak negara berkembang akan rentan mengandalkan pasokan ini untuk ketahanan pangan mereka, terutama di Timur Tengah dan Afrika. Misalnya, negara-negara seperti Benin, Mesir, dan Sudan mendapatkan hampir semua impor gandum mereka dari Ukraina dan Rusia. Sedangkan pilihan untuk mengganti dengan perdagangan di wilayah regional sangat terbatas.
Dalam laporannya, Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) memperkirakan bahwa 20-30% area Ukraina yang digunakan untuk tanaman sereal, jagung, dan biji bunga matahari akan tetap tidak termanfaatkan atau tidak dipanen selama musim panen 2022/23. Disamping itu, hasil tanaman ini juga cenderung menurun. Menurunnya ketersediaan tanaman, maka otomatis akan semakin meningkatkan harga dan persaingan untuk sumber-sumber pangan alternatif. Di pasar yang sulit seperti ini, maka kemungkinan negara-negara berkembang akan berjuang untuk bersaing mendapatkan pasokan dari negara maju. Misalnya, Indonesia telah melarang ekspor minyak sawit untuk mengurangi kelangkaan minyak goreng dalam negeri dan kenaikan harga. Indonesia akan mencabut larangan tersebut ketika harga turun di bawah 14.000 rupiah (€0,92) per liter.
Ukraina dikenal pula sebagai lumbung Eropa, dan Indonesia sebagian besar gandumnya juga diimpor dari Ukraina. Salah satu contoh komoditas gandum di tahun 2020 saja, Indonesia mengimpor hampir 2,96 juta ton gandum dari Ukraina.Walaupun gandum bukan merupakan bahan pangan pokok, namun gandum merupakan salah satu bahan penting dalam makanan populer di Indonesia, yakni mie instan. Dari salah satu perusahaan terbesar mie instan saja, lebih dari 15 miliar bungkus yang diproduksi setiap tahunnya dan Jawa Timur merupakan salah satu wilayah terbesar yang memiliki industri berbasis biji gandum ini. Maka dapat dibayangkan akan terdampak pula secara signifikan pada pasokan gandumnya. Rantai pasok komoditas biji-bijian yang terganggu ini dan diiringi dengan kenaikan harga komoditas lain, telah mengakibatkan inflasi, bahkan diatas inflasi akibat pandemi. Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi tahunan naik menjadi 3,55 persen di bulan Mei 2022, tingkat inflasi tertinggi sejak Desember 2017.
Oleh karenanya, kita yang hidup di negara dengan mega biodiversitas ini, merupakan suatu keniscayaan agar secara serius dan fokus dalam mengelola dunia pertanian kita. Sehingga, tingkat ketergantungan komoditas impor dapat dikurangi. Semoga di tahun 2023 ini akan ada solusi terbaik terhadap konflik Rusia Ukrina ini sehingga dapat memperbaiki situasi ketahanan pangan di tingkat regional maupun global dan pastinya akan berdampak pada kesejahteraan para penggiat pertanian. (*)
*ARIS WINAYA
Dekan Fakultas Pertanian Peternakan, Universitas Muhammadiyah Malang