Radar Lamongan – Terobosan Pertanian dilakukan Heri Purwanto. Warga Desa Sidomulyo Kecamatan Mantup itu sukses membudidayakan Talas Jepang (Taro Potato). Padahal, tanaman untuk penyembuh luka dan bisa membuat awet muda itu biasa hidup di dataran tinggi.
Memasuki musim hujan seperti saat ini, Heri Purwanto sibuk melakukan pembibitan Taro Potato. Itu sebagai persiapan menghadapi musim tanam setelah intensitas hujan stabil nanti. Meski baru berupa bibit, ternyata sudah bisa mendatangkan uang. Hal itu menggambarkan cukup menguntungkannya budidaya Taro Potato.
‘’Satu bibit harganya Rp 1.000 hingga Rp 1.200,’’ ungkapnya. Menurut dia, butuh waktu sekitar dua minggu. Dia bisa menghasilkan sekitar 300 hingga 500 bibit siap tanam sekali pembibitan.
‘’Kalau ternyata bibit sudah laku terjual, saya harus siap melakukan pembibitan lagi untuk penanaman saya,’’ ujarnya.Sedangkan saat panen, Heri mengaku bisa menghasilkan 40 Ton per hektare. Harganya mencapai Rp 8.000 hingga Rp 13.000 per kg. Sehingga dia bisa mengantongi pendapatan hingga Rp 520 Juta per Hektare.
Penjualannya hingga ke Jogjakarta, Jakarta, Kalimantan, Bali, Sumantra, dan kota-kota lain di Indonesia. ‘’Saya tidak perlu susah memasarkan, karena pembeli sudah datang sendiri,’’ ungkapnya.
Heri mengungkapkan, Talas Jepang saat ini sedang dicari. Sebab masih minim yang membudidayakan. Sedangkan manfaatnya cukup banyak. Antara lain, bisa mempercepat penyembuhan luka dan membuat awet muda. Sebab mengandung kolagen.
Sebagai bukti, Talas Jepang banyak dibudidayakan dan dikonsumsi masyarakat Yuzurihara di Jepang. Di wilayah itu, warga lanjut usia (lansia)-nya masih banyak dan sehat. Bahkan masih biasa bekerja keras. Padahal tidak sedikit yang perokok.
‘’Sekarang di sini (Indonesia) banyak dicari untuk dikonsumsi,’’ tukasnya. Heri mengaku mulai budidaya Taro Potato sekitar lima tahun lalu. Awalnya mendapat bibit dari Kediri. Namun, saat ditanam di Lamongan ternyata banyak yang mati.
Sebab, di Kediri biasa hidup di dataran tinggi yang sejuk. Sedangkan Lamongan masuk daerah dataran rendah yang cukup panas. Sehingga butuh melakukan adaptasi. ‘’Butuh waktu sekitar dua tahun untuk melakukan adaptasi saja. Alhamdulillah, saat ini sudah bisa ditanam di daerah Lamongan,’’ ungkapnya.
Terkait kendala yang masih dihadapi, Heri mengaku, tanaman itu membutuhkan banyak air. Sehingga hanya bisa ditanam saat musim penghujan. Kalau kekurangan air, tanaman itu cepat mati. Masa tanamnya antara 3 dampai 4 bulan. Sehingga dalam setahun maksimal hanya bisa ditanam dua kali.
Tapi yang paling sering hanya sekali. Yakni saat musim hujan saja. ‘’Memang kendalanya cukup krusial, terkait kebutuhan air harus cukup. Tapi secara umum relatif mudah dibudidayakan dan hasilnya cukup bagus,’’ terangnya.