ADA pelajaran penting dari unjuk rasa mahasiswa di berbagai kota, 11 April lalu. Apalagi, demo itu diwarnai pengeroyokan terhadap Ade Armando, dosen Universitas Indonesia (UI) Jakarta. Pelajaran apakah itu? Pelajaran tentang pentingnya kita semua menjaga lisan masing-masing. Jangan sampai lisan kita melontarkan kata-kata kontroversial. Apalagi, sampai membikin panas telinga orang lain.
Saya yakin, salah satu pemantik utama aksi demo mahasiswa seminggu lalu itu pernyataan-pernyataan pejabat. Pejabat pemerintah, atau pejabat partai politik, atau tokoh masyarakat (public figure). Pernyataan itu tentang penundaan Pemilu 2024, perpanjangan masa jabatan presiden tiga periode. Juga persoalan aktual, kenaikan harga kebutuhan barang memberatkan rakyat.
Narasi penundaan Pemilu 2024 sebenarnya sudah agak lama dan sering disampaikan pejabat publik. Bahkan, ada pejabat publik diduga memobilisasi massa ikut mendukung penundaan pemilu. Pejabat publik itu ingin memberikan kesan bahwa rakyat sudah setuju Pemilu 2024 ditunda.
Sebagian masyarakat, narasi penundaan pemilu itu dianggap bertentangan konstitusi negara. Dianggap sarat kepentingan politik dari pendukung penundaan pemilu. Presiden Joko Widodo bilang, orang-orang menginginkan penundaan pemilu, atau perpanjangan jabatan tiga periode, itu hanya mencari muka. Atau, mereka ingin menjerumuskan beliau.
Harus disadari semua bahwa apa dilontarkan oleh lisan, bisa jadi lebih menyakitkan daripada sabetan pedang. Luka sabetan pedang lebih mudah dilihat, diukur, dan diobati. Lukanya bisa sembuh total. Tetapi, jika luka akibat sabetan lisan/lidah, bagaimana melihatnya? Bagaimana mengukur sakitnya? Kata orang: sakitnya tuh di sini. Sakitnya di hati.
Sesaat setelah aksi demo, banyak narasi Ade Armando diunggah kembali di medsos. Mungkin banyak orang suka pernyataan Ade Armando di videonya itu. Tetapi, banyak juga tidak menyukainya.
Bagi Ade Armando, mungkin dia menganggap biasa-biasa saja pernyataannya. Dia menganggap tidak ada masalah. Bahkan, oleh pendukunganya, Ade Armando dianggap kritis dan pemberani.
Tetapi, bagi mereka merasa dikritik atau disindir Ade Armando, bisa jadi, reaksinya berbeda. Ada narasi Armando sebagian orang dianggap menyebarkan kebencian dan permusuhan. Serta dapat melukai hati pihak lain.
Kita yang beradab, tentu antikekerasan fisik. Wacana, pernyataan-pernyataan silakan dibalas dengan wacana atau pernyataan. Bisa adu argumentasi. Ada ruang diskusi, ada dialog sehat. Tidak dibenarkan wacana dibalas kekerasan fisik. Pengeroyokan dan penganiayaan. Apalagi sampai melebihi batas.
Masalahnya, seseorang sering tidak dapat mengendalikan emosinya. Suasana panas tidak terkontrol akhirnya meletupkan reaksi tidak rasional. Reaksi ilegal. Akhirnya meledaknya aksi premanisme, brutalisme. Ade Armando dikeroyok, dipukuli, dan nyaris ditelanjangi beramai-ramai.
Selama ini, di kalangan tokoh-tokoh umat Islam sering melontarkan narasi berhawa panas. Narasi panas itu ditanggapi narasi panas pula. Akhirnya, terjadilah adu panas. Ini berpotensi menimbulkan gesekan di antara umat. Menimbulkan konflik lebih panas dan terbuka antarsesama muslim.
Misalnya, saat ini narasi panas-panasan terjadi antara seorang pimpinan Persaudaraan Alumni (PA) 212 Novel Bamukmin dengan anggota Gerakan Pemuda (GP) Ansor, badan otonomi di bawah Nahdlatul Ulama (NU). Dia (Bamukmin) menuduh Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas melakukan penistaan agama.
Bamukmin menuntut pihak kepolisian memproses kasusnya. Itu membuat seorang tokoh GP Ansor tidak terima. Dia membela Menteri Agama merupakan ketua umum PP GP Ansor. Narasi keras dibalas keras. Bahkan, sampai terlontar kalimat ancam-mengancam. (Warta Ekonomi.co.id., 15 april 2022). Ngeri deh…
Â
Islam mengajarkan kepada umatnya berbicara baik. Berbicara santun. Kanjeng Nabi Muhammad SAW dawuh, orang beriman kepada Allah hendaknya berkata baik. Jika tidak bisa berkata baik, sebaiknya memilih diam.
Sesama muslim itu bersaudara. Islam mengajarkan tentang toleransi. Jika sesama muslim saja suka bermusuhan, apalagi dengan lainnya. Jika sama muslim tidak bertoleransi, rasanya mustahil bertoleransi dengan orang lain.
Ujaran kebencian, kafir mengkafirkan, harusnya dibuang jauh. Jauh sejauh-jauhnya. Perilaku itu sangat jelas bertentangan dengan ajaran Islam yang benar diajarkan Kanjeng Nabi SAW. Sangat tidak pantas orang mengaku muslim, tetapi hobinya melontarkan ujaran kebencian, permusuhan, dan kafir mengkafirkan satu sama lain. (*)
*) Dosen Universitas Nahdlatul Ulama Sunan Giri (Unugiri) Bojonegoro