31.2 C
Bojonegoro
Wednesday, June 7, 2023

Oleh: Suwandi

Masyarakat Samin dan Kesadaran Perpajakan

- Advertisement -

Oleh: Suwandi

KERETA itu melaju dari Stasiun Cepu menuju Stasiun Gambir, Jakarta. Pertengahan 1963, Surokarto Kamidin, sesepuh masyarakat Samin atau Sedulur Sikep Dusun Jepang, Desa Margomulyo, Kecamatan Margomulyo, Bojonegoro hendak bertemu Presiden Soekarno. Setelah menempuh perjalanan sehari semalam dengan kereta berlokomotif diesel, tibalah ia di Jakarta.

 

Di hadapan Bung Karno, ia bertanya. “Apakah bangsa ini telah merdeka?”. “Apakah bangsa ini telah diperintah bangsanya sendiri, bukan lagi oleh bangsa lain bangsa penjajah ?”

 

- Advertisement -

“Ya, bangsa kita telah merdeka. Tidak ada lagi bangsa penjajah di negara kita.” jawab Bung Karno.

 

“Karena bangsa ini telah diperintah bangsanya sendiri, seluruh warga Samin taat kepada negara, membayar pajak, dan menyumbang kepada negara” kata Surokarto Kamidin kepada Bung Karno.

 

Setibanya di Bojonegoro, Surokarto Kamidin menyampaikan informasi kepada seluruh warga Samin di Dusun Jepang dan Dusun Tepelan, Kecamatan Ngraho, bahwa Indonesia telah merdeka dan diperintah bangsanya sendiri. Disampaikannya juga ajakan untuk turut membantu pemerintah.

 

Amargi bangsa punika sampun mardika Sedherek-sedherek saha ingkang nyepeng panguwaose praja inggih bangsa kita piyambak, mila saking punika mangga para Sedulur Sikep sami saiyeg saeka praya nyengkuyung pemerintahan ingkang wonten, klebet mbayar pajek saha nyumbang kangge negara. (Karena bangsa ini telah merdeka Saudara-saudara dan yang memegang pemerintahan adalah bangsa kita sendiri, mari para Sedulur Sikep bersatu mendukung pemerintahan, termasuk membayar pajak dan menyumbang kepada negara), ”ajakan Surokarto Kamidin kepada seluruh warga Sedulur Sikep.

Masyarakat Samin atau Sedulur Sikep saat ini banyak berdiam di Bojonegoro, Blora, Grobogan, Rembang, Kudus, dan Pati.

 

Sedikit menengok ke belakang, Samin Surosentiko dilahirkan di Plosokediren, Randublatung, Blora pada 1859. Samin Surosentiko dibesarkan dalam pengasuhan ayahnya di Plosokediren. Realita masa penjajahan kolonial menyadarkan dirinya akan hak-hak bangsa pribumi yang tertindas. Terutama kebijakan kompeni atas privatisasi hutan jati dan kewajiban membayar pajak bagi masyarakat miskin.

 

Samin Surosentiko tumbuh dengan jiwa empatis atas masyarakat sekitar. Ia ekspansi gagasan dan pengetahuan sebagai bentuk pendekatan transintelektual kaum tertindas (petani rakyat jelata). Perlawanan tidak secara fisik tetapi berwujud penentangan terhadap segala peraturan dan kewajiban dilakukan rakyat terhadap pemerintah Kolonial.

 

Terbawa oleh sikapnya menentang tersebut, ia merekontruksi sebuah tatanan, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan baru yang berbeda dari kaidah berlaku umum. Sebuah gerakan bersifat sebagai pembangkangan dan perlawanan sipil terhadap pemerintah Kolonial.

 

Usai merdeka masyarakat Samin bersatu mendukung pemerintahan termasuk membayar pajak. Inilah perlu kita catat dengan tinta tebal atas petikan dialog antara Surokarto Kamidin dengan Bung Karno sebagaimana ada di awal tulisan ini.

 

Masyarakat Samin kerap kali dipandang stereotip oleh masyarakat kebanyakan, sangat peduli terhadap bangsa. Atas kewajiban perpajakan, masyarakat Samin patuh dan taat. Hal ini bisa diketahui pemenuhan kewajiban masyarakat Samin membayar pajak bumi bangunan (PBB) dari tahun ke tahun. Ketika Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) PBB dibagikan, dalam hitungan hari, masyarakat Samin segera menyetor pajak melalui aparat desa.

 

Aktualisasi kesadaran perpajakan masyarakat Samin tersebut tidak lain dan tidak bukan berangkat dari rasa nasionalisme tinggi. Sejarah mencatat para leluhur mereka melakukan perlawanan terhadap penjajah, tidak sedikit harus meninggal di tanah pengasingan.

 

Adapun sekitar 75 persen pendapatan negara tertuang dalam APBN berasal dari sektor pajak. Menjadi saka guru keuangan negara atau istilah lain pajak adlaah tulang punggung keuangan negara. Angka 75 persen sebuah bilangan matematika menandakan bahwa tiga per empat bagian dari napas negara ini berasal dari pembayaran pajak oleh masyarakat.

 

Muara pembayaran pajak untuk pembiayaan pemerintahan serta menjaga kelangsungan kehidupan berbangsa. Dapat berupa belanja prioritas (infrastruktur, kesehatan, pendidikan, dan reformasi struktural), pemberian subsidi, kompensasi, hingga perlindungan sosial.

 

Di sinilah sebuah kaca benggala hadir. Masyarakat Samin kerap kali dipandang secara stereotip ternyata mereka memiliki kesadaran perpajakan tinggi. Meski sebagian besar mereka berkutat di sawah dan ladang, masyarakat Samin tidak ingin mengabaikan kewajiban membayar pajak.

 

Seyogyanya memiliki kesadaran perpajakan seperti masyarakat Samin atau bahkan lebih daripada itu. Terlebih lagi bahwa muara pembayaran pajak untuk kepentingan bersama warga negara. Akhirnya, kita perlu belajar banyak hal pada masyarakat Samin. Bahwasannya pajak dari kita dan untuk kita, untuk kemaslahatan bersama. (*)

 

*) Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Oleh: Suwandi

KERETA itu melaju dari Stasiun Cepu menuju Stasiun Gambir, Jakarta. Pertengahan 1963, Surokarto Kamidin, sesepuh masyarakat Samin atau Sedulur Sikep Dusun Jepang, Desa Margomulyo, Kecamatan Margomulyo, Bojonegoro hendak bertemu Presiden Soekarno. Setelah menempuh perjalanan sehari semalam dengan kereta berlokomotif diesel, tibalah ia di Jakarta.

 

Di hadapan Bung Karno, ia bertanya. “Apakah bangsa ini telah merdeka?”. “Apakah bangsa ini telah diperintah bangsanya sendiri, bukan lagi oleh bangsa lain bangsa penjajah ?”

 

- Advertisement -

“Ya, bangsa kita telah merdeka. Tidak ada lagi bangsa penjajah di negara kita.” jawab Bung Karno.

 

“Karena bangsa ini telah diperintah bangsanya sendiri, seluruh warga Samin taat kepada negara, membayar pajak, dan menyumbang kepada negara” kata Surokarto Kamidin kepada Bung Karno.

 

Setibanya di Bojonegoro, Surokarto Kamidin menyampaikan informasi kepada seluruh warga Samin di Dusun Jepang dan Dusun Tepelan, Kecamatan Ngraho, bahwa Indonesia telah merdeka dan diperintah bangsanya sendiri. Disampaikannya juga ajakan untuk turut membantu pemerintah.

 

Amargi bangsa punika sampun mardika Sedherek-sedherek saha ingkang nyepeng panguwaose praja inggih bangsa kita piyambak, mila saking punika mangga para Sedulur Sikep sami saiyeg saeka praya nyengkuyung pemerintahan ingkang wonten, klebet mbayar pajek saha nyumbang kangge negara. (Karena bangsa ini telah merdeka Saudara-saudara dan yang memegang pemerintahan adalah bangsa kita sendiri, mari para Sedulur Sikep bersatu mendukung pemerintahan, termasuk membayar pajak dan menyumbang kepada negara), ”ajakan Surokarto Kamidin kepada seluruh warga Sedulur Sikep.

Masyarakat Samin atau Sedulur Sikep saat ini banyak berdiam di Bojonegoro, Blora, Grobogan, Rembang, Kudus, dan Pati.

 

Sedikit menengok ke belakang, Samin Surosentiko dilahirkan di Plosokediren, Randublatung, Blora pada 1859. Samin Surosentiko dibesarkan dalam pengasuhan ayahnya di Plosokediren. Realita masa penjajahan kolonial menyadarkan dirinya akan hak-hak bangsa pribumi yang tertindas. Terutama kebijakan kompeni atas privatisasi hutan jati dan kewajiban membayar pajak bagi masyarakat miskin.

 

Samin Surosentiko tumbuh dengan jiwa empatis atas masyarakat sekitar. Ia ekspansi gagasan dan pengetahuan sebagai bentuk pendekatan transintelektual kaum tertindas (petani rakyat jelata). Perlawanan tidak secara fisik tetapi berwujud penentangan terhadap segala peraturan dan kewajiban dilakukan rakyat terhadap pemerintah Kolonial.

 

Terbawa oleh sikapnya menentang tersebut, ia merekontruksi sebuah tatanan, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan baru yang berbeda dari kaidah berlaku umum. Sebuah gerakan bersifat sebagai pembangkangan dan perlawanan sipil terhadap pemerintah Kolonial.

 

Usai merdeka masyarakat Samin bersatu mendukung pemerintahan termasuk membayar pajak. Inilah perlu kita catat dengan tinta tebal atas petikan dialog antara Surokarto Kamidin dengan Bung Karno sebagaimana ada di awal tulisan ini.

 

Masyarakat Samin kerap kali dipandang stereotip oleh masyarakat kebanyakan, sangat peduli terhadap bangsa. Atas kewajiban perpajakan, masyarakat Samin patuh dan taat. Hal ini bisa diketahui pemenuhan kewajiban masyarakat Samin membayar pajak bumi bangunan (PBB) dari tahun ke tahun. Ketika Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) PBB dibagikan, dalam hitungan hari, masyarakat Samin segera menyetor pajak melalui aparat desa.

 

Aktualisasi kesadaran perpajakan masyarakat Samin tersebut tidak lain dan tidak bukan berangkat dari rasa nasionalisme tinggi. Sejarah mencatat para leluhur mereka melakukan perlawanan terhadap penjajah, tidak sedikit harus meninggal di tanah pengasingan.

 

Adapun sekitar 75 persen pendapatan negara tertuang dalam APBN berasal dari sektor pajak. Menjadi saka guru keuangan negara atau istilah lain pajak adlaah tulang punggung keuangan negara. Angka 75 persen sebuah bilangan matematika menandakan bahwa tiga per empat bagian dari napas negara ini berasal dari pembayaran pajak oleh masyarakat.

 

Muara pembayaran pajak untuk pembiayaan pemerintahan serta menjaga kelangsungan kehidupan berbangsa. Dapat berupa belanja prioritas (infrastruktur, kesehatan, pendidikan, dan reformasi struktural), pemberian subsidi, kompensasi, hingga perlindungan sosial.

 

Di sinilah sebuah kaca benggala hadir. Masyarakat Samin kerap kali dipandang secara stereotip ternyata mereka memiliki kesadaran perpajakan tinggi. Meski sebagian besar mereka berkutat di sawah dan ladang, masyarakat Samin tidak ingin mengabaikan kewajiban membayar pajak.

 

Seyogyanya memiliki kesadaran perpajakan seperti masyarakat Samin atau bahkan lebih daripada itu. Terlebih lagi bahwa muara pembayaran pajak untuk kepentingan bersama warga negara. Akhirnya, kita perlu belajar banyak hal pada masyarakat Samin. Bahwasannya pajak dari kita dan untuk kita, untuk kemaslahatan bersama. (*)

 

*) Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru


/