Mayoritas warga Desa Patihan, Kecamatan Babat bekerja di perantauan. Minimnya SDM inilah yang menjadi spirit pemuda desa setempat mendirikan perpustakaan di desa. Malam itu jalan menuju Desa Patihan cukup gelap. Maklum, tidak ada PJU di sepanjang jalan yang belum beraspal tersebut. Di depan balai desa setempat, sejumlah pemuda duduk melingkar. Di tengah mereka, terdapat berbagai jenis buku yang tertata rapi.
Sejumlah pemuda tersebut sedang mengadakan pertemuan untuk merancang program kerja dan evaluasi kegiatan yang sudah berjalan. Khususnya tentang pengelolaan perpustakaan di desa terpencil itu.
‘’Awalnya keinginan pribadi membuat perpustakaan, tapi berat kemudian mengajak teman – teman,’’ tutur Alif, salah satu pemuda Desa Patihan yang menjadi pelopor pendirian perpustakaan di desanya tersebut.
Untuk pengadaan buku perpustakaan ini, mereka melakukan swadaya dengan iuran setiap pertemuan rutin sebulan sekali. Uang yang sudah terkumpul itu kemudian dibelanjakan buku sesuai hasil pertemuan.
Pengadaan buku juga disepakati harus berbasis kebutuhan masyarakat. Sehingga, sebagian warga yang menjadi petani mau berkunjung ke perpustakaan.Buku – buku pertanian itu di antaranya cara mengatasi berbagai jenis hama, dan cara meningkatkan produktivitas padi.
Untuk menggaet kalangan anak – anak, perpustakaan menyediakan buku cerita. Sebab, mayoritas anak sangat senang ketika membaca buku cerita. ‘’Makanya sekarang anggotanya itu dari berabagai unsure. Ada dari anak – anak, remaja, mahasiswa, pekerja, bahkan petani,’’ ujar Alif.
Agar pengunjung betah di perpustakaan, pengelola mendampingi dan mengajak diskusi. Jika ada petani usai membaca buku tentang mengatasi hama, maka petani tersebut diajak diskusi seputar pertanian. ‘’Pengelola hanya memfasilitasi,’’ imbuhnya.
Selama ini, perpustakaan dipusatkan di balai desa setempat. Selain untuk meramaikan balai desa yang cenderung sepi, lokasi kantor pemerintahan tersebut juga dianggap sebagai tempat yang paling strategis untuk membaca dan berdiskusi.
Desa Patihan hanya ramai menjelang hari raya idul fitri. Sebab, mayoritas kepala keluarga di desa tersebut bekerja di luar kota. Ada yang membuka warung makan di Kalimantan, Sulawesi, dan Jakarta. Mereka bekerja di perantauan karena potensi desa hanya mengandalkan lahan pertanian.
Sementara tanahnya termasuk dataran cukup tinggi. Untuk pengairan sawah, tak bisa maksimal. Petani hanya bisa panen sekali dalam setahun.‘’Semoga saja dengan banyak membaca, generasi penerus bisa hidup lebih sejahtera,’’ harap Alif.