24.7 C
Bojonegoro
Saturday, June 3, 2023

Mengerikan, Korupsi di Dunia Pendidikan

- Advertisement -

GURU kencing berdiri, murid kencing berlari. Itu kata peribahasa. Peribahasa itu ingin menggambarkan, perilaku buruk seorang guru berpotensi akan ditiru muridnya dengan lebih buruk.

Kata orang Jawa, guru iku wong kang digugu lan ditiru (orang yang dapat dipercaya dan diteladani). Nah, bagaimana jika guru korupsi? Muridnya akan meniru apa?

Belakangan ini, kasus korupsi di lembaga pendidikan di negeri kita tren meningkat. Baik kualitas maupun kuantitas. Tentu tidak semua kasus terungkap. Baru sebagian sedang dan sudah ditangani aparat penegak hukum (APH).

Lingkup lokal, baru terungkap adalah dugaan korupsi dana bantuan operaisonal sekolah (BOS) SMP Negeri 6 Bojonegoro tahun 2020-2021. Nominal BOS-Rp 1,4 miliar. Yang diselewengkan, menurut Kajari Bojonegoro Badrut Tamam, Rp 695 juta. Atau, sekitar 50 persen dari BOS SMPN 6. Dua gurusudah ditahan. (Radar Bojonegoro, 24 Februari 2023).

Itu artinya, jika dugaan itunanti terbukti, berarti danadikorupsi tidak hanya sekadar 10 persen, ataupun 30persen dari dana diberikankepada pihak sekolah. Tetapi,hampir 50 persen. Mantab…

- Advertisement -

Kasus juga relatif baru dan lebih menasional adalah korupsi terjadi di kampus Universitas Negeri Lampung (Unila). Kasus ini lebih menyentak daripada di sekolahsekolah. Mengapa? Karena terjadi di lembaga pendidikan tinggi. Di kampus negeri dengan guru besar. Bahkan juga rektornya. Berupa gra tifikasi penerimaan mahasiswa baru. Beberapa pejabat, atau orang penting di negeri ini diduga sebagai pelaku gratifikasi. Mengerikan…

Bentuk gratifikasi di Unila, keluarga calon mahasiswa meni tipkan anaknya agar dapatditerima sebagai mahasiswa Unila pada jurusan tertentu. Titipannya tidak gratis. Ada titipan duitnya hingga ratusan juta per calon mahasiswa.

Menurut saya, adanya dana BOS dari pemerintah pusat kepada lembaga pendidikan: SD hingga Sekolah Menengah Atas, harus diimbangi pengawasan ketat. Mulai dari pembinaan para pengelola dana BOS hingga langkah-langkah pencegahan.

Sangat mungkin, korupsi di sekolah-sekolah tidak sematamata karena ada niat jahat dari pengelola dana BOS. Bisa jadi, sebagian karena ketidaktahuan, atau kekurangtelitian pengelolanya. Karena itu, perlu ada pembinaan terhadap para pengelola dana BOS sebelum pencairan. Apalagi jika ada aturan-aturan baru yang masih samar-samar, alias multitafsir. Pesan Inspektur Bojonegoro, pengelola jangan asal tanda tangan setiap laporan pertanggungjawaban dana BOS. Perlu diteliti. (Radar Bojonegoro, 23 Februari 2023).

Pengawasan sangat penting dilakukan, pertama, karena dana BOS meningkat dari tahun ke tahun. Tahun 2020 aliran dana BOS sekolah- sekolah mencapai Rp 54,32 triliun. Dapat dibayangkan, jika 10 persen saja duit Rp 54,32 triliun itu bermasalah, berarti sudah Rp 5,4 triliun, atau setara APBD satu tahun untuk dua kabupaten kelas menengah.

Nilai dana BOS per siswa per tahun meningkat. Sebelumnya, dana BOS per siswa SD per tahun Rp 800.000. Kini menjadi Rp 900.000. Untuk siswa SMP naik menjadi Rp 1.100.000 per tahun, dan untuk siswa menengah atas Rp 1.500.000 per tahun.

Kedua, dana BOS menyebar ke sekolah-sekolah di seluruh Indonesia. Semakin banyak yang dikontrol tentu semakin sulit pengawasannya. Butuh tenaga lebih banyak. Juga butuh tenaga ekstra. Apalagi, sekolah umumnya berada di lokasi terpencil. Terutama sekolah dasar yang jumlahnya sekitar 150 ribu di negeri ini. Sedangkan SMA dan SMK sekitar 30 ribu. Jumlah APH tentu tidak sebanding dengan jumlah lembaga yang harus ditangani.

Pengawasan terhadap dana BOS di sekolah tentu sangat berbeda dengan pengawasan terhadap APBD yang dikelola kepala daerah bersama wakil rakyat. Kepala daerah dan wakilnya serta wakil rakyat hanya terpusat di ibu kota daerah, hanya satu lokasi. Karena itu pengawasannya lebih mudah.

Ketiga, korupsi di sekolah atau di kampus melibatkan tenaga pendidik, guru atau dosen. Seolah, itu terjadi di depan mata para anak didik, para kawula muda. Perilaku menyimpang yang terjadi di sekolah atau di kampus dikhawatirkan berpengaruh kepada kepribadian anak didik.

Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2021 merilis tentang banyaknya kasus korupsi di lembaga pendidikan yang ditangani oleh APH. Menurut hasil kajian ICW, kasus korupsi di sektor pendidikan konsisten menjadi salah satu sektor yang paling banyak ditindak oleh APH. Selama periode 2016 hingga pertengahan 2021, sektor pendidikan masuk lima besar korupsi berdasarkan sektor, bersama dengan sektor anggaran desa, tranpsortasi, dan perbankan. Ada 240 kasus korupsi di lembaga pendidikan sudah ditindak APH yang menimbulkan kerugian negara Rp 1,6 triliun.

Apa yang diungkapkan oleh ICW tersebut hendaknya dapat dijadikan tantangan bagi para pengelola lembaga pendidikan. Mereka ini harus malu jika lembaga pendidikan yang dikelolanya ikut menjadi sarang korupsi seperti lembaga-lembaga lainnya. Apalagi, jika korupsi itu sampai merambah di lembaga pendidikan tinggi. Kampus yang dihuni mahasiswa dan mahaguru hendaknya mampu menjadi suri tauladan yang terbaik, bersih dari praktik kotor korupsi.(*)

 

*MUNDZAR FAHMAN
Dosen Universitas Nahdlatul Ulama Sunan Giri Bojonegoro.

GURU kencing berdiri, murid kencing berlari. Itu kata peribahasa. Peribahasa itu ingin menggambarkan, perilaku buruk seorang guru berpotensi akan ditiru muridnya dengan lebih buruk.

Kata orang Jawa, guru iku wong kang digugu lan ditiru (orang yang dapat dipercaya dan diteladani). Nah, bagaimana jika guru korupsi? Muridnya akan meniru apa?

Belakangan ini, kasus korupsi di lembaga pendidikan di negeri kita tren meningkat. Baik kualitas maupun kuantitas. Tentu tidak semua kasus terungkap. Baru sebagian sedang dan sudah ditangani aparat penegak hukum (APH).

Lingkup lokal, baru terungkap adalah dugaan korupsi dana bantuan operaisonal sekolah (BOS) SMP Negeri 6 Bojonegoro tahun 2020-2021. Nominal BOS-Rp 1,4 miliar. Yang diselewengkan, menurut Kajari Bojonegoro Badrut Tamam, Rp 695 juta. Atau, sekitar 50 persen dari BOS SMPN 6. Dua gurusudah ditahan. (Radar Bojonegoro, 24 Februari 2023).

Itu artinya, jika dugaan itunanti terbukti, berarti danadikorupsi tidak hanya sekadar 10 persen, ataupun 30persen dari dana diberikankepada pihak sekolah. Tetapi,hampir 50 persen. Mantab…

- Advertisement -

Kasus juga relatif baru dan lebih menasional adalah korupsi terjadi di kampus Universitas Negeri Lampung (Unila). Kasus ini lebih menyentak daripada di sekolahsekolah. Mengapa? Karena terjadi di lembaga pendidikan tinggi. Di kampus negeri dengan guru besar. Bahkan juga rektornya. Berupa gra tifikasi penerimaan mahasiswa baru. Beberapa pejabat, atau orang penting di negeri ini diduga sebagai pelaku gratifikasi. Mengerikan…

Bentuk gratifikasi di Unila, keluarga calon mahasiswa meni tipkan anaknya agar dapatditerima sebagai mahasiswa Unila pada jurusan tertentu. Titipannya tidak gratis. Ada titipan duitnya hingga ratusan juta per calon mahasiswa.

Menurut saya, adanya dana BOS dari pemerintah pusat kepada lembaga pendidikan: SD hingga Sekolah Menengah Atas, harus diimbangi pengawasan ketat. Mulai dari pembinaan para pengelola dana BOS hingga langkah-langkah pencegahan.

Sangat mungkin, korupsi di sekolah-sekolah tidak sematamata karena ada niat jahat dari pengelola dana BOS. Bisa jadi, sebagian karena ketidaktahuan, atau kekurangtelitian pengelolanya. Karena itu, perlu ada pembinaan terhadap para pengelola dana BOS sebelum pencairan. Apalagi jika ada aturan-aturan baru yang masih samar-samar, alias multitafsir. Pesan Inspektur Bojonegoro, pengelola jangan asal tanda tangan setiap laporan pertanggungjawaban dana BOS. Perlu diteliti. (Radar Bojonegoro, 23 Februari 2023).

Pengawasan sangat penting dilakukan, pertama, karena dana BOS meningkat dari tahun ke tahun. Tahun 2020 aliran dana BOS sekolah- sekolah mencapai Rp 54,32 triliun. Dapat dibayangkan, jika 10 persen saja duit Rp 54,32 triliun itu bermasalah, berarti sudah Rp 5,4 triliun, atau setara APBD satu tahun untuk dua kabupaten kelas menengah.

Nilai dana BOS per siswa per tahun meningkat. Sebelumnya, dana BOS per siswa SD per tahun Rp 800.000. Kini menjadi Rp 900.000. Untuk siswa SMP naik menjadi Rp 1.100.000 per tahun, dan untuk siswa menengah atas Rp 1.500.000 per tahun.

Kedua, dana BOS menyebar ke sekolah-sekolah di seluruh Indonesia. Semakin banyak yang dikontrol tentu semakin sulit pengawasannya. Butuh tenaga lebih banyak. Juga butuh tenaga ekstra. Apalagi, sekolah umumnya berada di lokasi terpencil. Terutama sekolah dasar yang jumlahnya sekitar 150 ribu di negeri ini. Sedangkan SMA dan SMK sekitar 30 ribu. Jumlah APH tentu tidak sebanding dengan jumlah lembaga yang harus ditangani.

Pengawasan terhadap dana BOS di sekolah tentu sangat berbeda dengan pengawasan terhadap APBD yang dikelola kepala daerah bersama wakil rakyat. Kepala daerah dan wakilnya serta wakil rakyat hanya terpusat di ibu kota daerah, hanya satu lokasi. Karena itu pengawasannya lebih mudah.

Ketiga, korupsi di sekolah atau di kampus melibatkan tenaga pendidik, guru atau dosen. Seolah, itu terjadi di depan mata para anak didik, para kawula muda. Perilaku menyimpang yang terjadi di sekolah atau di kampus dikhawatirkan berpengaruh kepada kepribadian anak didik.

Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2021 merilis tentang banyaknya kasus korupsi di lembaga pendidikan yang ditangani oleh APH. Menurut hasil kajian ICW, kasus korupsi di sektor pendidikan konsisten menjadi salah satu sektor yang paling banyak ditindak oleh APH. Selama periode 2016 hingga pertengahan 2021, sektor pendidikan masuk lima besar korupsi berdasarkan sektor, bersama dengan sektor anggaran desa, tranpsortasi, dan perbankan. Ada 240 kasus korupsi di lembaga pendidikan sudah ditindak APH yang menimbulkan kerugian negara Rp 1,6 triliun.

Apa yang diungkapkan oleh ICW tersebut hendaknya dapat dijadikan tantangan bagi para pengelola lembaga pendidikan. Mereka ini harus malu jika lembaga pendidikan yang dikelolanya ikut menjadi sarang korupsi seperti lembaga-lembaga lainnya. Apalagi, jika korupsi itu sampai merambah di lembaga pendidikan tinggi. Kampus yang dihuni mahasiswa dan mahaguru hendaknya mampu menjadi suri tauladan yang terbaik, bersih dari praktik kotor korupsi.(*)

 

*MUNDZAR FAHMAN
Dosen Universitas Nahdlatul Ulama Sunan Giri Bojonegoro.

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru

Lebih Suka Belajar Bersama

Terus Bersinergi dengan Media


/