KABUPATEN Bojonegoro pernah memiliki predikat Lumbung Pangan dan Energi Negeri. Jatidiri itu cukup beralasan, karena luasnya wilayah. Luas wilayah 230.706 hektare (ha) dengan jumlah penduduk 1.311.042 jiwa. Tersebar di 28 kecamatan.
Sesuai data Dinas Pertanian (Disperta) Bojonegoro, lahan didominasi areal pertanian. Dengan luas baku lahan pertanian di Bojonegoro mencapai 78.487 hektare. Dengan jumlah petani sebanyak 193.492 orang. ‘’Lahan baku pertanian cukup luas,’’ kata Kepala Disperta Helmy Elisabeth.
Dia menuturkan hampir semua jenis tanaman bisa tumbuh dan berkembang di wilayah dialiri Sungai Bengawan Solo ini. Sesuai hasil pendataannya, saat musim hujan lahan pertanian masih didominasi tanaman padi. Sedangkan saat kemarau menanam palawija.
Selain dua komoditas itu, sudah mulai muncul sentra buah di 20 titik. Seperti di Desa Mojo dan Desa Ngringinrejo, Kecamatan Kalitidu dengan sentra buah belimbing dan ragam pisang. Di Desa Mori dan Desa Padang Kecamatan Trucuk sebagai sentra aneka jenis jambu.
Kebutuhan pangan masyarakat disokong dari pertanian. Tentu, sektor pertanian jika digarap maksimal mampu menciptakan kemandirian pangan. Namun, kondisi saat ini generasi petani sangat minim. Sebaliknya, mayoritas petani berusia tua atau di atas 45 tahun.
Berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS) Bojonegoro, hasil Survei Pertanian Antar Sensus (Sutas) 2018 merinci jumlah rumah tangga usaha pertanian menurut kelompok umur petani utama dan jenis kelamin. Meliputi rumah tangga usaha petani dengan usia 25-34 tahun jenis kelamin lelaki sebanyak 15.851 dan perempuan 1.375. Berbeda jauh dengan petani usia 45-54 tahun, dengan 69.769 lelaki dan 7.164 perempuan. (selengkapnya lihat grafis). Mengacu data tersebut menunjukkan angka jumlah petani milenial atau usia 25-34 tahun terlihat tak sebanding dengan petani berusia 45-54 tahun.
DPRD Bojonegoro berharap pemkab punya tugas berat mencetak gerenasi petani profesional. Tentu dengan program pemberdayaan petani. Khusunya bagi pemuda. ‘’Pemkab harus bisa melahirkan generasi petani profesional,’’ tutur Ketua Komisi B DPRD Bojonegoro Sally Atyasasmi.
Ancaman sektor industri yang mulai menggerus lahan pertanian produktif harus segera dicarikan solusi. Tentu dengan payung hukum. Karena jika dibiarkan, jangka panjang lahan produktif berkurang.
Sehingga ancaman kekurangan pangan bisa menjadi kenyataan, jika tak segera dicairkan solusi. ‘’Sektor industri selama ini mengikis lahan pertanian,’’ ujar politikus asal Kecamatan Sumberrejo itu.
Disperta, menurut dia, selaku dinas teknis menangani pertanian, harus kerja ekstra meningkatkan SDM petani, karena petugas pemantau lapangan (PPL) selama ini kinerjanya belum tampak. Masih banyak petani mandiri belum mendapat sentuhan dari pemerintah.
Sementara itu, sekumpulan pemuda dari Ruang Bebas Uang Bojonegoro mulai bergerak sektor pertanian. Sejak sebulan lalu menggerakkan lahan kolektif di area perkotaan. Lahan digarap sekitar 8×15 meter di Desa Campurejo, Kecamatan Bojonegoro Kota.
Penggarap lahannya semua para pemuda. Afif, salah satu anggotanya mengatakan, bahwa saat ini sudah ditanami bibit cabai, terong, dan jagung. “Tapi menanamnya masih setengah dari luas lahan tersebut, karena lahannya perlu disiangi. Masih banyak rumput gajahnya,” tuturnya.
Pemuda berusia 19 tahun itu merasa perlu menggerakkan pertanian di perkotaan. Setidaknya muncul kesadaran bahwa pemuda tidak perlu malu bekerja di ladang atau sawah. Sejauh ini, masih 5-10 pemuda rutin menggarap lahan tersebut. Ia bersama teman-temannya ingin mendesain lahannya menjadi tadah hujan.
Karena memang kekuatan mereka miliki ialah kesukarelawanan para anggotanya itu sendiri. Jadi, perawatan tanaman juga sangat mengandalkan kesadaran dari setiap anggota. Ia berharap hasil panen dari lahan bisa dirasakan warga sekitarnya.
Selain itu, guna menstimulus para pemuda di Bojonegoro, seluruh kegiatan bertani diunggah di akun Instagram Ruang Bebas Uang Bojonegoro. “Semoga semangat bertani ini menular ke pemuda-pemuda lain,” tuturnya.