KEDEWAN – Sumur minyak tua di Desa Wonocolo, Hargomulyo dan Kawengan menurun. Produksinya sudah tidak banyak seperti dulu. Menurut seorang pemuda asal Desa Kawengan Kecamatan Kedewan, Ni’am, kondisi minyak di desanya menurun. Dulu, banyak anak muda menjadi pegawai di sumur minyak tua. Mereka juga ikut mengirim hasil minyak dengan jeriken. Namun, kini tak banyak lagi pemuda yang menekuni pekerjaan itu.
Sebab, kandungan minyak sudah tak seperti dulu lagi. “Ya ada yang memilih merantau. Ada juga yang melakukan pekerjaan lain,” katanya minggu (22/4). Dia mengungkapkan, tidak sedikit warga yang meninggalkan dunia perminyakan untuk bertani. Apalagi, ada beberapa tanah persil di lahan milik Perhutani yang bisa digarap. Sehingga, bisa dimanfaatkan warga agar bisa tetap bekerja dan menghidupi keluarganya. “Seperti bapak saya, lebih memilih bertani,” ungkapnya.
Penambang minyak di Desa Hargomulyo, Yono mengaku, hasil minyak kecil, tidak seperti dulu. Kondisi itu diperparah dengan harga minyak naik turun dan kadang juga murah. Menurut dia, sumur minyak tua itu ada yang milik kelompok, juga ada yang perseorangan. Jika ada orang luar yang masuk untuk ikut berbisnis emas hitam itu, mereka menyebut investor.
“Untuk mengelola sumur memang butuh uang banyak. Jadi, harus siap merogoh kocek jutaan rupiah agar bisa mengelola sumur,” ujarnya. Untuk memproduksi minyak sebanyak seribu liter sehari, menurut dia, sangat sulit. Kadang, bisa dapat kadang tidak. Bahkan, dalam seminggu hanya mendapatkan lima drum saja. Satu drum itu isinya seribu liter. “Jadi praktis, sehari kadang hanya dapat bagian Rp 50 ribu,” tukasnya.
Dia memilih bertahan menjadi penambang minyak untuk kebutuhan hidup. Meski begitu diyakini minyak akan habis. Maka, dia mengaku juga masih mempertahankan sebagai petani untuk berjaga-jaga bila sudah tidak bisa menambang. “Kalau tidak ada pekerjaan di sini (tambang minyak, Red), tetap garap sawah,” terangnya.