27.8 C
Bojonegoro
Friday, June 2, 2023

Fragmen Pertentangan Antara Ekonomi dan Lingkungan

- Advertisement -

BUKU yang berisi kisah perseteruan antara ekonomi dan lingkungan semakin tebal. Pasalnya, adu nilai antara ekonomi dan lingkungan yang tak mau berhenti sampai hari ini. Sampai kini, Hutan Jati Peteng di Desa Sumurgeneng, Kecamatan Jenu masih terus ditebang. Akibatnya, hutan yang semula peteng itu sekarang benderang. Tak lagi gelap. Ribuan pohon tumbang, tercerabut dari akarnya. Batang-batang pohon tersebut dipotongi dan dikumpulkan, terjajar rapi seperti ikan-ikan pindang yang dijemur di tepi pantai.  
Sebagai penggantinya, PT Pertamina Rosneft dan Petrokimia selaku industri yang mengorbankan ribuan pohon tersebut akan mendirikan kilang minyak Grass Root Refinery. Konon, kilang minyak tersebut akan jadi yang terbesar se-Asia Tenggara. Alhasil, maklumat Hutan Jati Peteng sebagi paru-paru Tuban betul-betul telah mampus.
Banyak orang, termasuk Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan, di akun Twitter-nya (3/11), harap jangan anti terhadap maraknya pembangunan industri karena alasan deforestasi.
Sungguh menggembirakan statemen orang nomor satu di Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia tersebut. Itu didasari keinginan untuk membangun industri besar-besaran sebagai tanggung jawab pemerintah meningkatkan perekonomian. Betapa mulianya, tapi sesungguhnya kemuliaan tak pernah bertuan dan berdiri sendiri.
Konsep berpikir paradoks menyatakan, semua hal yang ada selalu bertentangan, bahkan tertampilkan dalam 99 sifat Tuhan. Dalam kaidah linguistik, orang mengistilahkan paradoks itu sebagai antonim. Dan, nyata dapat ditunjukkan sesungguhnya kata kemuliaan itu berlawanan dengan kata kehinaan. Artinya, dalam kasus pembangunan industri, tujuan mulia pemerintah memarakkan industri berbanding terbalik dengan derajat kelestarian alam.
Tapi apa yang bisa dilakukan oleh alam? Sampai saat ini tak pernah ada sejarah yang mencatat bahwa sebatang pohon mampu berjalan tersuruk-suruk menuju pengadilan untuk menuntut hak. Itu fiksi sekali. Tentunya, peristiwa seperti itu hanya hasil kekayaan imajinasi seseorang yang pernah membayangkannya, tidak lain.
Sampai kini, pohon-pohon yang ditebang dan terhina demikian betul-betul tak pernah menuntut untuk dibela. Mereka cuma punya perantara atas nama seseorang atau lembaga swadaya yang punya kerelaan untuk menolong. Kalau mereka berintegritas dan pemangku hukum pernah belajar etik lingkungan, bisa jadi pohon-pohon dapat terselamatkan. Jika tidak, maka kerusakan praktis terjadi pada dua hal. Satu, alam. Dua, kepedulian.
Sejujurnya, orang tak perlu lagi berbisik tentang kerusakan alam dari jarak sekian milimeter dari telinga pemerintah. Pemerintah selaku pembuat kebijakan tentu sudah mengetahui hal ini beserta dampak buruknya bagi lingkungan. Sialnya, tingkat kesadaran bahwa mereka hidup berdampingan dengan alam dan suhu kepedulian mereka terhadap perusakan lingkungan rendah. Akibatnya, dua sikap tersebut membeku di kamar gelap dan menunggu dipagas peluru melesat dari ruang redaksi pers.
Green peace, salah satu lembaga swadaya pemerhati lingkungan skala nasional kemarin (19/11) dilaporkan ke kepolisian oleh seseorang yang menyatakan diri sebagai Ketua Cyber Indonesia Husin Shahab. Deliknya, penyajian data deforestasi Greenpeace yang berbau kritik untuk pemerintah tersebut hoax dan menyebabkan keonaran publik. Tapi sungguh menarik, tiga hari setelah itu laporannya dicabut. Alasannya, menghindari kesan otoriter pemerintah. Tentu, sikap Husin tersebut sangat heroik bagi pemerintah–sebuah penggalan kisah tentang kepahlawanan yang agung.
Kalau pemerintah tahu diri, seharusnya ketua Cyber Indonesia tersebut diberikan tempat, mengingat berembus kabar akan ada reshuffle jajaran menteri. Tapi sayangnya, kita juga harus ingat: pemberian gelar kepahlawanan selalu pantas diberikan ketika orang tersebut sudah mati.
Kembali lagi ke Tuban. Siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas kerusakan Hutan Jati Peteng? Apakah industri? Apakah pemerintah Kabupaten Tuban? Rasanya bukan keduanya. Sebab, sejauh data yang terkumpul, izin pembangunan industri sekaligus peruntuhan kelestarian alam tersebut langsung berada di pusat. Tuban tidak punya kekuataan mencegah. Kabupaten yang merayakan usianya ke-728 tahun pada 12 November lalu itu tak mampu menghalangi perusakan 126 hektare hutannya sendiri. Juga terkait solusi semua ini. Tidak ada yang berhak menemukan, kecuali pemerintah selaku pembuat kebijakan.
Pemerintah daerah maupun pusat alangkah mulianya jika menemukan solusinya. Tugas rakyat telah selesai. Mereka senantiasa menyokong kinerja pemerintah melalui pajak membeli kendaraan, tanah, membangun rumah, sampai menikmati sebatang rokok yang dihisap tiap hari. Rakyat berharap uang itu digunakan sebaik-baiknya. Kesadaran bahwa pemerintah digaji untuk memberikan solusi harus tinggi. Setingkat dengan insentif yang diterima tiap bulan dan tunjangan perjalanan beserta seluruh fasilitasnya. (*)

Yusab Alfa Ziqin,
Wartawan Jawa Pos Radar Tuban

BUKU yang berisi kisah perseteruan antara ekonomi dan lingkungan semakin tebal. Pasalnya, adu nilai antara ekonomi dan lingkungan yang tak mau berhenti sampai hari ini. Sampai kini, Hutan Jati Peteng di Desa Sumurgeneng, Kecamatan Jenu masih terus ditebang. Akibatnya, hutan yang semula peteng itu sekarang benderang. Tak lagi gelap. Ribuan pohon tumbang, tercerabut dari akarnya. Batang-batang pohon tersebut dipotongi dan dikumpulkan, terjajar rapi seperti ikan-ikan pindang yang dijemur di tepi pantai.  
Sebagai penggantinya, PT Pertamina Rosneft dan Petrokimia selaku industri yang mengorbankan ribuan pohon tersebut akan mendirikan kilang minyak Grass Root Refinery. Konon, kilang minyak tersebut akan jadi yang terbesar se-Asia Tenggara. Alhasil, maklumat Hutan Jati Peteng sebagi paru-paru Tuban betul-betul telah mampus.
Banyak orang, termasuk Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan, di akun Twitter-nya (3/11), harap jangan anti terhadap maraknya pembangunan industri karena alasan deforestasi.
Sungguh menggembirakan statemen orang nomor satu di Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia tersebut. Itu didasari keinginan untuk membangun industri besar-besaran sebagai tanggung jawab pemerintah meningkatkan perekonomian. Betapa mulianya, tapi sesungguhnya kemuliaan tak pernah bertuan dan berdiri sendiri.
Konsep berpikir paradoks menyatakan, semua hal yang ada selalu bertentangan, bahkan tertampilkan dalam 99 sifat Tuhan. Dalam kaidah linguistik, orang mengistilahkan paradoks itu sebagai antonim. Dan, nyata dapat ditunjukkan sesungguhnya kata kemuliaan itu berlawanan dengan kata kehinaan. Artinya, dalam kasus pembangunan industri, tujuan mulia pemerintah memarakkan industri berbanding terbalik dengan derajat kelestarian alam.
Tapi apa yang bisa dilakukan oleh alam? Sampai saat ini tak pernah ada sejarah yang mencatat bahwa sebatang pohon mampu berjalan tersuruk-suruk menuju pengadilan untuk menuntut hak. Itu fiksi sekali. Tentunya, peristiwa seperti itu hanya hasil kekayaan imajinasi seseorang yang pernah membayangkannya, tidak lain.
Sampai kini, pohon-pohon yang ditebang dan terhina demikian betul-betul tak pernah menuntut untuk dibela. Mereka cuma punya perantara atas nama seseorang atau lembaga swadaya yang punya kerelaan untuk menolong. Kalau mereka berintegritas dan pemangku hukum pernah belajar etik lingkungan, bisa jadi pohon-pohon dapat terselamatkan. Jika tidak, maka kerusakan praktis terjadi pada dua hal. Satu, alam. Dua, kepedulian.
Sejujurnya, orang tak perlu lagi berbisik tentang kerusakan alam dari jarak sekian milimeter dari telinga pemerintah. Pemerintah selaku pembuat kebijakan tentu sudah mengetahui hal ini beserta dampak buruknya bagi lingkungan. Sialnya, tingkat kesadaran bahwa mereka hidup berdampingan dengan alam dan suhu kepedulian mereka terhadap perusakan lingkungan rendah. Akibatnya, dua sikap tersebut membeku di kamar gelap dan menunggu dipagas peluru melesat dari ruang redaksi pers.
Green peace, salah satu lembaga swadaya pemerhati lingkungan skala nasional kemarin (19/11) dilaporkan ke kepolisian oleh seseorang yang menyatakan diri sebagai Ketua Cyber Indonesia Husin Shahab. Deliknya, penyajian data deforestasi Greenpeace yang berbau kritik untuk pemerintah tersebut hoax dan menyebabkan keonaran publik. Tapi sungguh menarik, tiga hari setelah itu laporannya dicabut. Alasannya, menghindari kesan otoriter pemerintah. Tentu, sikap Husin tersebut sangat heroik bagi pemerintah–sebuah penggalan kisah tentang kepahlawanan yang agung.
Kalau pemerintah tahu diri, seharusnya ketua Cyber Indonesia tersebut diberikan tempat, mengingat berembus kabar akan ada reshuffle jajaran menteri. Tapi sayangnya, kita juga harus ingat: pemberian gelar kepahlawanan selalu pantas diberikan ketika orang tersebut sudah mati.
Kembali lagi ke Tuban. Siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas kerusakan Hutan Jati Peteng? Apakah industri? Apakah pemerintah Kabupaten Tuban? Rasanya bukan keduanya. Sebab, sejauh data yang terkumpul, izin pembangunan industri sekaligus peruntuhan kelestarian alam tersebut langsung berada di pusat. Tuban tidak punya kekuataan mencegah. Kabupaten yang merayakan usianya ke-728 tahun pada 12 November lalu itu tak mampu menghalangi perusakan 126 hektare hutannya sendiri. Juga terkait solusi semua ini. Tidak ada yang berhak menemukan, kecuali pemerintah selaku pembuat kebijakan.
Pemerintah daerah maupun pusat alangkah mulianya jika menemukan solusinya. Tugas rakyat telah selesai. Mereka senantiasa menyokong kinerja pemerintah melalui pajak membeli kendaraan, tanah, membangun rumah, sampai menikmati sebatang rokok yang dihisap tiap hari. Rakyat berharap uang itu digunakan sebaik-baiknya. Kesadaran bahwa pemerintah digaji untuk memberikan solusi harus tinggi. Setingkat dengan insentif yang diterima tiap bulan dan tunjangan perjalanan beserta seluruh fasilitasnya. (*)

Yusab Alfa Ziqin,
Wartawan Jawa Pos Radar Tuban

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru

Lebih Suka Belajar Bersama

Terus Bersinergi dengan Media


/