PERINGATAN Hari Pers Nasional (HPN) 2023 dipusatkan di Deli Serdang Sumatera Utara, Kamis 9 Februari lalu, dihadiri Presiden Joko Widodo. Salah satu yang diingatkan oleh Pak Presiden adalah bahwa dunia pers saat ini sedang menghadapi tantangan berat. ‘’Dunia pers tidak sedang baik-baik saja,’’ kata Presiden. (Jawa Pos, 10 Februari 2023).
Menurut saya, apa yang disampaikan Pak Jokowi itu sangat realistis. Saat ini sudah banyak perusahaan pers gulung tikar karena tidak mampu melawan tantangan. Atau, sementara ini ada yang masih bertahan hidup tetapi kondisinya mengenaskan. Ini harus mendapatkan perhatian serius dari para insan pers nasional.
Media massa cetak (konvensional) menghadapi gempuran saudaranya sendiri: media online yang jumlahnya hingga sulit dihitung. Selain itu, juga menghadapi masifnya media sosial. Dalam hal kecepatan sampai di pembaca, tentu media cetak tertinggal jauh.
Pada sisi lain, media massa online juga menghadapi tantangan berat juga. Pesaingnya adalah sesama media online yang sebegitu banyak jumlahnya. Selain itu, juga harus bersaing pula dengan masifnya media sosial (medsos). Dalam kondisi seperti itu, yang sangat dikhawatirkan adalah ketidakmampuan media massa (cetak ataupun online) menjaga kualitas dirinya sendiri.
Itu tantangan internal pers saat ini. Sedangkan yang tidak kalah beratnya adalah tantangan dari eksternal. Apa itu? Yaitu, maraknya berita-berita hoaks dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab, dari oknum-oknum buzzer, serta kondisi zaman saat ini. Tantangannya, mampukah media mainstream tetap menjaga independensinya, dan berani memberikan informasi yang jujur dan benar kepada masyarakat.
Sesuai amanat undang-undang, pers nasional memiliki peranan penting. Di alam demokrasi, pers merupakan pilar keempat dalam demokrasi setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pers nasional melaksanakan peranannya menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan hak asasi manusia serta menghormati kebhinekaan. Pers nasional juga melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum. (Pasal 6 Undang-Undang 40/1999 tentang Pers).
Dalam banyak hal, saat ini banyak peristiwa di negeri ini yang menyerupai zaman edan. Zaman seolah sudah tidak ada lagi tata aturan. Lembaga, ataupun aparat di lembaga yang seharusnya sebagai penegak hukum/keadilan, justru menjungkirbalikkan hukum. Sebegitu banyak aparat penegak hukum yang melawan hukum. Mereka tidak pantas lagi sebagai penegak hukum.
Yang bikin ngeri, penegak hukum yang nakal-nakal itu tidak hanya terjadi di level bawah. Tapi justru banyak di level tertinggi. Di level Mahkamah Agung (MA), di Kejakasaan Agung, dan di Mahkamah Konstitusi (MK). Kasus yang relatif baru, ada dua hakim agung disuap miliaran rupiah oleh pihak yang berperkara. Kemudian, sembilan hakim MK sedang dilaporkan ke Polda Metro Jaya atas dugaan mengubah hasil putusan sidang. Sebelum ini, ada jaksa di Kejagung divonis hukuman penjara 4 tahun karena menerima suap Rp 7 miliar.
Tantangan bagi media massa mainstream, beranikah mereka memberitakan kasus-kasus seperti itu secara apa adanya. Pemberitaan secara obyektif, tanpa ikut terlibat dalam permainan kotor seperti itu. Beranikah pers mengungkap data yang obyektif tentang simpang siurnya jumlah tenaga kerja asing (TKA) di Morowali, tentang Harun Masiku, buron KPK yang sudah tiga tahun ini belum juga tertangkap, dan kasus-kasus besar lainnya.
Kasus di tubuh Polri, lebih mengerikan lagi. Kasus Ferdy Sambo, kontroversinya, dan banyaknya pejabat tinggi polri yang terseret di dalamnya, juga bikin kita merinding. Bagaimana lembaga yang dipimpin Sambo, yang merupakan polisinya polisi, tetapi justru melakukan kejahatan seperti itu. Begitu lamanya aksi kejahatan itu, dan begitu rapinya.
Kasus-kasus gratifikasi (suap) di dunia perguruan tinggi yang mulai terkuak sejak kasus di Universtas Lampung (Unila) juga tidak kalah mengerikan. Kasus itu berkaitan dengan titipan dari orang tua calon mahaiswa. Bayarnya ratusan juta agar calon mahasiswa dapat diterima di Unila. Terdakwanya adalah rektor dan beberapa sejawatnya yang umumnya para profesor. Celakanya, permainan seperti itu sangat mungkin juga terjadi di kampus-kampus negeri lainnya. Opo gak ngeri ta?
Perguruan tinggi yang diharapkan menjadi pusat percontohan praktik integritas pribadi-pribadi maupun kolektif, ternyata ikut terjebak dalam permainan kotor di negeri ini. Apalagi, pelakunya para cendekiawan kampus, Bahkan, di antara mereka ada profesor. Bagi banyak orang, profesor itu digambarkan sebagai orang yang sudah tua, kepala botak kakehen mikir teori, dan ilmunya sundul awan.
Kasus Ferdy Sambo dan para suporternya, dan kasus di kampus Unila dan beberapa lainnya, merupakan sebagian tantangan yang dihadapi pers nasional saat ini dan ke depan. Tantangan bagi media massa mainstream, beranikah mereka memberitakan kasus-kasus seperti itu secara apa adanya. Pemberitaan secara obyektif, tanpa tanpa hoaks, tanpa kebohongan.
Melihat situasi di negeri ini, rasanya jadi ingat karya Pujangga Kasunanan Surakarta Ronggo Warsito (1802-1873). ‘’Amenangi jaman edan, ewuh aya ing pambudi, melu edan nora tahan, yen tan milu anglakoni boya kaduman, melik kaliren wakasanipun. Dilalah kersa Allah, begja begjaning kang lali luwih begja kang eling lan waspada.’’ (dikutip dari TribunJateng, 5 April 2019). Hidup di zaman edan, hati nurani serba sulit. Mau ikut edan tidak tahan. Tidak ikut edan tidak kebagian. Tetapi seuntung-untungnya orang yang lupa, masih lebih beruntung orang yang selalu ingat dan waspada. (*)
*Mundzar Fahman
Dosen Universitas Nahdlatul Ulama Sunan Giri Bojonegoro.