PENGADILAN Agama Jawa Timur telah merekapitulasi perkara dispensasi nikah (diska) 2022. Bojonegoro berjumlah 532 kasus. Ada penurunan dibanding 2021, namun secara peringkat masih nomor 9 di Jawa Timur.
Dari jumlah pengajuan dispensasi nikah di Bojonegoro, ternyata 297 berpendidikan SMP. Dilihat perbandingan jenis kelamin didapati data bahwa sebagian besar mengajukan dispensasi nikah adalah anak perempuan.
Ada apa dengan anak perempuan hingga mereka banyak mengajukan dispensasi nikah? Apakah ada tuntutan agar mereka segera menikah meski usia belum mencukupi?
Dari perkembangan psikologi, anak perempuan lebih cepat matang daripada lelaki. Rerata anak perempuan mengalami menstruasi usia 11 tahun. Penanda seksual primer bagi anak perempuan. Sedangkan anak laki-laki mengalami mimpi basah kali pertama rerata usia 13 tahun. Seksual primer fase awal matangnya organ reproduksi diikuti seksual sekunder. Setelah mengalami masa ini anak menginjak remaja.
Saat mengalami fase ini mulai ada ketertarikan lawan jenis. Sehingga tidak jarang mulai berpacaran. Gaya berpacaran remaja zaman sekerang mungkin berbeda. Ketika mengenal lawan jenis anak perempuan akan mendapat tanggapan berbeda. Tanggapan ini bisa memengaruhi anak perempuan segera menikah. Faktor pertama dari budaya atau masyarakat.
Saat melihat anak perempuan berpacaran apalagi sudah runtang runtung bersama masyarakat akan menyarankan segera dinikahkan karena melihat etika sosial tidak pantas karena bukan pasangan suami istri.
Faktor kedua dari orang tua. Bila melihat anak perempuannya berpacaran dan dilihat tetangga, orang tua khawatir bila sampai tidak jadi menikah. Padahal sudah diajak ke rumah. Kekhawatiran bila terjadi kehamilan. Tentu ini menjadi aib bagi keluarga harus dihindari.
Faktor ketiga yaitu pengetahuan tentang kesehatan reproduksi. Seperti kita ketahui bahwa salah satu dampak perkawinan anak adalah ketidaksiapan sisi kesehatan reproduksi, terutama anak perempaun. Organ seksual primer dan sekunder sudah bisa dilakukan pembuahan, tapi belum matang. Dikhawatirkan membawa dampak buruk calon ibu dan anak.
Anak perempuan sebagai calon ibu secara kodrat akan hamil dan melahirkan anak. Bila mereka ada permasalahan tentu juga akan berdampak pada anaknya nanti. Bisa jadi nanti akan melahirkan generasi yang tidak sehat.
Nah salah satu usaha dilakukan mencegah perkawinan anak dengan menggiatkan pendidikan kesehatan reproduksi. Terutama anak perempuan. Dampak besar bagi anak perempuan agar berpikir lagi bila melakukan perkawinan anak.
Membahas tentang kesehatan reproduksi dengan remaja bukanlah hal tabu. Tetap kita balut bahasa dan etika santun. Orang tua bisa menyampaikan saat santai bersama keluarga. Guru bisa menyisipkan saat memberi materi pelajaran, terutama SMA sederajat sudah ada meteri pelajaran menyangkut hal ini.
Wadah organisasi remaja sudah ada seperti posyandu remaja, pusat inforamsi dan konseling remaja menjadi sarana berdiskui dan edukasi. Remaja bisa kita ajak berpikir tentang dampaknya perkawinan anak bagi kesehatan reproduksi.
Edukasi kesehatan reproduksi perlu ditingkatkan dan dievaluasi lagi seberapa efektifkah model dilakukan. Mengingat saat ini zaman digital. Mendapatkan informasi tanpa pendampingan dikhawatirkan justru salah sasaran.
Peran pemerintah melalui dinas terakit, tenaga pendidik dan tenaga kesehatan lebih paham kesehtan reproduksi dapat bersinergi memberi edukasi dan pembekalan anak perempuan.
Perkawinan tidak hanya bermodalkan cinta antara dua pasangan. Persiapan lebih matang perlu dilakukan. Kesiapan kesehatan reproduksi bisa berdampak jauh dalam perkawinan. Lahirnya generasi sehat diawali siapnya orang tua, terutama perempuan, sehat lahir dan batin.
Membahas kesehatan reproduksi dengan remaja hakekatnya memahamkan tentang anugerah yang dimiliki. Bisa disyukuri dengan menjaga dan merawatnya. Bagi anak perempuan, sadarlah bahwa kamu mengemban tugas mulia melahirkan genarasi akan datang berkualitas. (*)
*AGUS ARI AFANDI
Psikolog Stikes Rajekwesi. Ketua Komunitas Peduli Anak dan Perempuan Bojonegoro