KEJAKSAAN Negeri Bojonegoro menangani empat kasus korupsi. Di antaranya dua dugaan korupsi dana APBDes, satu kasus dugaan korupsi dana bantuan operasional sekolah (BOS) SMPN 6, dan dugaan kredit fiktif PD Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
Pengungkapan kasus korupsi sebenarnya menjadi hal biasa di negeri ini. Karena sudah sangat sering. Sejak dulu hingga kini, di negeri ini, banyak terjadi kasus korupsi. Nilainya pun sangat beragam. Dari mulai korupsi kelas ecek-ecek puluhan juta hingga kelas kakap triliunan rupiah. Pelakunya dari pejabat level bawah hingga level atas.
Tetapi, dalam penanganan empat kasus korupsi oleh Kejari Bojonegoro saat ini, sedikitnya ada tiga hal yang menarik dicermati. Pertama, mengenai keragaman lembaga diduga korupsi. Entah kebetulan atau tidak, ndilalah, empat kasus korupsi ditangani kejari menyangkut tiga kelembagaan berbeda. Dua lembaga pemerintahan desa, satu lembaga pendidikan, dan lembaga keuangan (bank).
Itu artinya, kasus korupsi di negeri ini semakin tersebar. Jika tingkat pemerintahan desa ada korupsi, bagaimana tingkat lebih atas? Jika di lembaga pendidikan ada korupsi, bagaimana lembaga-lembaga di luar dunia pendidikan? Jika di dunia perbankan kontrolnya ketat saja bisa kecolongan, bagaimana di lembaga lain?
Kedua, mengenai keragaman lokasi korupsi. Empat kasus korupsi ditangani Kejari Bojonegoro, dua lokasinya di pedesaan. Yaitu, APBDes Deling Kecamatan Sekar. Boleh dikata lokasinya di pucuk gunung nun jauh di sana. Satunya APBDes Punggur Kecamatan Purwosari. Dua kasus lain lokasinya di perkotaan, yaitu SMP Negeri 6 Bojonegoro, dan Perusahaan Daerah BPR Bojonegoro.
Nah, jika di pucuk gunung saja ada korupsi, bagaimana dengan di perkotaan? Jika di lembaga pendidikan di perkotaan ada korupsi, bagaimana dengan di pedesaan jauh dari pengawasan? Tentunya sangat berharap kasus korupsi di negeri ini hanya terjadi di empat lembaga itu saja. Jangan ada lagi. Jangan tambah lagi. Tetapi, tentu itu harapan yang mustahil. Mimpi kali ya…
Ketiga, besaran persentase korupsinya. Menurut Kajari Bojonegoro Badrut Tamam, dana APBDes Deling 2021 diduga dikorupsi Rp 240 juta dari total APBDes Rp 2,5 miliar. Berarti, korupsinya hampir 10 persen. Sedangkan dana APBDes Punggur diduga dikorupsi Rp 400 juta dari total APBDes Rp 2,8 miliar. Atau, sekitar 16 persen. Persentase korupsi di SMPN 6 lebih besar lagi. Menurut Kajari, dana BOS yang diduga dikorupsi sekitar Rp 380 juta dari total dana BOS Rp 1,4 miliar. Atau, sekitar 27 persen. Wow… (Radar Bojonegoro, 23 Juli 2022).
Nah, jika persentase korupsi di negeri ini di kisaran itu, dan banyak terjadi di berbagai lembaga, lalu kira-kira berapa besar dana dikorupsi di negeri ini? Ngeri dehhh…
 Selama ini, sebenarnya sudah sering terjadi kasus-kasus pelanggaran hukum di negeri ini. Beberapa hari lalu viral kasus pelecehan seksual di lembaga pendidikan agama.
Ada lebih hot lagi yaitu kasus tembak menembak antaranggota polisi. Korbannya Brigadir Yosua. Menurut Jawa Pos, saat ini kasus pembunuhan Yosua naik ke penyidikan. (Jawa Pos, 23 Juli 2022).
Polisi menembak polisi. Atau, sesama polisi saling tembak, itu seharusya tidak boleh terjadi. Tidak hanya tidak boleh. Tetapi amat tidak boleh. Amat tidak pantas. Beda jika tembak menembak itu antar jagoan geng di pasar-pasar, iku rodok ono pantese (agak wajar). Misal, antarpreman pasar saling serang. Saling bunuh. Mereka berebut pengaruh. Berebut wilayah kekuasaan sumber sandang pangan. Tetapi, dalam pembunuhan terhadap Brigadir Yosua, itu terjadi antarsesama polisi. Senjata yang dipakai menembak dibeli dari uang negara. Yang lebih mengerikan lagi, konon Yosua disiksa habis-habisan (sebelum meninggal, atau sesudahnya ya?). Kuku jari-jarinya dicopot. Gak bisa dibayangkan bagaimana sakitnya orang hidup kuku jarinya dicopoti secara paksa.
Kita sangat berharap, kasuskasus korupsi di negeri ini bisa terus dikurangi. Baik kualitas maupun kuantitasnya. Meski, harus diakui bahwa mengurangi kasus korupsi di negeri ini tentu sangat tidak mudah. Bahkan hampir mustahil.
Salah satu penyebabnya, karena biaya mendapatkan jabatan di negeri ini amat mahal. Sudah menjadi rahasia umum, jabatan kepala sekolah SD saja mahal. Apalagi, SMP dan SMA. Jabatan kepala dinas ataupun camat juga mahal. Itu terjadi hampir merata di mana-mana. Padahal, tunjangan sah dari jabatan selama bertahun-tahun tidak akan bisa menggantikan biaya mendapatkannya. Terus njur piye??  Â
Â
Â
MUNDZAR FAHMAN
Dosen Universitas Nahdlatul Ulama Sunan Giri Bojonegoro.