SATU lagi, dusun pedalaman dimiliki Bojonegoro, yakni Dusun Sekidang. Turut Desa Soko, Kecamatan Temayang, dan berbatasan dengan Kabupaten Nganjuk.
Menuju Dusun Sekidang, cukup sulit. Akses jalannya tak semuanya ngelenyer. Melewati hutan dan perbukitan. Namun, menuju Desa Soko, butuh waktu sekitar satu jam. Mulai melewati megahnya perkotaan hingga sunyinya hutan. Desa Soko terdiri enam dusun. Selain Sekidang, ada Dusun Sekonang, Dusun Glingsem, Dusun Soko, Dusun Sumberpoh, dan Dusun Guyangan.
Tak mudah untuk sampai di Desa Soko. Medan sulit ketika memasuki Desa Soko. Banyak air tergenang di jalan paving dengan lubangan cukup dalam. Semakin parah ketika dari Dusun Soko menuju ke Dusun Sekonang. Terdapat proyek pembangunan jalan dari Dusun Sekonang menuju Dusun Soko bersumber dari APBD dengan pagu Rp 3,3 miliar tersebut memudahkan sekaligus membahayakan. Sebab, proyek molor tersebut belum melakukan perekatan pada kotak-kotak beton precast yang menyerupai puzzle. Tampak puzzle dengan rongga cukup lebar.
Eits, ada jip terperosok saat melintas beton puzzle. Seketika tim Jawa Pos Radar Bojonegoro yang liputan bergegas membantu mendorong jip. Setelah menolong korban, justru kami yang menjadi korban. Karena medan naik turun tanjakan, ditambah truk-truk proyek menghadang jalan terpaksa harus naik-turun motor.
Saat berjalan di jalan puzzle, kaki terperosok masuk ke rongga antarbeton. Mlosok (logat Jonegaran yang berarti terkelupas) dan berdarah, untung saja tidak parah. Sehingga masih tetap dapat melanjutkan perjalanan.
Belum sampai ke Dusun Sekonang, hujan deras turun dengan waktu yang cukup lama pada Sabtu (4 Februari lalu). Khawatir waktu habis terbuang hanya untuk berteduh, jalanan puzzle usai dilewati dan berganti jalan lumpur licin dengan genangan air. Sehingga terpaksa harus berjalan kaki hingga ke lokasi.
Sampailah di Dusun Sekonang, sebuah dusun diapit dua sungai dengan aliran cukup besar. Rumah-rumah berdinding kayu dengan lantai tanah menjadi pemandangan pertama dilihat ketika sampai di dusun tersebut. Rupanya tidak hanya Dusun Sekonang, semua dusun di Desa Soko mayoritas rumahnya sama: berlantai tanah.
‘’Kebanyakan masih berdinding kayu dan berlantai tanah,’’ ujar Mini Widiasari salah satu warga setempat.
Pendidikan menjadi sorotan di dusun-dusun pedalaman tersebut. Di antara enam dusun, ternyata Dusun Sekonang dan Dusun Glingsem, warganya rereta lulusan SMP. Letak kedua dusun berdekatan dan terdapat SDN-SMPN satu atap (Satap) di daerah tersebut.
‘’Rerata lulusan SMP, anak lanjut SMA bisa dihitung dan hanya orang mampu saja,’’ jelasnya.
Banyak juga setelah lulus SMP memilih ke pelaminan. Terutama perempuan. Sehingga, angka pernikahan dini juga lumayan tinggi. Letak geografis dan faktor ekonomi memengaruhi tingkat pendidikan masyarakat di Desa Soko. Untuk tiga dusun berada di sekitar pemerintahan Desa Soko rerata lulusan SMA.
‘’Untuk Dusun Soko, Dusun Guyangan, dan Dusun Sumberpoh sudah banyak yang lulusan SMA,’’ ujar Kepala Desa Soko Mochamad Johan Hariyoko.
Berbanding terbalik dengan Dusun Sekidang berada paling pelosok. Dusun terletak di lereng gunung tersebut rerata masyarakatnya hanya lulusan SD. Sehingga kalau ingin melanjutkan ke SMP dan SMA harus keluar dusun dengan jarak lumayan dan akses jalan yang buruk.
‘’Saat ini jumlah anak SD hanya tiga siswa dan tiga siswa SMP. Semuanya sekolah di Nganjuk,’’ ujar Kepala Dusun Sekidang Sutrisno.
Dia menambahkan, hanya masyarakat mampu saja melanjutkan pendidikan. Terlebih jaraknya jauh. ‘’SD di Sekidang sudah kosong selama beberapa tahun terakhir karena tidak memiliki siswa,’’ jelasnya.
Dusun Sekidang paling sederhana di Desa Soko. Masyarakat di Dusun tengah hutan tersebut lebih sering mengonsumsi sayuran hasil alam sekitar untuk lauk sehari-harinya (vegetarian). Begitupun buah pencuci mulut juga alami dari hutan.
Sutrisno mengatakan, pergi belanja setiap enam hari sekali di Kabupaten Nganjuk. Sehingga, masyarakat mengonsumsi ikan juga hanya sekali setelah pergi belanja. ‘’Itupun hanya untuk masyarakat yang mampu,’’ ujarnya.
Jarak dan sulitnya akses jalan memengaruhi perekonomian warga Sekidang. Keseluruhan masyarakat Dusun Sekidang bekerja sebagai petani. Hasil keuntungan dari panen tidak seberapa karena habis untuk membayar kuli angkut. Setiap satu karung hasil panen yang akan dijual keluar desa harus membayar ojek sekitar Rp 25.000. Belum lagi ditambah uang bensin.
Dusun diapit oleh perbukitan di setiap sudutnya. Dengan rindangnya pepohonan masih terjaga dengan baik di hutan yang mengelilinginya. Mencipta sumber kentenangan tersendiri untuk siapapun berkunjung ke Dusun Sekidang. Udara dingin khas dataran tinggi ikut menentramkan suasana. Namun, ketentraman tersebut belum berhasil menyejahterakan masyarakatnya. (*)
DEWI SAFITRI
Wartawan Radar Bojonegoro