HADIRNYA jalan nglenyer di Bojonegoro menjadi berkah tersendiri bagi warganya. Dari sisi mobilisasi bertansportasi, masyarakat tidak perlu zig-zag menghindari lubang jalan, atau area jalan ambles dan tergenang air. Semuanya sudah mulus, hingga sekadar getaran akibat tidak ratanya jalan, tinggal sedikit PR progres penyelesaiannya.
Potret nglenyer-nya jalan, tentu menjadi semangat tersendiri warga masyarakat beraktivitas. Baik ingin pergi ke sawah, perkantoran, belanja ke pasar. Semangat menikmati nglenyer jalan di Bojonegoro berbagai aktivitas, menjadi nilai plus. Hanya, masih ada pekerjaan rumah (PR) perlu segera dibenahi, yakni sisi etika berkendara.
Perlu diketahui, berkendara di jalan berlubang, dari sisi kecepatan jelas akan dilambatkan, tidak kebut-kebutan dan “seakan-akan” menikmati dari sisi berkendara. Kini, kala jalan nglenyer, berkendara digas dengan laju cepat. Ada anggapan, bahwa jalan sudah nglenyer itu bagai sirkuit dadakan memacu kendaraan seenaknya tanpa kendali. Di sinilah PR klinisnya, diperlukan edukasi berkendara di tengah infrastruktur jalan sudah baik bagi siapa saja berkendara.
Pertanyaannya, bagaimana membangun kesadaran etika berkendara kala sudah nglenyer jalannya? Pertama, melalui keluarga. Membangun etika berkendara, harus diperkenalkan sejak dini dari keluarga. Utamanya proses kesepakatan antara bapak/ibu dengan anak saat membelikannya motor. Patokannya, bila belum cukup umur, lebih baik bila orang tua mengantarkan terlebih dahulu untuk keperluan bepergian anak.
Sebagai orang tua, saat mengantar anak ke sekolah, tidak cukup sekadar mengantarkan saja. Anak diajak berdialog, bahwa berkendara baik itu berada di kiri, pelan-pelan, alias tidak kebut-kebutan. Proses edukasi sederhana ini bentuk kepedulian orang tua kepada anak kala kelak menjadi pengendara. Yakni, memiliki etika berkendara, tidak kebut-kebutan, berada di jalur benar, serta memiliki tenggang rasa sesama pengandara lainnya.
Kedua, melalui sekolah. Edukasi berkendara bisa disosialisasikan masif di setiap sekolah. Jika demikian, kepolisian perlu segera bersosialisasi keselamatan berkendara door to door ke sekolah, utamanya siswa berkendara sendiri ke sekolahnya.
Mulai dari jenjang SMP/MTs, SMA/MA, hingga SMK. Tidak ada salahnya menggandeng pihak TNI sebagai penguatan memunculkan kesadaran pentingnya menjaga keselamatan berkendara.
Ketiga, menggiatkan razia. Terwujudnya etika berkendara di jalan bisa dilakukan penggalakan razia kendaraan bermotor. Terlebih sebagaimana PP Nomor 80/2012 tentang Cara Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menyebut, bahwa tujuan pemeriksaan kendaraan bermotor dan penindakan pelanggaran lalin dan angkutan jalan, di samping terpenuhinya persyaratan teknis dan laik jalannya kendaraan, juga kelengkapan dokumen kendaraan. Lebih penting terwujudnya kepatuhan dan budaya aman keselamatan berlalu lintas.
Agar kepatuhan berkendara terwujud, menggiatkan operasi kendaraan upaya tepat. Efek jera tidak memakai helm, tetap menerobos saat tanda berhenti di traffic light atau lampu merah, hingga knalpot brong saat berkendara akan berubah bila operasi sering digelar. Karena masyarakat “masih takut” kehadiran polisi saat ada razia kendaraan. Jika hal ini ditangkap secara positif, tentu hadirnya razia berkendara intensif membawa implikasi kepatuhan dan budaya berkendara baik.
Keempat, melalui media massa. Peran edukasi berkendara baik juga perlu didukung media massa, baik cetak maupun online. Wujudnya bisa melalui terusan program imbauan tertib lalu lintas dari Polri, hingga penayangan konten sosok tertib berlalu lintas sebagai good news bersama-sama ikut membangun budaya tertib berlalu lintas.
Berbagai hal di atas adalah sarana, agar nglenyer-nya jalan di Bojonegoro menjadi sarana positif masyarakatnya memperlancar aktivitas keseharian. Sisi lainnya, sebagai upaya preventif tenggang rasa berkendara kala nglenyer-nya jalan sudah bisa dinikmati menjadi gaya bersama tenggang rasa sesama pengendara.
Bukan justru budaya egosentris, arogransi personal bahwa nglenyer-nya jalan seakan-akan milik sendiri. Semoga ini menjadi renungan bersama sebagai pengendara.
*) Dosen Prodi PAI Fakultas Tarbiyah Unugiri Bojonegoro