JAM sekolah sudah lama, tapi IQ rata-rata masih 78,4. Apa yang salah dengan sistem pendidikan kita?
Pertanyaan itu menggelitik jika disandingkan dengan kebijakan Guberbur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat. Beliau membuat gebrakan baru di bidang pendidikan dengan kebijakan sekolah masuk pukul 05.00 Wita. Dalih “masuk sekolah 05.00 Wita untuk melatih etos kerja dan kedisiplinan.” Sekolah pertama yang melaksanakan kebijakan tersebut adalah SMAN 6 Kupang. Beliau berdalih kebijakan tersebut dibuat untuk melatih etos kerja dan kedisiplinan siswa. Namun, benarkah demikian?
Jam belajar di Indonesia memang sering kali mendapat sorotan. Kebijakan siswa masuk pukul 07.00 hingga pukul 15.30 dianggap terlalu lama di sekolah. Pembelajaran tidak lagi kondusif ketika pembelajaran terlalu lama. Belum lagi di saat anak-anak lelah belajar di sekolah, masih banyak tugas di rumah.
Beberapa negara yang tingkat pendidikannya bagus menerapkan jam masuk sekolah berbeda. Finlandia, negara dengan tingkat kebahagiaan nomor satu di dunia menerapkan pembelajaran di SMA mulai pukul 09.00 sampai pukul 14.45. Australia menerapkan pembelajaran mulai pukul 08.30 sampai pukul 15.00. Swedia menerapkan pembelajaran mulai pukul 08.30 sampai pukul 15.00. Sedangkan Jepang menerapkan pembelajaran mulai pukul 08.00 hingga pukul 15.00 – 16.00.
Berbagai negara tersebut mungkin tidak selalu bisa diterapkan di negara kita. Beberapa pihak menyampaikan bahwa masing-masing negara memiliki kebijakan yang berbeda terkait jam masuk sekolah. Hal tersebut sesuai lingkungan dan kebutuhan siswanya.
Namun di sisi lain, dilema kurangnya kontrol anak di luar sekolah juga menjadi masalah di sekitar kita. Anak dianggap aman berlama-lama di sekolah dibanding berkeliaran di luar sekolah. Hal itu tidak sepenuhnya salah. Pada kenyataannya memang lingkungan di luar sekolah tidak membentuk masyarakat menjadi pembelajar yang baik.
Kita lihat saja di sekitar kita, remaja di luar sibuk berbincang-bincang di kafe, di warung kopi, atau sekadar bercanda di bahu jalan. Tak satu pun di antara mereka menghabiskan waktu untuk membaca. Perpustakaan sepi pengunjung. Mereka tertawa terbahak-bahak membahas banyak hal namun tidak untuk belajar. Bahkan belajar tentang hidup.
Namun, sudah tepatkah kebijakan masuk sekolah pukul 05.00 Wita? Tentu saja jawabannya tidak. Lama belajar di sekolah bukanlah satu-satunya kriteria ketercapaian proses pembelajaran. Hal tersebut tampak nyata ketika guru masih memberikan tugas tambahan di rumah. Tugas tersebut sebagai tanda bahwa pembelajaran di sekolah belum cukup untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Banyaknya tugas rumah menandakan pembelajaran di dalam kelas tidak tercapai dengan maksimal. Ada tugas yang bisa diselesaikan di luar jam megajar. Namun jika setiap hari ada tugas yang diberikan guru, itu sebagai penanda pembelajaran di kelas belum tercapai.
Hal lain yang mengindikasikan belum tercapainya tujuan pendidikan kita adalah hasil riset IQ. Hasil riset, rerata IQ Indonesia berada pada posisi 78,49. Jika pembelajaran sudah dilaksanakan di sekolah selama 8 jam sehari dan masih ada tugas rumah, mengapa rerata IQ kita hanya 78,49? Apa yang salah dengan pendidikan kita? Masihkah perlu belajar berlama-lama di sekolah?
Tidak dapat dipungkiri, pendidikan kita memang masih jauh dari harapan. Namun hal itu bukan semata kesalahan dari sekolah. Sebab pendidikan seyogyanya bukan hanya dari sekolah. Pendidikan adalah dari rumah, masyarakat, media, pemerintah, dan sekolah. Kita dididik oleh alam, lingkungan, masyarakat, pemerintah, media, baru sekolah.
Jika sekolah sudah mengupayakan 8 jam bersama ilmu pengetahuan, bagaimana dengan lingkungan? Pengalaman belajar di kelas seharusnya didukung oleh lingkungan berpendidikan. Baik lingkungan rumah, maupun lingkungan masyarakat. Namun belum demikian dengan Indonesia. Pendidikan seolah hanya berhenti sampai pintu gerbang sekolah. Di luar gerbang sekolah, pendidikan telah usai. Berhenti memikirkan ilmu pengetahuan, apalagi mengejawantahkannya dalam perilaku.
Lingkungan juga abai pada sikap dan perilaku siswa di luar sekolah. Lingkungan abai sama saja permisif atas tindakan tak berlandaskan pendidikan. Membiarkan anak di bawah umur merokok, bergadang hingga larut malam, bahkan berkeliaran di jam sekolah. Lingkungan permisif pada tontonan anak. Membiarkan mereka melihat tayangan tidak bermutu, bermain tanpa kenal waktu, bahkan ikut menyaksikan remaja beradu.
Pendidikan bukan hanya milik kelas-kelas di sekolah. Pendidikan adalah milik dan tanggung jawab semua orang. Keluarga memiliki kewajiban memberikan pendidikan awal yang dibutuhkan anak sebelum masuk ke kelas. Keluarga juga berkewajiban mendampingi proses belajar anak. Mengingatkan jika anak lupa belajar, memberikan sarana prasarana pendidikan yang memadai, serta memberikan rasa nyaman anak dalam pencarian bakat dan jati diri.
Selain keluarga, masyarakat juga bertanggung jawab atas pendidikan anak. Masyarakat sebagai penyedia rasa aman anak dalam berpendidikan, menegur jika anak lalai di lingkungan, memberikan ruang pada anak mengaktualisasikan pendidikan yang telah dipelajari di sekolah dan di rumah. Lingkungan sebagai rumah nyaman, memberi ruang anak bersosialisasi dengan benar. Masyarakat bukan hanya bersifat nyata, masyarakat maya di media sosial juga memiliki tugas tak kalah penting dibanding sekolah dan rumah. Masyarakat maya sebagai monitor tingkah laku maya anak di media sosial.
Jika semua lini melaksanakan tugasnya dalam pendidikan anak, maka pendidikan Indonesia tak perlu menunggu waktu lama menuju perkembangan pesat. Namun jika pendidikan masih hanya terjadi di bangku-bangku sekolah, maka perkembangan pendidikan masih sebatas mimpi. Selama apa pun pendidikan dilakukan, tanpa kerjasama semua pihak, hanya akan sia-sia.(*)
*Fenny Yulinanita
Guru Bahasa Indonesia SMAN 4 Bojonegoro