BOJONEGORO – Diet plastik dan perilaku buang sampah harus dimulai saat ini. Sebab, butuh waktu dan harus ada kesadaran diri. Desakan ini berdasar studi dirilis McKinsey and Co. dan Ocean Conservancy, Indonesia sebagai negara penghasil sampah plastik nomor dua di dunia setelah Tiongkok.
“Kalau sejak dini sudah bisa menerapkan diet plastik, setidaknya kelak bisa menular kepada orang sekitarnya hingga memiliki dampak masif,” kata Ranitya Nulita, salah satu aktivis lingkungan asal Bojonegoro.
Dia akan fokus menyadarkan anak muda selalu mengampanyekan diet plastik. Sebab, urusan sampah tidak bisa dianggap sepele. Karena tak hanya buang sampah pada tempatnya saja harus digalakkan, tetapi juga kelak harus paham mengklasifikasikan jenis sampah. Setidaknya, tiap desa punya bank sampah.
“Karena hakikatnya siklus sampah itu bisa didaur ulang kembali. Sehingga perlu diklasifikasikan agar bisa bermanfaat sesuai kebutuhannya,” ujar penggagas Asean Reuseable Bag Campaign itu.
Kompleksitas masalah sampah plastik perlu diatasi dengan melakukan hal-hal kecil. Misalnya, membungkus makanan dengan dedaunan, setiap minum es tidak pakai sedotan, dan setiap belanja tidak usah pakai kantong plastik.
Proses perubahan tingkah laku itu dilakukan pelan-pelan dan bertahap. “Setelah sudah sadar, setidaknya bisa mengurangi sampah plastik,” ujarnya.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Bojonegoro Nurul Azizah mengatakan, upaya mengurangi sampah plastik itu dimulai dengan kampanye ke sekolah-sekolah. Sehingga, diberikan imbauan kepada para siswa menggunakan botol minuman dan tempat makan dibawa dari rumah.
Apalagi lahan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Banjarsari seluas 5 hektare itu setiap harinya menumpuk sampah mencapai 243 meter kubik. Sejauh ini, sudah ada inovasi pengolahan sampah. Mulai mengolahnya menjadi gas metan, tenaga listrik, dan BBM.
“Hasil inovasi ini telah dimanfaatkan sebagian masyarakat sekitar TPA,” pungkasnya.