27 C
Bojonegoro
Wednesday, May 31, 2023

Bung Karno Semalam Menginap di Bojonegoro

- Advertisement -

BOJONEGORO, Radar Bojonegoro – Rumah berarsitektur Belanda di Jalan Panglima Sudirman, Bojonegoro, ini memiliki sejarah apik. Rumah menghadap ke selatan di barat lampu merah (traffic light) itu sekali waktu pada 1957, pernah disinggahi Presiden Soekarno.

Jawa Pos Radar Bojonegoro berkesempatan bertemu penghuni rumah yang memiliki halaman luas. Saat berkunjung ke rumah itu, suasananya sepi. Namun, suara bising kendaraan begitu jelas terdengar, karena tepat di pinggir jalan raya.

Seorang pria berkaus merah keluar dari rumah yang terlihat teduh tersebut. Pria bernama Burhan, 62, itu membenarkan cerita rumahnya pernah disinggahi Presiden Soekarno. Sayangnya tidak ada satu peninggalan foto atau dokumen terkait singgahnya sang proklamator RI tersebut.

“Sayang sekali tidak ada foto-fotonya. Saya kali pertama dengar cerita dari ayah. Presiden Soekarno pernah menginap di rumah ini sekitar 1957,” ujar pria kelahiran Desember 1957 itu.

Namun, ketika Bung Karno, sapaan Soekarno, singgah di rumahnya, pemiliknya belum keluarga Burhan. Melainkan, seingatnya pemiliknya Kepala Karesidenan Bojonegoro (kini Bakorwil) Raden Mochtar.

- Advertisement -

Baru ketika 1958, rumah itu dijual Raden Mochtar dan dibeli pasutri Haji Erfan dan Hajah Aisyiah yang merupakan kakek-nenek Burhan. Pasutri tersebut merupakan pengusaha jagal sapi. “Lalu rumah ini ditinggali ayah ibu saya. Namun ayah saya sudah meninggal 2013 silam. Kini tinggal ibu bersama keluarga yang menempati rumahnya,” ujar anak kelima dari delapan bersaudara pasangan Amukti dan Sri Mulyati itu.

Selain mendengar cerita dari ayahnya, Burhan juga pernah memperoleh cerita dari seorang pegawai Departemen Penerangan (kini Kominfo) pada 1957 bernama Harsoyo. Bahkan, Harsoyo merupakan teman sepermainan Burhan. Sehingga, ketika main ke rumah Harsoyo, Burhan pernah ditunjukkan foto-foto bahwa rumah milik kakek-neneknya itu pernah disinggahi Bung Karno.

“Sayangnya dokumentasi itu sudah tak tahu ke mana, karena foto itu biasanya yang pegang Departemen Penerangan,” ujarnya.

Burhan tak bisa bercerita banyak alasan lawatan Ir Soekarno ke Bojonegoro. Setahunya, presiden hanya menginap sehari. Lalu esoknya pergi ke Blitar. Cerita-cerita lainnya pun hanya sepotong-sepotong.

Rumah itu sebelumnya juga ditinggali oleh orang Belanda. Sebab, nenek Burhan pernah bercerita kalau dulu tiap lewat rumah itu kerap melihat orang Belanda sedang membaca koran.

“Bahkan sekitar tahun 1977 saat saya masih kuliah di Surabaya, ada orang Belanda tapi saya lupa namanya berkunjung ke rumahnya untuk memotret dan melihat-lihat. Menurut pengakuan orang Belanda itu masa kecilnya dulu di rumah tersebut,” tambahnya.

Di tengah obrolan gayeng, Burhan mengajak masuk ke rumah lawas itu. Kondisinya masih sangat terawat dan 95 persen desain interior maupun eksterior sekaligus arsitekturnya masih asli.

Sayangnya, Jawa Pos Radar Bojonegoro tidak bisa masuk ke dalam kamar digunakan Bung Karno menginap. “Mohon maaf, kamar yang digunakan Ir Soekarno kini digunakan ibu saya yang sedang terbaring sakit,” terang ayah tiga anak itu.

Kesan kuno rumah itu juga kerap membuat masyarakat sekitar ingin mengabadikan foto atau video. Burhan juga mengungkapkan, beberapa kali siswa-siswi SMAN 1 Bojonegoro pernah bermain drama di teras rumahnya. Selain itu, beberapa kali pihak Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Bojonegoro juga berkunjung ke rumahnya.

“Ada rencana dijadikan cagar budaya, tapi ya sayangnya tidak dokumentasi pendukung, saya juga minta tolong agar ditelusuri lagi,” ujarnya.

Tak hanya cerita dari Burhan yang menjelaskan kebenaran Ir Soekarno pernah singgah di Bojonegoro. Tetapi, Jawa Pos Radar Bojonegoro juga menemukan literatur dari buku berjudul Mijn vriend Sukarno (1995) karya seorang jurnalis investigatif asal Belanda Willem Leonard Oltmans. Buku tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Pustaka Sinar Harapan pada 2001 dengan judul Bung Karno Sahabatku.

Berdasarkan buku tersebut, Willem Leonard Oltmans menceritakan bahwa dia bersama Ir Soekarno berkunjung ke Bojonegoro pada 9 Juli 1957. Namun, tak dijelaskan secara gamblang lokasi rumah yang disinggahi Ir Soekarno.

Di Bojonegoro, presiden akan berpidato dan didampingi oleh istri keempatnya Hartini. Saat itu, pertama kalinya seorang profesor Amerika bernama Guy Pauker bergabung dengan rombongan Ir Soekarno.

“Orang ini (Guy Pauker) selalu berada di dekat saya dan saya bertanya-tanya mengenai apa yang sebenarnya dikehendakinya,” tulis Willem Leonard Oltmans dalam buku tersebut.

Mereka pun membicarakan sengketa antara Indonesia dan Belanda karena masalah Irian Barat. Tampaknya profesor itu setuju apabila Indonesia menuntut secara resmi bagian tanah air ini. Keesokan harinya, kebetulan si profesor dan Willem Oltmans itu bangun pagi-pagi sekali. Si profesor minta Willem Oltmans untuk memperkenalkannya kepada presiden.

“Kami menjumpai presiden pukul 06.15, presiden berbicara mengenai masalah yang ringan-ringan saja pagi itu. Ia memperbincangkan film Tea and Sympathy, yang ditontonnya belum lama ini. Cerita itu mengingatkannya akan perjalanannya ke California,” tulisnya lagi.

Ternyata, beberapa tahun kemudian Willem Oltmans menyadari bahwa dirinya dimanfaatkan profesor yang ramah itu. Profesor Amerika itu ternyata mempunyai hubungan dengan Rand Corporation, yaitu think tank-nya CIA.

Selama beberapa tahun kemudian, Guy Pauker selalu muncul sebagai penganut bersemangat dari kaum militer Indonesia yang pro-Amerika. Dan ia sangat erat terlibat dalam persekongkolan untuk menggulingkan Soekarno.

Pada 1957 itu, Willem Oltmans merasa masih sangat naif dalam masalah seperti ini. Di Bojonegoro itu, sama sekali tidak terlintas dalam benaknya akan kemungkinan kegiatan spionase seperti itu.

Bagaimana caranya sehingga orang itu bisa masuk ke dalam rombongan perjalanan kepala negara ini? Tentunya pada 1957 itu sudah ada pengkhianat yang berkolaborasi dengan CIA, yang bekerja di lingkungan paling dekat dengan Soekarno. Mungkin presiden juga sudah menyadari hal ini karena tampaknya ia secara sadar selalu menjaga jarak dengan Guy Pauker.

Belakangan, dalam perjalanan ke aula tempat Bung Karno akan berpidato, tiba-tiba saja iring-iringan mobil berhenti di suatu jalan yang panjang dan lurus. Willem Oltmans duduk bersama rekan wartawan dari Indonesia di atas atap bus yang disediakan untuk pers. Kendaraan pada 1957 itu belum berpendingin (AC).

Willem Oltmans bersama jurnalis lainnya melihat dari kejauhan, bagaimana presiden keluar dari mobil Cadillac-nya dan berjalan melintasi parit ke arah sebuah pohon besar. Para menteri, duta besar, pejabat tinggi, semuanya menunggu dengan tidak sabar dalam mobil mereka masing-masing, yang panas menyesakkan.

Sementara itu, sejumlah perempuan yang sedang bekerja di sawah telah mengenali Ir Soekarno. Mereka segera menghampirinya. Terjadi pembicaraan ramai antara presiden dan rakyatnya, yang memang selalu menjadi perhatiannya.

Ajudan presiden Mayor Sudarto keluar dari mobilnya membawa payung hitam. Payung biasa untuk di rumah, untuk berkebun atau bekerja di dapur, yang biasa dibawa Bung Karno untuk melindungi dirinya dari sengatan matahari.

Begitulah, Willem Leonard Oltmans menulis Soekarno ketika berada di Bojonegoro, dalam buku berjudul Mijn vriend Sukarno. 

BOJONEGORO, Radar Bojonegoro – Rumah berarsitektur Belanda di Jalan Panglima Sudirman, Bojonegoro, ini memiliki sejarah apik. Rumah menghadap ke selatan di barat lampu merah (traffic light) itu sekali waktu pada 1957, pernah disinggahi Presiden Soekarno.

Jawa Pos Radar Bojonegoro berkesempatan bertemu penghuni rumah yang memiliki halaman luas. Saat berkunjung ke rumah itu, suasananya sepi. Namun, suara bising kendaraan begitu jelas terdengar, karena tepat di pinggir jalan raya.

Seorang pria berkaus merah keluar dari rumah yang terlihat teduh tersebut. Pria bernama Burhan, 62, itu membenarkan cerita rumahnya pernah disinggahi Presiden Soekarno. Sayangnya tidak ada satu peninggalan foto atau dokumen terkait singgahnya sang proklamator RI tersebut.

“Sayang sekali tidak ada foto-fotonya. Saya kali pertama dengar cerita dari ayah. Presiden Soekarno pernah menginap di rumah ini sekitar 1957,” ujar pria kelahiran Desember 1957 itu.

Namun, ketika Bung Karno, sapaan Soekarno, singgah di rumahnya, pemiliknya belum keluarga Burhan. Melainkan, seingatnya pemiliknya Kepala Karesidenan Bojonegoro (kini Bakorwil) Raden Mochtar.

- Advertisement -

Baru ketika 1958, rumah itu dijual Raden Mochtar dan dibeli pasutri Haji Erfan dan Hajah Aisyiah yang merupakan kakek-nenek Burhan. Pasutri tersebut merupakan pengusaha jagal sapi. “Lalu rumah ini ditinggali ayah ibu saya. Namun ayah saya sudah meninggal 2013 silam. Kini tinggal ibu bersama keluarga yang menempati rumahnya,” ujar anak kelima dari delapan bersaudara pasangan Amukti dan Sri Mulyati itu.

Selain mendengar cerita dari ayahnya, Burhan juga pernah memperoleh cerita dari seorang pegawai Departemen Penerangan (kini Kominfo) pada 1957 bernama Harsoyo. Bahkan, Harsoyo merupakan teman sepermainan Burhan. Sehingga, ketika main ke rumah Harsoyo, Burhan pernah ditunjukkan foto-foto bahwa rumah milik kakek-neneknya itu pernah disinggahi Bung Karno.

“Sayangnya dokumentasi itu sudah tak tahu ke mana, karena foto itu biasanya yang pegang Departemen Penerangan,” ujarnya.

Burhan tak bisa bercerita banyak alasan lawatan Ir Soekarno ke Bojonegoro. Setahunya, presiden hanya menginap sehari. Lalu esoknya pergi ke Blitar. Cerita-cerita lainnya pun hanya sepotong-sepotong.

Rumah itu sebelumnya juga ditinggali oleh orang Belanda. Sebab, nenek Burhan pernah bercerita kalau dulu tiap lewat rumah itu kerap melihat orang Belanda sedang membaca koran.

“Bahkan sekitar tahun 1977 saat saya masih kuliah di Surabaya, ada orang Belanda tapi saya lupa namanya berkunjung ke rumahnya untuk memotret dan melihat-lihat. Menurut pengakuan orang Belanda itu masa kecilnya dulu di rumah tersebut,” tambahnya.

Di tengah obrolan gayeng, Burhan mengajak masuk ke rumah lawas itu. Kondisinya masih sangat terawat dan 95 persen desain interior maupun eksterior sekaligus arsitekturnya masih asli.

Sayangnya, Jawa Pos Radar Bojonegoro tidak bisa masuk ke dalam kamar digunakan Bung Karno menginap. “Mohon maaf, kamar yang digunakan Ir Soekarno kini digunakan ibu saya yang sedang terbaring sakit,” terang ayah tiga anak itu.

Kesan kuno rumah itu juga kerap membuat masyarakat sekitar ingin mengabadikan foto atau video. Burhan juga mengungkapkan, beberapa kali siswa-siswi SMAN 1 Bojonegoro pernah bermain drama di teras rumahnya. Selain itu, beberapa kali pihak Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Bojonegoro juga berkunjung ke rumahnya.

“Ada rencana dijadikan cagar budaya, tapi ya sayangnya tidak dokumentasi pendukung, saya juga minta tolong agar ditelusuri lagi,” ujarnya.

Tak hanya cerita dari Burhan yang menjelaskan kebenaran Ir Soekarno pernah singgah di Bojonegoro. Tetapi, Jawa Pos Radar Bojonegoro juga menemukan literatur dari buku berjudul Mijn vriend Sukarno (1995) karya seorang jurnalis investigatif asal Belanda Willem Leonard Oltmans. Buku tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Pustaka Sinar Harapan pada 2001 dengan judul Bung Karno Sahabatku.

Berdasarkan buku tersebut, Willem Leonard Oltmans menceritakan bahwa dia bersama Ir Soekarno berkunjung ke Bojonegoro pada 9 Juli 1957. Namun, tak dijelaskan secara gamblang lokasi rumah yang disinggahi Ir Soekarno.

Di Bojonegoro, presiden akan berpidato dan didampingi oleh istri keempatnya Hartini. Saat itu, pertama kalinya seorang profesor Amerika bernama Guy Pauker bergabung dengan rombongan Ir Soekarno.

“Orang ini (Guy Pauker) selalu berada di dekat saya dan saya bertanya-tanya mengenai apa yang sebenarnya dikehendakinya,” tulis Willem Leonard Oltmans dalam buku tersebut.

Mereka pun membicarakan sengketa antara Indonesia dan Belanda karena masalah Irian Barat. Tampaknya profesor itu setuju apabila Indonesia menuntut secara resmi bagian tanah air ini. Keesokan harinya, kebetulan si profesor dan Willem Oltmans itu bangun pagi-pagi sekali. Si profesor minta Willem Oltmans untuk memperkenalkannya kepada presiden.

“Kami menjumpai presiden pukul 06.15, presiden berbicara mengenai masalah yang ringan-ringan saja pagi itu. Ia memperbincangkan film Tea and Sympathy, yang ditontonnya belum lama ini. Cerita itu mengingatkannya akan perjalanannya ke California,” tulisnya lagi.

Ternyata, beberapa tahun kemudian Willem Oltmans menyadari bahwa dirinya dimanfaatkan profesor yang ramah itu. Profesor Amerika itu ternyata mempunyai hubungan dengan Rand Corporation, yaitu think tank-nya CIA.

Selama beberapa tahun kemudian, Guy Pauker selalu muncul sebagai penganut bersemangat dari kaum militer Indonesia yang pro-Amerika. Dan ia sangat erat terlibat dalam persekongkolan untuk menggulingkan Soekarno.

Pada 1957 itu, Willem Oltmans merasa masih sangat naif dalam masalah seperti ini. Di Bojonegoro itu, sama sekali tidak terlintas dalam benaknya akan kemungkinan kegiatan spionase seperti itu.

Bagaimana caranya sehingga orang itu bisa masuk ke dalam rombongan perjalanan kepala negara ini? Tentunya pada 1957 itu sudah ada pengkhianat yang berkolaborasi dengan CIA, yang bekerja di lingkungan paling dekat dengan Soekarno. Mungkin presiden juga sudah menyadari hal ini karena tampaknya ia secara sadar selalu menjaga jarak dengan Guy Pauker.

Belakangan, dalam perjalanan ke aula tempat Bung Karno akan berpidato, tiba-tiba saja iring-iringan mobil berhenti di suatu jalan yang panjang dan lurus. Willem Oltmans duduk bersama rekan wartawan dari Indonesia di atas atap bus yang disediakan untuk pers. Kendaraan pada 1957 itu belum berpendingin (AC).

Willem Oltmans bersama jurnalis lainnya melihat dari kejauhan, bagaimana presiden keluar dari mobil Cadillac-nya dan berjalan melintasi parit ke arah sebuah pohon besar. Para menteri, duta besar, pejabat tinggi, semuanya menunggu dengan tidak sabar dalam mobil mereka masing-masing, yang panas menyesakkan.

Sementara itu, sejumlah perempuan yang sedang bekerja di sawah telah mengenali Ir Soekarno. Mereka segera menghampirinya. Terjadi pembicaraan ramai antara presiden dan rakyatnya, yang memang selalu menjadi perhatiannya.

Ajudan presiden Mayor Sudarto keluar dari mobilnya membawa payung hitam. Payung biasa untuk di rumah, untuk berkebun atau bekerja di dapur, yang biasa dibawa Bung Karno untuk melindungi dirinya dari sengatan matahari.

Begitulah, Willem Leonard Oltmans menulis Soekarno ketika berada di Bojonegoro, dalam buku berjudul Mijn vriend Sukarno. 

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru


/