PONDOK pesantren NU Bojonegoro sekarang punya wadah baru. Tidak hanya satu wadah lama: Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) yang menginduk langsung kepada NU. Tetapi, punya wadah baru bersifat lokal. Namanya: Ikatan Pondok Pesantren (IPP) Bojonegoro.
Kamis lalu (12/1/2023) pengurus IPP Bojonegoro dilantik oleh Bupati Bojonegoro Hj. Anna Mu’awanah. Untuk masa bakti 2022-2027. Pembina IPP, antara lain, Hj. Anna Mu’awanah (bupati) dan KH. Tamam Syaifuddin. Ketua: KH. Hilmi Al Jumadi, dan sekretarisnya KH. Moh. Agus Hanif Abdurraohman.
Melihat susunan pembina dan pengurusnya, ada yang menganggap IPP ini dikendalikan oleh orang-orang politik. Pembinanya Hj. Anna Mu’awanah, adalah tokoh PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) pusat. Bahkan, kini dia ketua PKB Bojonegoro yang juga bupati setempat.
Di bawah nama Hj Anna ada nama Tamam Syaifuddin. Dia ini mantan pimpinan Golkar dan mantan ketua DPRD Bojonegoro. Tamam juga pernah ikut dalam Pilkada Bojonegoro. Sekretaris IPP KH Agus Hanif adalah pengurus Dewan Syuro PKB Bojonegoro. Kiai Hanif dan Kiai Hilmi keduanya juga pengurus PC NU Bojonegoro.
Tempat acara pelantikan pengurus IPP juga di kantor Pemkab. Di gedung Angling Dharma lantai 2. Yang mengundang pun Sekretaris Daerah (Sekda), atas nama bupati. Kesannya, IPP dianggap sebagai wadah pondok pesantren semipemerintah daerah. Sangat beda dengan RMI, wadah ponpes milik warga Nahdliyin yang sudah puluhan tahun ada. RMI dibentuk oleh, dari, dan untuk ponpes NU.
Apalagi, pelantikan pengurus IPP dilakukan mepet dengan tahun politik. Tahun ini (2023) dan tahun 2004 merupakan panas-panasnya tahun politik di negeri ini. Dari bawah sampai atas. Dari Pilkades di desa-desa hingga Pilpres.
Tahun ini sudah masuk tahun politik. Tiada hari tanpa ada pernyataan dan pekerjaan politik. Partai politik sibuk menggalang koalisi untuk menentukan bakal pasangan calon presiden dan wakil presiden. Bakal calon presiden sibuk ke daerah-daerah untuk mempromosikan diri, untuk pencitraan kepada masyarakat. Para buzzers politik sibuk memuji junjungannya. Sebaliknya, mereka gencar mem-bully lawan-lawan politiknya.
Saat ini sudah banyak tahapan Pemilu 2024 yang sudah dilakukan KPU (Komisi Pemilihan Umum). Misal, pendaftaran partai politik peserta pemilu, pembentukan PPK, dan sebagainya. Tahun depan (2024) merupakan puncak tahun politik, di mana ada pelaksanaan Pemilukada serentak, Pemilu Legislatif, dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Di internal NU Bojonegoro (sendiri), tahun ini waktunya suksesi lima tahunan kepengurusan cabang. Pengurus NU Bojonegoro yang saat ini dinakhodai KH. A. Maemun Syafi’I (Rais Syuriyah) dan dr. H. Kholid Ubed (Ketua Tanfidziyah) merupakan hasil pemilihan dalam muscab (musyawarah cabang) NU akhir tahun 2018. Jika tidak ada perubahan, akhir tahun ini harus ada Muscab lagi untuk menyusun kepengurusan masabakti 2023-2028.
Dalam kebiasaan muscab PC NU Bojonegoro, situasi biasanya sedikit memanas. Muncul kubu-kubuan. Masing-masing kubu berambisi untuk menang dengan beragam cara. Pengalaman sudah membuktikan seperti itu.
Jika melihat situasi dan kondisinya, mungkin wajar jika banyak orang mengkhawatirkan pembentukan IPP sekarang ini kental bernuansa politis. Untuk kepentingan politik di tahun politik. Kepentingan politik suksesi kepemimpinan di NU Bojonegoro, kepentingan politik calon legislatif lokal hingga nasional, kepentingan politik pemilihan kepala daerah, kepentingan politik dalam Pemilu Presiden, dan sebagainya.
Warga pada umumnya, wa bilkhushus Nahdliyin, tentu berharap munculnya IPP membawa dampak positif bagi pondok pesantren. Misal, IPP mau bekerjasama, bersinergi dengan semua pondok pesantren. Khususnya pondok-pondok yang selama ini menginduk ke PBNU (RMI).
RMI dibentuk pada 20 Mei 1954 dengan nama awal Ittihad al Ma’ahid al Islamiyah, mewadahi 23.000 lebih ponpes se Indonesia. Namanya kemudian diubah menjadi Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI). RMI bertugas melaksanakan kebijakan NU di bidang pengembangan ponpes dan pendidikan agama, berupaya dalam pengembangan kapasitas lembaga, penyiapan kader-kader bangsa yang bermutu, serta pengembangan masyarakat. Beberapa waktu lalu RMI Bojonegoro mengadakan lomba baca kitab-kitab klasik keislaman. Kitab-kitab salaf umumnya tanpa harakat (kitab gundul), membutuhkan ilmu khusus untuk bisa membacanya. Dan itu sudah menjadi tradisi keilmuan di pesantren.
Jika RMI dan IPP dapat bersinergi dalam pengembangan pondok pesantren, tentu itu sangat baik. Jangan saling menegasikan. Jangan yang satu menghadang dan melemahkan yang lain. Jika ini yang terjadi, tentu lembaga ponpes yang akan dirugikan. Jika harus bersaing, atau berlomba, bersainglah secara fair. Berdasar pada kebenaran. Bukan berdasar pada kepentingan politik sesaat. Dalam praktik politik, satu ditambah satu belum tentu dua. Tetapi bisa berapa saja tergantung yang berkepentingan.
Jika pada saatnya nanti ada upaya-upaya dari pihak tertentu memobilisasi ponpes untuk kepentingan politik praktis hendaknya direspons secara bijak. Perlu ekstrahati-hati. Jangan ada politisasi ponpes. Politik itu hanya kepentingan sesaat. Ponpes misi utamanya haruslah tentang keikhlasan dan keilmuan. Khususnya ilmu keislaman. Ini yang harus dijunjung tinggi. Dan, syukur-syukur diabadikan sampai kapanpun. Munculnya IPP harusnya dapat memberikan berkah bagi NU, khususnya bagi ponpes. Jangan malah mendatangkan musibah bersama.
Mundzar Fahman
Dosen Universitas Nahdlatul Ulama Sunan Giri Bojonegoro.