BEBERAPA waktu lalu lato-lato menjadi trending game (permainan sedang ngetrend) di masyarakat. Anak-anak, bapak-bapak, dan emak-emak suka main lato-lato. Bahkan, ada pejabat yang ikut memainkan lato-lato. Walau, mungkin itu hanya untuk iseng atau pencitraan ala pejabat. Atau, jangan-jangan itu karena mereka sudah kenyang memainkan duit rakyat, hehehe….
Tetapi, lato-lato yang terbuat dari dua bola plastik sebesar telor itu ternyata ngetrednya hanya sebentar. Belakangan ini nyaris sudah tidak ada lagi anak-anak kecanduan main lato-lato. Bakul mainan pun tidak banyak terlihat menjajakan mainan itu.
Di saat permainan lato-lato meredup, kini di Bojonegoro muncul permainan lato-lato model baru. Bahannya bukan berupa dua bola plastik. Tapi berupa susunan kepengurusan FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) Bojonegoro. Juga, berupa kelanjutan episode carut marutnya pemindahan pedagang Pasar Kota (lama) ke Pasar Wisata di Banjarejo. Hingga kini masih ruwet dan berpotensi menyulut konflik horizontal maupun vertikal. Ini yang perlu diwaspadai dan dicarikan solusinya. Win-win solution…
Permainan lato-lato FKUB disulut oleh terbitnya Surat Keputusan (SK) Bupati Bojonegoro Hj. Anna Mu’awanah. SK Bupati tersebut, menurut Kepala Badan Kesbangpol Bojonegoro Mahmudi kepada wartawan, adalah Nomor 188/92/KEP/412.013 tanggal 2 Maret 2023. Dalam SK Bupati ini, nama KH. Tamam Syaifuddin sebagai Ketua FKUB Bojonegoro, menggantikan posisi KH. Alamul Huda (ketua FKUB berdasarkan SK Bupati Nomor 188/445/KEP/ 412.013 tertanggal 3 Juli 2020). Menurut SK ini, masa jabatan KH Alamul Huda hingga 2025.
SK Bupati tentang penggantian ketua FKUB dari Alamul Huda ke Tamam Syaifuddin seolah menjadi bola liar. Banyak yang bertanya-tanya bagaimana proses dan siapa pembisik SK tersebut. Alamul Huda menilai, SK bupati tersebut cacat prosedur, dan tanpa melalui rapat pengurus FKUB sebelumnya. ‘’Saya beberapa kali memang didatangi seorang utusan. Dia minta saya mundur. Kepada utusan tersebut saya tegaskan, saya mau mundur jika rapat pengurus FKUB meminta saya mundur. Saya ini dipilih sebagai ketua oleh pengurus FKUB. Masak saya disuruh mundur oleh seseorang melalui seorang utusan?’’, kata Alamul Huda.
Di tengah gelapnya proses SK Bupati tersebut, Kepala Bakesbangpol Mahmudi mencoba menjelaskan kepada wartawan. Katanya, SK Bupati tahun 2020 tentang FKUB memang perlu direvisi. Sebab, dalam SK tersebut, personel pengurus FKUB sebanyak 30 orang. Padahal, menurut Peraturan Bersama Menteri Agama dan Mendagri Tahun 2006, personel pengurus maksimal hanya 17 orang. ‘’Karena jumlah anggota di dalam kepengurusan FKUB Bojonegoro (lama) melebihi ketentuan,’’ kata Mahmudi.
Penjelasan Mahmudi tersebut terkesan aneh dan janggal. Bayangkan. Peraturan Bersama Menag dan Mendagri tersebut diterbitkan Tahun 2006. Sedangkan SK Bupati tentang kepengurusan FKUB Bojonegoro (lama) diterbitkan Tahun 2020. Atau, 14 tahun setelah peraturan Menag dan Mendagri tersebut. Pertanyaannya: Mengapa bupati mau mengesahkan kepengurusan FKUB (lama) yang (katanya) tidak sesuai dengan peraturan Menag dan Mendagri tersebut? Selain itu, mengapa baru sekarang ini (masa kepengurusan FKUB tinggal satu tahun) baru direvisi?
Beberapa hari lalu saya mendapatkan kiriman via WA gambar Bupati Bojonegoro sedang bermain lato-lato. Sambil tersenyum, dalam gambar/foto itu, tangan kanan bupati memegang lato-lato. Bola lato-latonya satu bergambar Alamul Huda. Ada tulisan: Guru. Satu lainnya bergambar Tamam Syaifuddin. Ada tulisan: Murid.
Pengirim gambar itu mungkin ingin menggambarkan bahwa Bupati sekarang ini sedang membenturkan Alamul Huda dengan Tamam Syaifuddin. Bisa jadi, juga membenturkan antara pengurus FKUB lama yang dipecat dengan pengurus baru. Atau, membuat pengurus lama yang dipecat kecewa. Mereka menganggap SK tersebut dari atas ke bawah (top down), bukan dari bawah ke atas (bottom up) sebagaimana prinsip demokrasi. Ayo, siapa mau ikut main lato-lato: Tek tek tek, tek tek tek.
Sikap top down dalam SK baru FKUB, sepertinya juga berlaku dalam kebijakan bupati tentang pemindahan pedagang Pasar Kota ke Pasar Wisata Banjarejo. Hingga kini, banyak pedagang lama di Pasar Kota masih menolak dipindahkan ke Pasar Wisata.
Jumat lalu sekitar 400 pedagang lama Pasar Kota yang masih keberatan dipindahkan, mereka melakukan jalan-jalan pagi. Kegiatan itu mereka maksudkan sebagai penguatan moral para pedagang yang selama ini merasa sering diintimidasi gegara tidak mau pindah ke Pasar Wisata Banjarejo.
Kisruh terkait pemindahan pedagang Pasar Kota ke Pasar Wisata belum tuntas, kini muncul masalah baru terkait penggantian pengurus FKUB. Dua kasus tersebut perlu segera diselesaikan dengan baik melalui pendekatan yang baik dan arif. Jangan sampai kedua masalah itu menjadi bola liar, bola panas yang berlarut-larut hingga pada Tahun Politik 2024 nanti. Selain itu, daripada bikin masalah baru, apakah tidak lebih baik berjuang lebih keras untuk menekan angka kemiskinan dan stunting (balita gizi buruk)???
Saya yakin, Bupati Hj Anna Mu’awanah pasti sadar betul bahwa menjelang akhir tahun ini (2023) masa jabatannya sebagai bupati periode ini (2018-2023) berakhir. Sangat mungkin, dia akan mencalonkan diri lagi sebagai bupati untuk periode kedua. Karena itu, perlulah menanam simpatik sebanyak mungkin kepada rakyat. Dan, sebaliknya, tidak membuat kebijakan-kebijakan yang bisa melukai hati banyak orang. Kata pepatah: Seribu teman itu sedikit. Seorang lawan itu banyak. Nah, orang-orang yang marah dan kecewa itu akan dijadikan amunisi lawan politik di tahun politik 2024. Repot kan???(*)
*Mundzar Fahman
Dosen Universitas Nahdlatul Ulama Sunan Giri Bojonegoro