Buah bintaro dapat dijadikan bahan obat pembasmi rayap. Bahkan, karya ilmiah dari lima siswa SMA di Lamongan ini mendapatkan pengakuan internasional.
RIKA RATMAWATI, Lamongan
Perasaan Akhyaul Askhaf Firdaus, Abelinda Ari Yunardi, Shevita, Naswa Anastasya, dan Laily Pratama bercampur aduk Selasa (23/2). Mereka menunggu dewan juri mengumumkan hasil lomba karya tulis ilmiah yang dilakukan secara virtual. Ada perasaan gelisah. Juga tegang karena khawatir sinyal mengalami masalah.
Sekitar lima menit menunggu, perasaan mereka akhirnya plong dan gembira. Shevita dkk dinyatakan meraih medali emas dalam kompetisi itu. “Alhamdulillah ya Allah, kado terindah di awal tahun,” tutur Firdaus menirukan apa yang diucapkan setelah kelompoknya dinyatakan sebagai pemenang kejuaraan ASEAN Innovation Science and Entrepreneur Fair (AISEF).
Lomba itu diikuti 100 kelompok lebih Se-ASEAN. Dari Lamongan ada dua kelompok. Namun, hanya kelompok Firdaus yang masuk final. “Persiapan kita tidak lama, sekitar tiga bulan sudah langsung diminta ikut lomba oleh guru pembimbing,” tuturnya.
Abelinda malah merasa hasil lomba itu sebuah keajaiban. Baru kali pertama mengikuti kejuaraan internasional, dia mendapatkan juara. Penelitian yang diikutkan lomba itu tentang obat pembasmi rayap dari bahan alami, buah bintaro.
Prosesnya sederhana. Lima buah bintaro dicuci hingga bersih. Selanjutnya, buah tersebut potong kecil-kecil dan dihaluskan dengan blender. Bintaro dipilih menjadi bahan penelitian karena mengandung saponin dan carberin. Kandungan tersebut cukup bagus untuk membasmi rayap. Selain itu, bintaro juga mudah ditemukan di Lamongan.
‘’Kami sengaja mencari bahan yang mudah ditemukan agar tidak menyulitkan dalam penelitian di masa pandemi ini,” tuturnya.
Shevita diberi tugas menunggu proses perendaman ekstrak bintaro tersebut menggunakan air putih. Proses perendaman membutuhkan waktu sekitar 3 x 24 jam. Setelah itu, Naswa bagian memersiapkan pelarut etanol. Berdasarkan referensi yang mereka baca, salah satu manfaat etanol bisa membunuh rayap. Sehingga, bahan ini dicoba digabungkan dengan berbagai konsentrasi.
Saat itu, dicampurkan pelarut etanol 96 persen. Setiap pengujian insektisida diberikan 50 rayap. Pengujiannya dilakukan tiga kali pengulangan. Hasilnya, diambil rata-rata mortalitasnya. “Ternyata bahan ini lebih efektif dan aman apabila digunakan,” terangnya.
Laily diberikan tugas melakukan pengamatan berkala, 6 jam, 12 dan 24 jam. Penelitian itu dilakukan selama pandemi. Pertemuan langsung diminimalisasi. Koordinasi menggunakan grup WhatsApp. Ketika mengikuti lomba, Shevita dkk mengalami kesulitan dalam berbahasa. Penjelasan makalah mereka semuanya harus menggunakan bahasa Inggris. Mereka khawatir pesan yang disampaikan tidak bisa dipahami.
“Kami memang kurang mempersiapkan dalam hal bahasa untuk presentasinya,” tutur Shevita. Dia dan kawannya merasa sangat senang setelah keputusan akhir dewan juri. Semua lelah dan waktu yang digunakan penelitian terbayar.