24.7 C
Bojonegoro
Saturday, June 3, 2023

Sering Baca Karya Pram, Jarang Ikuti Seminar

- Advertisement -

SIGIT Priatmoko menerbitkan dua judul buku tahun ini. Setelah Tak Asal Jadi Guru, Jadi Guru yang Tak Asal diterbitkan Mei lalu, buku Mengapa Sulit Bahagia terbit September.

Sebagai dosen muda,  Sigit Priatmoko, tak hanya ingin sebagai pengajar. Dia juga suka menulis.

‘’Saya bukan penulis handal. Tapi berkenan jika diminta memotivasi,” tutur pria kelahiran 11 Februari 1991 itu.

Keinginan menulis sudah ada sejak tiga tahun lalu, saat Sigit mengenyam pendidikan S-2 di UIN Malang. Namun, dia hanya menulis saat merasa jenuh. Atau, saat membutuhkan sarana untuk menyampaikan ide-ide yang menggebu di pikirannya.

Tulisan itu bertahun-tahun mengendap di komputernya. Sebab, Sigit memilih fokus untuk menuntaskan pendidikan. Setelah lulus dan berhasil menjadi dosen, dia mulai membuka file-file tulisannya.

- Advertisement -

Tahun lalu, dia ingat betul ketika membuka komunikasi dengan mahasiswanya. Ternyata banyak yang tidak gemar membaca. Dunia literasi seperti berhenti. Mahasiswa lebih asik curhat melalui media sosial dibanding membangun komunikasi dengan dosen.

Sigit mulai membaca kembali tulisannya. Melakukan penelitian sederhana di lingkungan dan menggabungkan pengalaman yang dimiliki. Akhirnya, buku Tak Asal Jadi Guru, Jadi Guru yang Tak Asal menjadi karya pertamanya.

“Menulis untuk media kampus saja belum pernah terpikir. Apalagi menulis buku dan bisa menjadi referensi,” tutur pria asal Kecamatan Tikung itu.

Setelah menerbitkan buku pertama, Sigit berobsesi segera menerbitkan buku keduanya. Buku tersebut berhasil terbit empat bulan berikutnya.

Sigit mengaku jarang mengikuti seminar. Baginya, menulis itu dari hati. Menulis juga tidak bisa ditiru. Karya-karyanya merupakan tulisan lama yang diperbaiki dengan gaya bahasa modern. Seorang penulis butuh figur yang dicontoh. Tapi penulis perlu memunculkan karakternya sendiri. Itu yang menjadi kesulitannya selama ini. Dia sadar, kecintaannya pada karya-karya Pramoedya Ananta Toer cukup kuat. Tapi dia tidak bisa memaksakan tulisannya agar senada dengan karya idolanya. Sebab karakter tulisannya banyak membahas pendidikan, dan profesionalisme. Sehingga dia perlu merujuk pada referensi lain.

Sigit bukan penulis yang paten pada satu kiblat. Dia mulai membuka pikirannya untuk menerima bahasan lain yang menjadi referensi.

Ketika berada pada kejenuhan, membaca dan minum kopi adalah pelariannya. “Jenuh itu wajar. Tapi saya sudah memiliki pelarian yang tepat,” ujar suami dari Syifaaiyatul Maftukhah tersebut.

SIGIT Priatmoko menerbitkan dua judul buku tahun ini. Setelah Tak Asal Jadi Guru, Jadi Guru yang Tak Asal diterbitkan Mei lalu, buku Mengapa Sulit Bahagia terbit September.

Sebagai dosen muda,  Sigit Priatmoko, tak hanya ingin sebagai pengajar. Dia juga suka menulis.

‘’Saya bukan penulis handal. Tapi berkenan jika diminta memotivasi,” tutur pria kelahiran 11 Februari 1991 itu.

Keinginan menulis sudah ada sejak tiga tahun lalu, saat Sigit mengenyam pendidikan S-2 di UIN Malang. Namun, dia hanya menulis saat merasa jenuh. Atau, saat membutuhkan sarana untuk menyampaikan ide-ide yang menggebu di pikirannya.

Tulisan itu bertahun-tahun mengendap di komputernya. Sebab, Sigit memilih fokus untuk menuntaskan pendidikan. Setelah lulus dan berhasil menjadi dosen, dia mulai membuka file-file tulisannya.

- Advertisement -

Tahun lalu, dia ingat betul ketika membuka komunikasi dengan mahasiswanya. Ternyata banyak yang tidak gemar membaca. Dunia literasi seperti berhenti. Mahasiswa lebih asik curhat melalui media sosial dibanding membangun komunikasi dengan dosen.

Sigit mulai membaca kembali tulisannya. Melakukan penelitian sederhana di lingkungan dan menggabungkan pengalaman yang dimiliki. Akhirnya, buku Tak Asal Jadi Guru, Jadi Guru yang Tak Asal menjadi karya pertamanya.

“Menulis untuk media kampus saja belum pernah terpikir. Apalagi menulis buku dan bisa menjadi referensi,” tutur pria asal Kecamatan Tikung itu.

Setelah menerbitkan buku pertama, Sigit berobsesi segera menerbitkan buku keduanya. Buku tersebut berhasil terbit empat bulan berikutnya.

Sigit mengaku jarang mengikuti seminar. Baginya, menulis itu dari hati. Menulis juga tidak bisa ditiru. Karya-karyanya merupakan tulisan lama yang diperbaiki dengan gaya bahasa modern. Seorang penulis butuh figur yang dicontoh. Tapi penulis perlu memunculkan karakternya sendiri. Itu yang menjadi kesulitannya selama ini. Dia sadar, kecintaannya pada karya-karya Pramoedya Ananta Toer cukup kuat. Tapi dia tidak bisa memaksakan tulisannya agar senada dengan karya idolanya. Sebab karakter tulisannya banyak membahas pendidikan, dan profesionalisme. Sehingga dia perlu merujuk pada referensi lain.

Sigit bukan penulis yang paten pada satu kiblat. Dia mulai membuka pikirannya untuk menerima bahasan lain yang menjadi referensi.

Ketika berada pada kejenuhan, membaca dan minum kopi adalah pelariannya. “Jenuh itu wajar. Tapi saya sudah memiliki pelarian yang tepat,” ujar suami dari Syifaaiyatul Maftukhah tersebut.

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru

Lebih Suka Belajar Bersama

Terus Bersinergi dengan Media


/