32.8 C
Bojonegoro
Friday, June 2, 2023

Mengapa Harga Beras Mahal?

- Advertisement -

LAPORAN Bank Dunia bertajuk “Indonesia Economic Prospect (IEP) December 2022” menyebutkan harga eceran beras Indonesia selama satu dekade terakhir secara konsisten tertinggi di ASEAN. Bank Dunia menyatakan harga beras di Indonesia 28% lebih tinggi daripada harga di Filipina, serta lebih mahal dunia dua-tiga kali lipat daripada harga di Vietnam, Kamboja, Myanmar dan Thailand.

Selama periode Januari 2012 sampai Januari 2022 harga eceran beras di Indonesia berkisar 0,9-1,2 USD per kg, Philippina 0,7-0,9 USD per kg, sedangkan Vietnam, Kamboja, Myanmar dan Thailand hanya 0,3-0,6 USD per kg. Jika dihitung dengan kurs konversi Rp 15.000 per USD, berarti harga beras di Indonesia mencapai Rp 13.500-18.000 per kg, Philippina Rp 10.500-13.500 per kg, sedangkan Vietnam, Kamboja, Myanmar dan Thailand hanya Rp 4.500-9.000 per kg. PIHPS (Pusat Informasi Harga Strategis) Nasional mencatat rata-rata harga eceran beras di Indonesia tahun 2022 berkisar Rp 10.000-16.500 per kg.

Penyebab beras mahal

Pertama, biaya usaha tani padi mahal. Biaya usahatani padi di Indonesia menurut International Rice Research Institute (IRRI) mencapai Rp 4.079 per kg (Sinartani, 2020), paling mahal dibandingkan dengan Tiongkok Rp 3.661 per kg, Filipina Rp 3.224 per kg, Thailand Rp 2.291 per kg, bahkan di Vietnam hanya Rp 1.679 per kg. Mahalnya biaya produksi padi Indonesia disebabkan oleh tingginya biaya sewa tanah dan biaya buruh lepas. Sewa tanah pertanian di Indonesia menyumbang biaya produksi sebesar Rp 1.719 per kg, sedangkan di Tiongkok hanya Rp 988 per kg, Filipina Rp 549 per kg, India Rp 510 per kg, Thailand Rp 481 per kg, dan Vietnam Rp 387 per kg. Biaya buruh lepas Indonesia juga yang termahal, yakni mencapai Rp 1.115 per kg, sedangkan di Filipina hanya Rp 978 per kg, Tiongkok Rp 127 per kg, India Rp 655 per kg, Thailand Rp 172 per kg, serta Vietnam Rp 120 per kg.

Menurut BPS (2017) biaya usahatani padi di Indonesia sebesar Rp 2.930 per kg, dengan alokasi terbesar upah pekerja dan jasa pertanian 48,79% dan sewa lahan 25,61%.

- Advertisement -

Mahalnya biaya usaha tani padi juga dipicu oleh berkurangnya pupuk subsidi dan mahalnya harga pupuk nonsubsidi. Dalam struktur biaya produksi padi, biaya pupuk menduduki peringkat ketiga terbanyak (9,43%). Kebutuhan pupuk tahun 2021 mencapai 23,4 juta ton senilai Rp 67,12 triliun, sedangkan anggaran subsidi pupuk hanya sebesar Rp 25,277 triliun. Dengan anggaran tersebut, pemerintah hanya mampu memenuhi kebutuhan pupuk subsidi sebesar 9,04 juta ton (39%). Jika menggunakan pupuk nonsubsidi, maka biaya pupuk bisa meningkat 2-3 kali lipat. Harga pupuk Urea subsidi sebesar Rp 2.250 per kg sedangkan nonsubsidi Rp 5.500-6.000 per kg, pupuk ZA subsidi Rp 1.700 per kg dan nonsubsidi Rp 3.000-3.500 per kg, kemudian pupuk SP-36 Rp 2.400 per kg dan nonsubsidi Rp 6.000-6.500 per kg. Adapun untuk NPK subsidi Rp 2.300 per kg dan nonsubsidi Rp 7.500-Rp 8.000 per kg sedangkan NPK Formula Khusus subsidi Rp 3.300 per kg dan nonsubsidi Rp 8.000-10.000 per kg.

Biaya usaha tani yang mahal berpengaruh terhadap mahalnya harga beras. Mengacu Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 24 Tahun 2020 tentang Penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP), harga GKP (gabah kering panen) di tingkat petani ditetapkan sebesar Rp 4.200 per kg dan harga beras di gudang Bulog Rp 8.300 per kg. Di lapangan, harga GKP dan beras bisa bervariasi sesuai musim, distribusi dan kondisi sosial ekonomi. Pada November 2022 BPS mencatat harga GKP di tingkat petani Rp 5.397 per kg dan harga beras di penggilingan antara Rp 9.500-10.500 per kg.

Di tingkat eceran, PIHPS mencatat rata-rata harga eceran beras pada November 2022 sebesar Rp 12.625 per kg. Jika dibandingkan dengan harga GKP, maka harga eceran beras di Indonesia sebesar 2,34 kali lipat harga GKP.

Kedua, biaya distribusi mahal. Rantai pemasaran beras domestik dari petani sampai ke tangan konsumen setidaknya melalui tiga sampai enam rantai distribusi. Gabah dari petani dibeli oleh tengkulak, dibawa ke penggilingan padi, diolah menjadi beras, dibawa ke kota kabupaten atau kota besar di provinsi, atau langsung didistribusikan ke daerah-daerah lain di Indonesia. Sebagian kecil dari proses distribusi tersebut dibeli oleh Satuan Kerja Pengadaan (Satker ADA) dan disimpan di gudang-gudang Bulog yang disebut pengadaan beras dalam negeri. Pelaku ekonomi pemasaran beras terdiri petani, tengkulak, pedagang pengumpul, penggilingan padi, pedagang besar, Bulog, pengecer, dan konsumen. Setiap pelaku mengeluarkan biaya dan mengambil keuntungan, sehingga semakin panjang rantai distribusi, maka semakin mahal harga eceran beras. Penelitian Lasitya dkk. (2022) mencatat marjin (selisih harga eceran beras dikurangi harga GKP) pemasaran beras dengan tiga pelaku pasar sebesar Rp 5.800 per kg (61% dari harga eceran beras), sedangkan dengan lima pelaku pasar sebesar Rp 6.200 per kg (63% dari harga eceran). Dari marjin tersebut, tengkulak menikmati keuntungan Rp 831 per kg, penggiling padi Rp 771 per kg, pedagang grosir Rp 769 per kg, dan pengecer Rp 601 per kg.

Ketiga, pembatasan kuota impor beras. Kementan (2021) mencatat nilai SSR (Self Sufficiency Ratio) beras telah mencapai 99,4%, berarti bahwa 99,4% kebutuhan beras dapat dipenuhi oleh produksi domestik. Pemerintah mengijinkan Bulog mengimpor beras dengan kuota tertentu untuk memenuhi kebutuhan Cadangan Beras Pemerintah (CBP) jika ketersediaan beras dalam negeri tidak mencukupi. Pemerintah menetapkan Cadangan Beras Nasional (CBN) sebesar 20% dari total kebutuhan beras nasional, di mana 11,5% dikuasai masyarakat, 8% dikuasai oleh pemerintah pusat, dan 0,5% dikuasai pemerintah daerah. Dengan jumlah penduduk 275 juta jiwa dan konsumsi beras 97,36 kg/kapita/tahun, maka total kebutuhan beras untuk konsumsi rumah tangga di Indonesia mencapai 26,774 juta ton setiap tahun. Jika ditambah konsumsi di luar rumah tangga sebesar 17,24 kg/kapita/tahun, maka total kebutuhan beras Indonesia mencapai 31,515 juta ton/tahun. Dari total kebutuhan tersebut, pemerintah harus menguasai CBP sekitar 2,68 juta ton setiap tahun, baik dari pengadaan beras dalam negeri maupun beras impor.

Pembatasan kuota impor menyebabkan harga beras domestik tetap mahal, karena beras impor yang lebih murah tidak mudah masuk ke Indonesia.

Kuota impor beras di satu sisi melindungi petani padi, tetapi di sisi lain membebani konsumen dan menyebabkan inflasi pangan cukup tinggi. Sekitar 50% pengeluaran penduduk Indonesia digunakan untuk konsumsi pangan, di mana sebagian besar di antaranya untuk konsumsi beras.

BPS (2021) mencatat pengeluaran rata-rata per kapita sebulan kelompok makanan sebesar Rp 603.236, di mana sebanyak Rp 66.789 (11,07%) digunakan untuk membeli beras. Harga pangan tinggi mengikis daya beli masyarakat, dengan dampak yang bervariasi pada seluruh kelompok pendapatan.

Dalam IEP December 2022 itu Bank Dunia memperkirakan peningkatan harga pangan sebesar 7,9% year-on-year pada September 2022 mengurangi konsumsi rumah tangga sebesar 3,7% pada masyarakat kelas bawah dan 2,8% pada masyarakat kelas atas. (*)

Sutawi
Guru Besar Agribisnis Universitas Muhammadiyah Malang

LAPORAN Bank Dunia bertajuk “Indonesia Economic Prospect (IEP) December 2022” menyebutkan harga eceran beras Indonesia selama satu dekade terakhir secara konsisten tertinggi di ASEAN. Bank Dunia menyatakan harga beras di Indonesia 28% lebih tinggi daripada harga di Filipina, serta lebih mahal dunia dua-tiga kali lipat daripada harga di Vietnam, Kamboja, Myanmar dan Thailand.

Selama periode Januari 2012 sampai Januari 2022 harga eceran beras di Indonesia berkisar 0,9-1,2 USD per kg, Philippina 0,7-0,9 USD per kg, sedangkan Vietnam, Kamboja, Myanmar dan Thailand hanya 0,3-0,6 USD per kg. Jika dihitung dengan kurs konversi Rp 15.000 per USD, berarti harga beras di Indonesia mencapai Rp 13.500-18.000 per kg, Philippina Rp 10.500-13.500 per kg, sedangkan Vietnam, Kamboja, Myanmar dan Thailand hanya Rp 4.500-9.000 per kg. PIHPS (Pusat Informasi Harga Strategis) Nasional mencatat rata-rata harga eceran beras di Indonesia tahun 2022 berkisar Rp 10.000-16.500 per kg.

Penyebab beras mahal

Pertama, biaya usaha tani padi mahal. Biaya usahatani padi di Indonesia menurut International Rice Research Institute (IRRI) mencapai Rp 4.079 per kg (Sinartani, 2020), paling mahal dibandingkan dengan Tiongkok Rp 3.661 per kg, Filipina Rp 3.224 per kg, Thailand Rp 2.291 per kg, bahkan di Vietnam hanya Rp 1.679 per kg. Mahalnya biaya produksi padi Indonesia disebabkan oleh tingginya biaya sewa tanah dan biaya buruh lepas. Sewa tanah pertanian di Indonesia menyumbang biaya produksi sebesar Rp 1.719 per kg, sedangkan di Tiongkok hanya Rp 988 per kg, Filipina Rp 549 per kg, India Rp 510 per kg, Thailand Rp 481 per kg, dan Vietnam Rp 387 per kg. Biaya buruh lepas Indonesia juga yang termahal, yakni mencapai Rp 1.115 per kg, sedangkan di Filipina hanya Rp 978 per kg, Tiongkok Rp 127 per kg, India Rp 655 per kg, Thailand Rp 172 per kg, serta Vietnam Rp 120 per kg.

Menurut BPS (2017) biaya usahatani padi di Indonesia sebesar Rp 2.930 per kg, dengan alokasi terbesar upah pekerja dan jasa pertanian 48,79% dan sewa lahan 25,61%.

- Advertisement -

Mahalnya biaya usaha tani padi juga dipicu oleh berkurangnya pupuk subsidi dan mahalnya harga pupuk nonsubsidi. Dalam struktur biaya produksi padi, biaya pupuk menduduki peringkat ketiga terbanyak (9,43%). Kebutuhan pupuk tahun 2021 mencapai 23,4 juta ton senilai Rp 67,12 triliun, sedangkan anggaran subsidi pupuk hanya sebesar Rp 25,277 triliun. Dengan anggaran tersebut, pemerintah hanya mampu memenuhi kebutuhan pupuk subsidi sebesar 9,04 juta ton (39%). Jika menggunakan pupuk nonsubsidi, maka biaya pupuk bisa meningkat 2-3 kali lipat. Harga pupuk Urea subsidi sebesar Rp 2.250 per kg sedangkan nonsubsidi Rp 5.500-6.000 per kg, pupuk ZA subsidi Rp 1.700 per kg dan nonsubsidi Rp 3.000-3.500 per kg, kemudian pupuk SP-36 Rp 2.400 per kg dan nonsubsidi Rp 6.000-6.500 per kg. Adapun untuk NPK subsidi Rp 2.300 per kg dan nonsubsidi Rp 7.500-Rp 8.000 per kg sedangkan NPK Formula Khusus subsidi Rp 3.300 per kg dan nonsubsidi Rp 8.000-10.000 per kg.

Biaya usaha tani yang mahal berpengaruh terhadap mahalnya harga beras. Mengacu Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 24 Tahun 2020 tentang Penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP), harga GKP (gabah kering panen) di tingkat petani ditetapkan sebesar Rp 4.200 per kg dan harga beras di gudang Bulog Rp 8.300 per kg. Di lapangan, harga GKP dan beras bisa bervariasi sesuai musim, distribusi dan kondisi sosial ekonomi. Pada November 2022 BPS mencatat harga GKP di tingkat petani Rp 5.397 per kg dan harga beras di penggilingan antara Rp 9.500-10.500 per kg.

Di tingkat eceran, PIHPS mencatat rata-rata harga eceran beras pada November 2022 sebesar Rp 12.625 per kg. Jika dibandingkan dengan harga GKP, maka harga eceran beras di Indonesia sebesar 2,34 kali lipat harga GKP.

Kedua, biaya distribusi mahal. Rantai pemasaran beras domestik dari petani sampai ke tangan konsumen setidaknya melalui tiga sampai enam rantai distribusi. Gabah dari petani dibeli oleh tengkulak, dibawa ke penggilingan padi, diolah menjadi beras, dibawa ke kota kabupaten atau kota besar di provinsi, atau langsung didistribusikan ke daerah-daerah lain di Indonesia. Sebagian kecil dari proses distribusi tersebut dibeli oleh Satuan Kerja Pengadaan (Satker ADA) dan disimpan di gudang-gudang Bulog yang disebut pengadaan beras dalam negeri. Pelaku ekonomi pemasaran beras terdiri petani, tengkulak, pedagang pengumpul, penggilingan padi, pedagang besar, Bulog, pengecer, dan konsumen. Setiap pelaku mengeluarkan biaya dan mengambil keuntungan, sehingga semakin panjang rantai distribusi, maka semakin mahal harga eceran beras. Penelitian Lasitya dkk. (2022) mencatat marjin (selisih harga eceran beras dikurangi harga GKP) pemasaran beras dengan tiga pelaku pasar sebesar Rp 5.800 per kg (61% dari harga eceran beras), sedangkan dengan lima pelaku pasar sebesar Rp 6.200 per kg (63% dari harga eceran). Dari marjin tersebut, tengkulak menikmati keuntungan Rp 831 per kg, penggiling padi Rp 771 per kg, pedagang grosir Rp 769 per kg, dan pengecer Rp 601 per kg.

Ketiga, pembatasan kuota impor beras. Kementan (2021) mencatat nilai SSR (Self Sufficiency Ratio) beras telah mencapai 99,4%, berarti bahwa 99,4% kebutuhan beras dapat dipenuhi oleh produksi domestik. Pemerintah mengijinkan Bulog mengimpor beras dengan kuota tertentu untuk memenuhi kebutuhan Cadangan Beras Pemerintah (CBP) jika ketersediaan beras dalam negeri tidak mencukupi. Pemerintah menetapkan Cadangan Beras Nasional (CBN) sebesar 20% dari total kebutuhan beras nasional, di mana 11,5% dikuasai masyarakat, 8% dikuasai oleh pemerintah pusat, dan 0,5% dikuasai pemerintah daerah. Dengan jumlah penduduk 275 juta jiwa dan konsumsi beras 97,36 kg/kapita/tahun, maka total kebutuhan beras untuk konsumsi rumah tangga di Indonesia mencapai 26,774 juta ton setiap tahun. Jika ditambah konsumsi di luar rumah tangga sebesar 17,24 kg/kapita/tahun, maka total kebutuhan beras Indonesia mencapai 31,515 juta ton/tahun. Dari total kebutuhan tersebut, pemerintah harus menguasai CBP sekitar 2,68 juta ton setiap tahun, baik dari pengadaan beras dalam negeri maupun beras impor.

Pembatasan kuota impor menyebabkan harga beras domestik tetap mahal, karena beras impor yang lebih murah tidak mudah masuk ke Indonesia.

Kuota impor beras di satu sisi melindungi petani padi, tetapi di sisi lain membebani konsumen dan menyebabkan inflasi pangan cukup tinggi. Sekitar 50% pengeluaran penduduk Indonesia digunakan untuk konsumsi pangan, di mana sebagian besar di antaranya untuk konsumsi beras.

BPS (2021) mencatat pengeluaran rata-rata per kapita sebulan kelompok makanan sebesar Rp 603.236, di mana sebanyak Rp 66.789 (11,07%) digunakan untuk membeli beras. Harga pangan tinggi mengikis daya beli masyarakat, dengan dampak yang bervariasi pada seluruh kelompok pendapatan.

Dalam IEP December 2022 itu Bank Dunia memperkirakan peningkatan harga pangan sebesar 7,9% year-on-year pada September 2022 mengurangi konsumsi rumah tangga sebesar 3,7% pada masyarakat kelas bawah dan 2,8% pada masyarakat kelas atas. (*)

Sutawi
Guru Besar Agribisnis Universitas Muhammadiyah Malang

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru

Lebih Suka Belajar Bersama

Terus Bersinergi dengan Media


/