BOJONEGORO memiliki catatan sejarah panjang tentang proses lahirnya bentuk pemerintahan dan pusat pemerintahan. Sebelum nama Bojonegoro itu ada, catatan sejarah menunjuk pada masa Kesultanan Pajang, diawali lahirnya wilayah otonom atas perjanjian antara VOC (Veerenigde Oost Indische Compagnie) dengan Amangkurat I pada 24 September 1646, lalu 19 Februari 1677, dan 20 Oktober 1677 serta dipertegas surat perjanjian diteken Pakubuowo I pada 6 Juli 1704 mengenai Kadipaten Jipang.
Dari perjanjian itu lahir Kadipaten Jipang berpusat di Padangan. Penunjukan pusat pemerintahan tidak serta merta, tapi tuntutan VOC atas Susuhunan agar ibukota Kabupaten Jipang di seberang Bengawan Solo dari arah kedudukan Kompeni di pantai dengan Mas Tumapel sebagai bupatinya angkap Wedana.
Nama Kadipaten Jipang tercatat sejarah sebagai wilayah memberontak atas penguasa di atasnya. Tokoh melawan ini menjadi sosok terkenal yaitu Arya Penangsang. Kisah ini diabadikan catatan De Graaf mengenai kisah pertempuran antara Arya Penangsang dengan Jaka Tingkir.
Pada 1725 pusat pemerintahan sebelumnya di Padangan, dipindah ke arah Timur dengan perintah Susuhunan Pakubuwono II, ini atas dasar panasnya hubungan antara Mataram dengan Madura di mana pada 1718 saat pusat pemerintahan Jipang di Padangan. Di mana Susuhunan Pakubuwana memerintah Bupati Jipang memaksa Madura tunduk dan patuh terhadap Mataram, mengalami jalan buntu.
Atas dasar itu Susuhunan Pakubuwana II memerintah memindahkan pusat pemerintahannya ke arah Timur yaitu desa Rajegwesi agar mendekati Madura dan memudahkan koordinasi penyerangan ke Madura.
Catatan sejarah berikutnya menjelaskan pusat pemerintahan Kadipaten Jipang berada di Desa Rajegwesi berpindah akibat serangan dari Raden Tumenggung Sosrodilogo pada 1827 atas Rajegwesi. Dari serangan dan penguasaan Rajegwesi oleh Raden Sosrodilogo. Jatuhnya kota Rajegwesi membuat cemas pejabat sementara residen Rembang P. H. Baren van Lawick van Pabst. Atas perintah Komisaris Jenderal L.P.J. Viscout Du Bus de Ghisignies memerintahkan residen Rembang merebut kembali Rajegwesi.
Tepat 25 September 1828. Rajegwesi direbut dan dipindahkanlah pusat pemerintahan Kadipaten Jipang ke sebelah Utara dan diberi nama Bodjanegara. Kemudian hari ada perubahan penyebutan jadi Bojonegoro.
Tentang nama Bojonegoro sendiri menurut JFX Hoery kata Bojonegoro diambil dari dua kata, “Bojo” dan “Negara” memiliki arti Bojo itu istri dan Negara adalah pemerintahan. Istri dalam sifat kehidupannya adalah patuh terhadap suami. Suami hal ini dipersonifikasi sebagai pemerintahan. Jadi Bojonegoro memiliki arti suatu wilayah tunduk dan patuh terhadap pemerintahan.
Pendapat lain tentang penamaan Bodjanegara disampaikan Prof. Dr. Agus Aris Munandar arkeolog Universitas Indonesia, dalam wawancara dengan beliau penamaan Bodjanegara di dasar dari dua kata yaitu Bodja dan Negara. Bodja bahasa Jawa Kuna diambil dari penggalan kata merujuk nama bunga Kambodja (Kamboja) diambil kata Bodja.
Dalam upaya identifikasi nama lokasi, perlu kiranya diperhatikan makna kata yang membentuk nama tempat tersebut. Sesuatu nama tempat dapat dihubungkan dengan berbagai hal dan dapat berhubungan dengan bermacam kondisi. Mengenai asal-usul terjadinya nama tempat dijelaskan dalam kajian Toponimi, dalam Toponimi nama tempat antara lain dapat berhubungan dengan (a) nama tumbuh-tumbuhan (flora), (b) nama hewan (fauna), (c) nama mengacu peristiwa sejarah, mitos, atau legenda, (d) nama konsep keagamaan/ikonografi, (e) gelar tokoh, (f) kondisi.
Bahwa Kambodja masa Hindu- Buddha jenis bunga suci. Kambodja dalam bahasa India disebut nama Ksirachampa. Diyakini bunga suci baik masa Hindu-Buddha sampai Islam. Dan sebutan Champa adalah Kerajaan di Asia Tenggara meliputi Vietnam dan Kamboja pada abad 7 sampai 19. Alasan Prof Dr. Agus Aris Munandar didasari akar sejarah wilayah Bojonegoro sekarang pada masa periode Hindu-Buddha yaitu abad 10-14 Masehi wilayah yang kita kenal dengan Bojonegoro ini adalah wilayah kekuasaan Kerajaan Mdang sampai Kerajaan Majapahit dengan nama Badander.
Di isi prasasti Kusambyan dikeluarkan Raja Airlangga (1019 – 1042 M) disebutkan wilayah Madander adanya Madander pernah menjadi tempat tinggal raja, tetapi dirusak musuh dan dipulihkan kembali mungkin menjadi kedaton peringatan. Berikut prasasti Adan-adan berangka tahun 1301 M ditemukan di Desa Mayangrejo, Kalitidu dikeluarkan Sanggramawijaya menyebutkan pemberian hadiah tanah sima kepada Sri Paduka Raja Rsi mendukung perjuangan Sanggramawijaya lawan Jayakatwang.
Penjelasan dari Prof Dr. Agus Aris Munandar sangat gamblang bahwa penamaan Bodjanegara diambil dari nama jenis flora menunjuk tempat/wilayah memiliki kesakralan (karsyan).
Perubahan nama dari Bodjanegara menjadi Bojonegoro tampak mulai diterapkan politik etis (politik balas jasa), keluarlah Desentrlisatie Wet atau Undang-Undang Desentralisasi dengan seri : Ind, Stb. 1903 No. 329 yang dikeluarkan pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Perubahan penyebutan nama Bodjanegara ke Bojonegoro tentu hal mafhum dalam lidah masyarakat kita.
Sejak saat itulah nama Bojonegoro ada dan kita kenal sampai sekarang. Tidak ada perubahan dan pemindahan wilayah lagi semenjak terbitnya keputusan pembentukan pusat pemerintahan hingga saat ini.
Dari sinilah penataan kota Bojonegoro dimulai menjadi wilayah lebih modern ditunjang aliran Bengawan Solo memiliki akses ekonomi. Proses penataan kota masih mengandalkan Macapat selama ini diterapkan di beberapa kota di pulau Jawa.
ACHMAD SATRIA UTAMA
Pengajar di salah satu SMAN