BOJONEGORO – Rumah-rumah joglo khas Bojonegoro susah ditemui di masa sekarang. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Bojonegoro pun hanya mampu menyayangkan hal tersebut. Kabid Kebudayaan Disbudpar Bojonegoro, Suyanto menyebutkan, pihak Disbudpar tidak bisa ikut campur terhadap transaksi jual beli rumah joglo khas Bojonegoro.
Karena alasan para pemilik atau ahli waris rumah joglo pasti karena desakan ekonomi. Sebab, rumah joglo pasti sudah turun temurun. “Hal tersebut memang wajar, penjualan rumah joglo biasanya hasil penjualan dibagi untuk beberapa ahli waris,” jelasnya.
Pihak Disbudpar hanya mampu mengamankan bangunan-bangunan yang memang memiliki nilai sejarah dan bisa dijadikan cagar budaya. Sehingga apabila ranahnya rumah pribadi, walau sudah berusia ratusan tahun, tetap tidak bisa ikut campur apalagi melarang menjualnya.
Suyanto pun mengungkapkan sebenarnya rumah joglo khas Bojonegoro bisa menjadi kebanggaan tersendiri bagi masyarakat Bojonegoro. Karena sejak dulu kala, kualitas kayu jati Bojonegoro sangat unggul. Jadi, dia hanya berharap semoga rumah-rumah joglo itu lebih banyak terjual oleh konsumen dalam kota Bojonegoro sendiri. “Lebih membanggakan kalau joglo itu hanya berpindah tempat dan pemilik namun tetap di Bojonegoro, sangat disayangkan kalau terus menerus dibeli oleh orang Bali,” terangnya.
Adapun beberapa rumah joglo di pedesaan kini telah berubah menjadi resto atau hotel di wilayah perkotaan. Sehingga identitas tersebut masih terjaga apabila memang ada niat untuk melestarikannya. Suyanto pun mengatakan, di wilayah Desa Manukan Kecamatan Gayam ada tren baru bahwa standar kekayaan itu terbukti kalau sudah punya rumah joglo. “Rumah-rumah joglo di daerah Manukan Gayam ada yang bangunan lama atau baru, namun tren tersebut layak untuk diamini sebagai warisan budaya,” katanya.
Sementara itu, Sekretaris Disbudpar Bojonegoro, M. Ridwan Sayyadi mengungkapkan, langkanya joglo memang karena era globalisasi. Ada orang yang tertarik dengan joglo, ada juga yang sudah malas merawat warisan budaya tersebut. “Para ahli waris joglo tidak semuanya berniat untuk mempertahankannya, sehingga pihak kami tidak ada kewenangan melarang mereka untuk menjualnya,” ujarnya.
Pihak Disbudpar mampu mendorong dan mensosialisasikan kepada masyarakat agar tidak menjual joglonya. Namun, butuh pengelolaan tertentu agar masyarakat tersebut menerima manfaat dari rumah joglonya. Seperti contoh dijadikan salah satu destinasi wisata, sehingga masyarakat punya tanggung jawab terhadap warisan budaya tersebut. “Kewenangan Disbudpar tidak lebih dari itu, karena alasan dijual tentu karena desakan ekonomi,” pungkasnya.