SEBAGAI warga kelahiran Lamongan hanya sekali hidup di luar Kota Soto sebelum bekerja (saat kuliah di Malang), saat mendengar kata “Bojonegoro”, hanya ada tiga hal terlintas. Yakni, Persibo, Radar Bojonegoro, dan JTV Bojonegoro. Hanya itu yang saya kenal dari Bojonegoro, selebihnya saya benar-benar buta sebelum bekerja di Jawa Pos Radar Bojonegoro.
Dulu, bahkan tak pernah sekalipun berlibur di Bojonegoro. Masalah utamanya satu: Mau ke mana? Bahkan saya tidak tahu eksistensi GoFun sampai saya kali pertama dilatih menjadi wartawan sebelum ditempatkan di Radar Lamongan, dan akhirnya kembali ke Bojonegoro tiga bulan kemudian. Sampai sekarang, saya baru sekali menginjakkan kaki di GoFun, itu pun bukan berlibur, tapi saat liputan.
Sebaliknya, sulit untuk warga Bojonegoro sendiri memperkenalkan Kota Ledre. Dan cukup banyak warga luar Bojonegoro tidak mengetahui tentang eksistensi kabupaten dianugerahi sumber minyak tersebut.
Salah satu tamu Podcast Radar Bojonegoro Digital, seorang pesepak bola Liga 2 asli Bojonegoro, menceritakan pengalaman saat memperkenalkan kepada salah satu pelatihnya. Pelatih tersebut mengaku tidak tahu Bojonegoro ada di mana? “Njenengan tahu Lamongan? Nah, Bojonegoro ada di sebelah Lamongan, dua jam ke arah barat” ujarnya kepada sang pelatih.
Namun, kembali ke poin sebelumnya, mau ke mana? Sebagaimana kita ketahui, Bojonegoro memiliki slogan “Pinarak Bojonegoro”, bisa ditafsirkan sebagai “Silakan mampir/singgah ke Bojonegoro”, utamanya kebutuhan investasi dan pariwisata. Tapi kira-kira di mana? Bagaimana saya meyakinkan keluarga dan kawan-kawan untuk berkunjung ke Bojonegoro selain untuk urusan kerja?
Sejauh pengalaman meliput wisata di Bojonegoro, sebenarnya ada banyak sekali objek wisata di kabupaten terpanjang dialiri Bengawan Solo ini. Bahkan sebagian destinasi sudah dikelola dengan baik dan pantas, misal Dander Waterpark dan situs Kayangan Api relatif tak jauh dari pusat kota.
Ada juga jauh sekali dari pusat kota, seperti Puthuk Kreweng di Gayam, Kedung Maor di Temayang, dan Waduk Pacal. Lebih mengenaskan lagi, ada juga yang statusnya hidup segan mati tak mau, seperti Gua Kikik dan Kedung Bidadari di Malo.
Kembali lagi, meskipun ada banyak objek wisata, ternyata belum ada yang disepakati sebagai ikon wisata Bojonegoro, atau setidaknya di-istimewakan. Ketika orang membicarakan pariwisata di Lamongan, hal pertama terbayang pasti Wisata Bahari Lamongan. Atau jika yang dibicarakan adalah Malang atau Batu, pasti jawabannya Jatim Park. Tuban? Tentu Pantai Boom. Bojonegoro? Monggo dijawab sendiri, pasti ada yang tidak sepakat.
Sepanjang kegiatan reportase, rupanya cukup banyak berpemikiran serupa. Komentar-komentar di channel YouTube kami mengindikasikan belum ada objek wisata dianggap istimewa oleh rakyat Kota Ledre sendiri.
Seorang kepala desa kami temui juga berkata, Bojonegoro sendiri belum diangkat sebagai kota pariwisata. Kalaupun ada usaha membangun objek wisata, target dituju lebih mengarah warga lokal, dengan taktik memancing pengunjung ber-selfie ria atau outbound.
Saya secara pribadi kurang menyukai taktik properti selfie, apalagi jika diterapkan wisata alam. Ini mau dijual pemandangan alamnya atau properti selfie? Menurut saya, kesan dari wisata yang terlalu condong mengandalkan area selfie berkurang drastis, karena tersimpan kenangan bukan di wahana, tapi hanya properti selfie.
Cukup banyak aral melintang meyakinkan orang untuk pinarak Bojonegoro. Terlebih, sektor pariwisata secara umum masih berusaha bangkit pascapandemi Covid-19. Banyak kades dan aparatur desa kami wawancarai berkata, mereka butuh bantuan membangkitkan kembali objek wisata. Tetapi mereka menambahkan, belum ada respons dari dinas terkait. Banyaknya jumlah objek wisata, tampaknya semuanya harus antre satu per satu.
Aral lain yakni akses jalan sulit dilewati, terutama untuk objek wisata jauh dari kota. Cukup banyak objek wisata harus ditempuh melalui jalan tanah becek saat hujan. Serta jalan berbatu menyiksa motor dan punggung. Sepertinya berkendara di pedalaman Bojonegoro menggunakan motor skuter menjadi bekal mengikuti Reli Dakar kategori motor suatu hari nanti (mungkin untuk umrah juga, karena sejak 2020, Reli Dakar digelar di Arab Saudi).
Satu hal lagi menjadi tantangan mengembangkan pariwisata Bojonegoro, adalah elemen mistis. Ternyata, sebagian objek wisata di Bojonegoro, terutama berada di perbatasan daerah, masih kental tradisi berkaitan leluhur, terutama sedekah bumi. Umumnya, ada beberapa pantangan wajib dipatuhi pendatang daerah tersebut, dan kades-kades di objek wisata banyak bercerita tentang nasib mereka melanggar pantangan tersebut, umumnya dibumbui kata-kata “Sakit tidak sembuh-sembuh”, “Mengalami kecelakaan”, atau “Tidak sadarkan diri”.
Saya sendiri tidak percaya akan hal-hal mistis, namun karena legenda dan mitos bagian dari kebudayaan masyarakat, tentu wajib menghormati pantangan dan tradisi. Jika daerah-daerah tersebut ingin digunakan sebagai tempat pinarak para pengunjung, perlu dibantu mematuhi adat, tradisi, dan pantangan. Namanya juga manusia, pasti ada yang ngeyel.
Pastinya, perlu ada usaha ekstra dari pemkab dan dinas terkait meyakinkan wisatawan luar kota pinarak di Bojonegoro. Saya yakin, jika wisatawan senang berkunjung ke Bojonegoro, keran investasi ikut terbuka, terutama di luar sektor perminyakan. Jika tidak, Kota Ledre tidak akan berubah statusnya, sebagaimana kata direktur perusahaan kami pada podcast perdana Radar Bojonegoro Digital, sebagai sebuah kota singgah. Kabupaten lebih sering digunakan sebagai kota ‘numpang lewat’ tanpa tempat yang pas untuk pinarak lebih jauh. (*)
*YUAN EDO
Jurnalis Radar Bojonegoro Digital