31.2 C
Bojonegoro
Wednesday, June 7, 2023

Satu Bulan Pinjam Laboratorium Unair untuk Teliti Bahan

- Advertisement -

TUBAN – Menciptakan suatu produk baru yang bersentuhan langsung dengan kulit wajah tentu tidak mudah. Sebab, hasil produk bisa langsung terlihat dampak baik dan buruknya. Demikian pula ketika membuat masker Sweet Mask.

Butuh proses panjang dalam membuat Sweet Mask (Seaweed Sheet Mask). Tutut Dwi Cahyati, 21, bercerita banyak proses pembuatan masker rumput laut cokelat bersama kelompoknya. Dara yang akrab disapa Tutut ini bisa bercerita panjang lebar karena dirinya yang sering keluar-masuk laboratorium Farmasi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Tujuannya, mencari bahan yang pas untuk campuran alginat sebagai bahan pokok pembuatan masker.

Sudah tak terhitung berapa jenis bahan yang dicampurkan untuk membuat masker rumput laut ini. Sebagian besar bahan dirasa kurang cocok karena mempunyai beberapa kelemahan. Seperti lebih lama kering di kulit, kasar, hingga khasiatnya kurang ampuh. Selama sebulan, hampir setiap hari Tutut menyewa laboratorium jurusannya untuk meneliti itu. Termasuk kandungan yang pas dalam mencampur produknya. ‘’Sampai dosen saya hafal kalau tiap hari mau pinjam laboratorium fakultas,’’ ujarnya terkekeh.

Untuk menggunakan laboratorium kampus, Tutut harus antre dengan jadwal kelas lainnya. Sehingga, tak jarang dia mendapat jadwal malam atau dini hari. Setelah sebulan  keluar-masuk laboratorium, dia berhasil menemukan takaran formula yang pas untuk produk ciptaannya.

Bahannya 70 persen alginat, 30 persen bahan campuran lain yang namanya dirahasiakan. Dirahasiakannya bahan campuran tersebut cukup beralasan. Ide yang dibuat Inas dan Tutut cs benar-benar fresh. Sebelumnya, belum ada pabrik yang memroduksi masker berbahan rumput laut cokelat dengan skala besar.

- Advertisement -

Agar idenya tidak dicuri brand besar lainnya, Tutut berencana mendaftarkan produknya ke Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dan mendaftarkan hak paten. ‘’Sekarang sedang proses di BPOM agar bisa dijual ke luar negeri,’’ ungkapnya.

Meski baru sebatas pemasaran melalui media sosial (medsos), peminat Sweet Mask langsung membeludak. Untuk memenuhi kebutuhan produksi, rata-rata mereka harus memproduksi minimal 50 packs per hari. Karena produksinya manual tanpa menggunakan mesin dan alat, produksi masker berbahan alam tersebut terbatas. Itu pun mereka harus merekrut dua tenaga pembantu. ‘’Kalau produksi skala besar ya kami berlima ditambah dua tenaga sampingan yang bekerja,’’ ungkapnya.

Mahasiswi asal Desa Bejagung, Kecamatan Semanding ini mengatakan, meski baru diproduksi lima bulan yang lalu, Sweet Mask sudah mempunyai empat reseller. Mereka tersebar di Jember, Tulungagung, Surabaya, dan Tuban.

Tutut mengatakan, sebenarnya banyak penjual kosmetik di Jawa, Bali, dan luar negeri yang menawarkan diri menjadi reseller. Namun, karena jumlah produksi masih terbatas, sementara mereka membatasi jumlah reseller.

Untuk kemasan produk, grup yang dipimpin Inas ini masih memesan khusus di sebuah pabrik di Surabaya. Target berikutnya, kelompok ini menginginkan bisa mempunyai alat produksi sendiri. Alumni SMAN 1 Tuban itu mengatakan, jika sudah mengantongi surat rekomendasi BPOM dan surat perizinan lainnya, sangat mungkin produk ciptaan para mahasiswi asal Bumi Wali itu go international. ‘’Mohon doanya bisa jual sampai luar negeri,’’ tutur mahasiswi Fakultas Farmasi Unair ini.

TUBAN – Menciptakan suatu produk baru yang bersentuhan langsung dengan kulit wajah tentu tidak mudah. Sebab, hasil produk bisa langsung terlihat dampak baik dan buruknya. Demikian pula ketika membuat masker Sweet Mask.

Butuh proses panjang dalam membuat Sweet Mask (Seaweed Sheet Mask). Tutut Dwi Cahyati, 21, bercerita banyak proses pembuatan masker rumput laut cokelat bersama kelompoknya. Dara yang akrab disapa Tutut ini bisa bercerita panjang lebar karena dirinya yang sering keluar-masuk laboratorium Farmasi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Tujuannya, mencari bahan yang pas untuk campuran alginat sebagai bahan pokok pembuatan masker.

Sudah tak terhitung berapa jenis bahan yang dicampurkan untuk membuat masker rumput laut ini. Sebagian besar bahan dirasa kurang cocok karena mempunyai beberapa kelemahan. Seperti lebih lama kering di kulit, kasar, hingga khasiatnya kurang ampuh. Selama sebulan, hampir setiap hari Tutut menyewa laboratorium jurusannya untuk meneliti itu. Termasuk kandungan yang pas dalam mencampur produknya. ‘’Sampai dosen saya hafal kalau tiap hari mau pinjam laboratorium fakultas,’’ ujarnya terkekeh.

Untuk menggunakan laboratorium kampus, Tutut harus antre dengan jadwal kelas lainnya. Sehingga, tak jarang dia mendapat jadwal malam atau dini hari. Setelah sebulan  keluar-masuk laboratorium, dia berhasil menemukan takaran formula yang pas untuk produk ciptaannya.

Bahannya 70 persen alginat, 30 persen bahan campuran lain yang namanya dirahasiakan. Dirahasiakannya bahan campuran tersebut cukup beralasan. Ide yang dibuat Inas dan Tutut cs benar-benar fresh. Sebelumnya, belum ada pabrik yang memroduksi masker berbahan rumput laut cokelat dengan skala besar.

- Advertisement -

Agar idenya tidak dicuri brand besar lainnya, Tutut berencana mendaftarkan produknya ke Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dan mendaftarkan hak paten. ‘’Sekarang sedang proses di BPOM agar bisa dijual ke luar negeri,’’ ungkapnya.

Meski baru sebatas pemasaran melalui media sosial (medsos), peminat Sweet Mask langsung membeludak. Untuk memenuhi kebutuhan produksi, rata-rata mereka harus memproduksi minimal 50 packs per hari. Karena produksinya manual tanpa menggunakan mesin dan alat, produksi masker berbahan alam tersebut terbatas. Itu pun mereka harus merekrut dua tenaga pembantu. ‘’Kalau produksi skala besar ya kami berlima ditambah dua tenaga sampingan yang bekerja,’’ ungkapnya.

Mahasiswi asal Desa Bejagung, Kecamatan Semanding ini mengatakan, meski baru diproduksi lima bulan yang lalu, Sweet Mask sudah mempunyai empat reseller. Mereka tersebar di Jember, Tulungagung, Surabaya, dan Tuban.

Tutut mengatakan, sebenarnya banyak penjual kosmetik di Jawa, Bali, dan luar negeri yang menawarkan diri menjadi reseller. Namun, karena jumlah produksi masih terbatas, sementara mereka membatasi jumlah reseller.

Untuk kemasan produk, grup yang dipimpin Inas ini masih memesan khusus di sebuah pabrik di Surabaya. Target berikutnya, kelompok ini menginginkan bisa mempunyai alat produksi sendiri. Alumni SMAN 1 Tuban itu mengatakan, jika sudah mengantongi surat rekomendasi BPOM dan surat perizinan lainnya, sangat mungkin produk ciptaan para mahasiswi asal Bumi Wali itu go international. ‘’Mohon doanya bisa jual sampai luar negeri,’’ tutur mahasiswi Fakultas Farmasi Unair ini.

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru


/