24.7 C
Bojonegoro
Wednesday, March 22, 2023

Batu Bata Berbahan Alami Minimal Dijemur Seminggu

- Advertisement -

Nazhifa Nisrina Shobihah dan Salwa Fathiya Sabrina memanfaatkan enceng gondok sebagai salah satu bahan batu bata antiradiasi. Karya tersebut mendapat penghargaan di ajang WISPO.

NAZHIFA Nisrina Shobihah dan Salwa Fathiya Sabrina dipertemukan ketika mengikuti ekstra karya ilmiah remaja (KIR) di sekolahnya. Saat ada tugas dari guru pembina, keduanya memilih melakukan penelitian bersama.

Pilihan temanya, batu bata antiradiasi dan ringan. Tentu, bukan batu bata yang full semen pada umumnya. Batu bata antiradiasi itu menggunakan campuran bahan alami. Salah satunya, enceng gondok. Tanaman yang sering tumbuh liar di kali atau sungai itu, cukup banyak dijumpai di Lamongan. 

‘’Kita sengaja menggunakan enceng gondok. Selain jumlahnya melimpah juga memiliki kandungan selulosa tinggi,” terang Nazhifa. 

Batu bata dengan kandungan semen 100 persen, biasanya ruangannya tidak dingin.  Batu bata campuran bahan alami, dapat membuat suhu dalam ruangan menjadi lebih dingin. Selain lebih dingin, batu bata bahan alami harganya lebih murah dan ringan. 

- Advertisement -

Nazhifa dan Salwa hanya memanfaatkan enceng gondok, lidah mertua, dan kulit siwalan. Komposisi itu ditambahi semen putih. Setelah melalui proses dihaluskan dan dikeringkan, adonan yang ada dicampur semen dan air. Selanjutnya dicetak dan dijemur sampai kering. Minimal, waktunya seminggu.

Nazhifa dan Salwa harus beberapa kali mengulang sampai adonan benar- benar rekat. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, penelitian tersebut memakan waktu hingga tiga bulan. 

Karya itu kemudian diikutkan World Innovative Science Project Olympiad (WISPO) 2021 yang digelar the Indonesian Scientific Society bulan lalu secara daring. Seleksinya tidak bertahap per daerah atau wilayah tertentu. Namun, langsung berlomba secara internasional dengan peserta dari berbagai negara. 

“Kalau dari Indonesia sepertinya juga ada tapi tidak tahu jumlahnya, yang jelas ada 120 peserta yang masuk final dibagi empat bidang, saya menjadi salah satunya (environmental science),” tutur pelajar kelas XI itu. 

Namun, Nazhifa tidak jago banget berbahasa Inggris. Dia sempat kesulitan menerjemahkan pertanyaan dari dewan juri. Akibatnya, jawaban yang disampaikan kurang maksimal. Beruntung, Salwa bisa menerangkan lebih jelas. Keduanya akhirnya dinyatakan sebagai pemenang ketiga kompetisi tingkat internasional yang diikuti 24 negara itu. 

Nazhifa dan Salwa tetap bersemangat meski belum mendapatkan hasil maksimal yang diinginkan. Nazhifa sudah dua kali mengikuti kejuaraan nasional dan internasional. Ada yang mendapatkan juara ada yang tidak. Dia ingin mengembangkan penelitian-penelitian lain selama ada kesempatan. Sementara Salwa memilih fokus untuk mempersiapkan masuk perguruan tinggi nantinya.

Nazhifa Nisrina Shobihah dan Salwa Fathiya Sabrina memanfaatkan enceng gondok sebagai salah satu bahan batu bata antiradiasi. Karya tersebut mendapat penghargaan di ajang WISPO.

NAZHIFA Nisrina Shobihah dan Salwa Fathiya Sabrina dipertemukan ketika mengikuti ekstra karya ilmiah remaja (KIR) di sekolahnya. Saat ada tugas dari guru pembina, keduanya memilih melakukan penelitian bersama.

Pilihan temanya, batu bata antiradiasi dan ringan. Tentu, bukan batu bata yang full semen pada umumnya. Batu bata antiradiasi itu menggunakan campuran bahan alami. Salah satunya, enceng gondok. Tanaman yang sering tumbuh liar di kali atau sungai itu, cukup banyak dijumpai di Lamongan. 

‘’Kita sengaja menggunakan enceng gondok. Selain jumlahnya melimpah juga memiliki kandungan selulosa tinggi,” terang Nazhifa. 

Batu bata dengan kandungan semen 100 persen, biasanya ruangannya tidak dingin.  Batu bata campuran bahan alami, dapat membuat suhu dalam ruangan menjadi lebih dingin. Selain lebih dingin, batu bata bahan alami harganya lebih murah dan ringan. 

- Advertisement -

Nazhifa dan Salwa hanya memanfaatkan enceng gondok, lidah mertua, dan kulit siwalan. Komposisi itu ditambahi semen putih. Setelah melalui proses dihaluskan dan dikeringkan, adonan yang ada dicampur semen dan air. Selanjutnya dicetak dan dijemur sampai kering. Minimal, waktunya seminggu.

Nazhifa dan Salwa harus beberapa kali mengulang sampai adonan benar- benar rekat. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, penelitian tersebut memakan waktu hingga tiga bulan. 

Karya itu kemudian diikutkan World Innovative Science Project Olympiad (WISPO) 2021 yang digelar the Indonesian Scientific Society bulan lalu secara daring. Seleksinya tidak bertahap per daerah atau wilayah tertentu. Namun, langsung berlomba secara internasional dengan peserta dari berbagai negara. 

“Kalau dari Indonesia sepertinya juga ada tapi tidak tahu jumlahnya, yang jelas ada 120 peserta yang masuk final dibagi empat bidang, saya menjadi salah satunya (environmental science),” tutur pelajar kelas XI itu. 

Namun, Nazhifa tidak jago banget berbahasa Inggris. Dia sempat kesulitan menerjemahkan pertanyaan dari dewan juri. Akibatnya, jawaban yang disampaikan kurang maksimal. Beruntung, Salwa bisa menerangkan lebih jelas. Keduanya akhirnya dinyatakan sebagai pemenang ketiga kompetisi tingkat internasional yang diikuti 24 negara itu. 

Nazhifa dan Salwa tetap bersemangat meski belum mendapatkan hasil maksimal yang diinginkan. Nazhifa sudah dua kali mengikuti kejuaraan nasional dan internasional. Ada yang mendapatkan juara ada yang tidak. Dia ingin mengembangkan penelitian-penelitian lain selama ada kesempatan. Sementara Salwa memilih fokus untuk mempersiapkan masuk perguruan tinggi nantinya.

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru


/