24.9 C
Bojonegoro
Tuesday, May 30, 2023

Oleh: M. Yazid Mar'i

Mayoritas untuk Minoritas

- Advertisement -

HAMPIR berjalan dua pekan, “Heboh” pernyataan Menteri Agama Yaqut Cholil Coumas perihal pengaturan penggunaan speaker musala atau  masjid untuk keharmonisan antarumat beragama. Pro-kontra mengiringi pernyataannya. Kehebohan makin menggelinding, ketika framing dan narasi atas persepsi bermunculan tak terbendung.

 

Sebagai muslim menjadi obyek atas persoalan, tentu bisa disebut sebagai terdakwa, namun konteks lain menjadi solusi atas cita keharmonisan, seperti tujuan awal terbitnya aturan. Bahkan bila kita setback, dapat disebut sebagai tujuan Tuhan atas eksistensi Islam di muka bumi “wama arsalnaka illa rahmatan lil alamin lamiin dan tidaklah Aku mengutusmu (Muhammad), melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam”. Artinya kehadiran Islam hakekatnya kedamaian dan kesejahteraan bagi seluruh umat dan kehidupan di muka bumi.

Apa dikehendaki Tuhan ini, Muhammad sebagai Rasulullah dan Nabi Umat Islam telah menunjukkannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegera di Madinah dengan begitu sarat kemajemukan suku, agama, dan ras dengan “Piagam Madinah”.

 

- Advertisement -

Sebagai konstitusi ditandatangani para imigran Muslim dari Makkah, penduduk asli Madinah, dan kaum Yahudi Madinah menciptakan keadilan antara masyarakat dengan keyakinan berbeda. Serta mengakhiri permusuhan yang terjadi selama bertahun-tahun.

 

Salah satu keistimewaan dari perjanjian ini dikokohkannya kebebasan beragama, seperti dirasakan orang-orang Yahudi Bani Auf sebagaimana termaktup pasal 16. “Orang Yahudi mengikuti kami dipastikan berhak atas dukungan dan persamaan hak yang sama seperti salah satu dari kami. Ia tidak akan dirugikan atau musuhnya tidak akan dibantu.”

 

Kondisi sosiologis Madinah ini bila dicermati secara mendalam memiliki kemiripan dengan Indonesia yang kemajemukan dan Islam sebagai mayoritas. Jika setiap muslim berikrar diri bahwa “Allah adalah Tuhannya dan Muhammad adalah Rasulullah dan Nabinya”, maka konsekuensi logis ia haruslah berucap dan berprilaku sebagaimana dicontohkannya. Dalam makna lain segala apa dilakukan seorang muslim haruslah memberikan rasa aman dan nyaman bagi yang lain.

 

Maka jika boleh sedikit melakukan kilas balik terhadap pengaturan speaker masjid dan musala oleh menteri agama, adalah boleh jadi sebagai niat baik mengembalikan kembali esensi kedamaian fungsi universal kehadiran Islam dan umat Islam.

 

Beberapa realitas hampir memiliki kemiripan pernyataan menteri adalah tentang lantunan ayat suci Alquran dari speaker masjid atau musala pada waktu kurang atau tidak umum dengan durasi panjang. Misalnya ketika masyarakat kondisi tengah menjalankan aktivitas dianggapnya sebagai “besangi dosa” Jebakan dosa.

 

Mengapa tidak, bukankah ada perintah mendengarkan bacaan Alquran, sementara saat dan waktu bersamaan seseorang tengah melakukan aktivitas memenuhi hidup dan kehidupannya. Dalam perintah lainnya Tuhan menyuruh manusia berdoa dengan khusyuk dan merendah. Tetapi saat sama lantunan doa dan harapan pada Tuhan begitu keras melalui speaker masjid dan musala seperti Tuhan begitu jauh dari kita, mengingatkan sebuah penggalan puisi karya KH. Mustofa Bisri: “Kau bilang Tuhan sangat dekat, tetapi Kau memanggil-maggilnya dengan pengeras suara setiap saat”.

 

Mengingatkan pula alasan Umar Ibn Khattab berdoa keras dengan alasan agar bisa tetap terjaga, atau alasan Abu Bakar berdoa dengan sir dengan alasan agar tetap khusyuk atau melihat Arab Saudi “Makkah” dalam penggunaan speaker di saat menjelang waktu salat tiba.

 

Ini sungguh memberikan sebuah gambaran betapa mudahnya Islam mampu difahami dan dimplementasikan dalam hidup dan kehidupan kemanusiaan, mengapa harus mempersulit? Bukankah muslim mayoritas di Madinah kala itu menjamin kedamaian untuk minoritas? Tentu tidak terlalu salah dan bahkan harus ketika muslim mayoritas Indonesia mencontoh memberikan kedamaian untuk minoritas “kesalehan ritual berbanding lurus dengan kesalehan sosial. Mengapa tidak! (*)

 

*) Penulis tinggal di Bojonegoro, Guru MI Salafiyah Soko Tuban

HAMPIR berjalan dua pekan, “Heboh” pernyataan Menteri Agama Yaqut Cholil Coumas perihal pengaturan penggunaan speaker musala atau  masjid untuk keharmonisan antarumat beragama. Pro-kontra mengiringi pernyataannya. Kehebohan makin menggelinding, ketika framing dan narasi atas persepsi bermunculan tak terbendung.

 

Sebagai muslim menjadi obyek atas persoalan, tentu bisa disebut sebagai terdakwa, namun konteks lain menjadi solusi atas cita keharmonisan, seperti tujuan awal terbitnya aturan. Bahkan bila kita setback, dapat disebut sebagai tujuan Tuhan atas eksistensi Islam di muka bumi “wama arsalnaka illa rahmatan lil alamin lamiin dan tidaklah Aku mengutusmu (Muhammad), melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam”. Artinya kehadiran Islam hakekatnya kedamaian dan kesejahteraan bagi seluruh umat dan kehidupan di muka bumi.

Apa dikehendaki Tuhan ini, Muhammad sebagai Rasulullah dan Nabi Umat Islam telah menunjukkannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegera di Madinah dengan begitu sarat kemajemukan suku, agama, dan ras dengan “Piagam Madinah”.

 

- Advertisement -

Sebagai konstitusi ditandatangani para imigran Muslim dari Makkah, penduduk asli Madinah, dan kaum Yahudi Madinah menciptakan keadilan antara masyarakat dengan keyakinan berbeda. Serta mengakhiri permusuhan yang terjadi selama bertahun-tahun.

 

Salah satu keistimewaan dari perjanjian ini dikokohkannya kebebasan beragama, seperti dirasakan orang-orang Yahudi Bani Auf sebagaimana termaktup pasal 16. “Orang Yahudi mengikuti kami dipastikan berhak atas dukungan dan persamaan hak yang sama seperti salah satu dari kami. Ia tidak akan dirugikan atau musuhnya tidak akan dibantu.”

 

Kondisi sosiologis Madinah ini bila dicermati secara mendalam memiliki kemiripan dengan Indonesia yang kemajemukan dan Islam sebagai mayoritas. Jika setiap muslim berikrar diri bahwa “Allah adalah Tuhannya dan Muhammad adalah Rasulullah dan Nabinya”, maka konsekuensi logis ia haruslah berucap dan berprilaku sebagaimana dicontohkannya. Dalam makna lain segala apa dilakukan seorang muslim haruslah memberikan rasa aman dan nyaman bagi yang lain.

 

Maka jika boleh sedikit melakukan kilas balik terhadap pengaturan speaker masjid dan musala oleh menteri agama, adalah boleh jadi sebagai niat baik mengembalikan kembali esensi kedamaian fungsi universal kehadiran Islam dan umat Islam.

 

Beberapa realitas hampir memiliki kemiripan pernyataan menteri adalah tentang lantunan ayat suci Alquran dari speaker masjid atau musala pada waktu kurang atau tidak umum dengan durasi panjang. Misalnya ketika masyarakat kondisi tengah menjalankan aktivitas dianggapnya sebagai “besangi dosa” Jebakan dosa.

 

Mengapa tidak, bukankah ada perintah mendengarkan bacaan Alquran, sementara saat dan waktu bersamaan seseorang tengah melakukan aktivitas memenuhi hidup dan kehidupannya. Dalam perintah lainnya Tuhan menyuruh manusia berdoa dengan khusyuk dan merendah. Tetapi saat sama lantunan doa dan harapan pada Tuhan begitu keras melalui speaker masjid dan musala seperti Tuhan begitu jauh dari kita, mengingatkan sebuah penggalan puisi karya KH. Mustofa Bisri: “Kau bilang Tuhan sangat dekat, tetapi Kau memanggil-maggilnya dengan pengeras suara setiap saat”.

 

Mengingatkan pula alasan Umar Ibn Khattab berdoa keras dengan alasan agar bisa tetap terjaga, atau alasan Abu Bakar berdoa dengan sir dengan alasan agar tetap khusyuk atau melihat Arab Saudi “Makkah” dalam penggunaan speaker di saat menjelang waktu salat tiba.

 

Ini sungguh memberikan sebuah gambaran betapa mudahnya Islam mampu difahami dan dimplementasikan dalam hidup dan kehidupan kemanusiaan, mengapa harus mempersulit? Bukankah muslim mayoritas di Madinah kala itu menjamin kedamaian untuk minoritas? Tentu tidak terlalu salah dan bahkan harus ketika muslim mayoritas Indonesia mencontoh memberikan kedamaian untuk minoritas “kesalehan ritual berbanding lurus dengan kesalehan sosial. Mengapa tidak! (*)

 

*) Penulis tinggal di Bojonegoro, Guru MI Salafiyah Soko Tuban

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru


/