23.9 C
Bojonegoro
Wednesday, March 22, 2023

Gua Lowo dan Kisah Yu Karti

- Advertisement -

SUDAH lama aku ingin bercerita tentang perempuan satu ini. Kisahnya sangat menakutkan juga heroik di mataku, meski bagi sebagian orang di kampungku ia adalah perempuan kafir yang beruntung. Ia selamat dari penjagalan orang-orang simpatisan Partai Komunis Indonesia alias PKI. Namun, apakah memang demikian adanya, orang-orang hanya percaya pada desas-desus semata. Tak ada satu pun pernah mendengar kisah sebenarnya.

Malam itu ia selamat dengan cara merangkak menyusuri dinding gua yang gelap. Sambil bersimbah darah terus mengalir dari luka di lehernya, ia merayap sambil berpegangan pada ranting-ranting menjulur di sepanjang  dinding Gua Lowo. Ranting-ranting di dinding gua menjadi penyelamat hidupnya. Sambil menahan perih tak tertahankan ia terus merayap. Terus ke atas tanpa berhenti. 

Pedang para penjagal ternyata tak sampai memutus urat nadi besar di lehernya. Begitulah cara dia selamat dan mengapa sampai ia tak mati setelah digorok lehernya oleh para penjagal sebagaiman pernah ia tuturkan kepadaku pada suatu sore yang lengang di warung kopi miliknya.

Kisah selamatnya salah satu korban penjagalan di gua itu telah  aku dengar berkali-kali dari mulut warga kampungku. Cerita itu bagai mitos di kampungku. Cerita yang hampir tak dapat dipercaya, ternyata ada. Dan akan terus diceritakan terutama pada September, bulan paling kelam dalam catatan sejarah negeri ini.

“Lewatlah di samping Gua Lowo pada malam Jumat Kliwon, maka kamu akan mendengar suara-suara orang merintih kesakitan. Dan kalau lagi apes, bahkan kamu akan mendengar suara perempuan terkekeh seperti adegan Suzana dalam perannya sebagai sundel bolong, dalam film Malam Jumat Kliwon,” Celetuk Kang Idi saat kami saling bertukar cerita tentang gua lowo di warung kopi Yu Karti.

- Advertisement -

“Tapi, yang lebih sering, adalah bau mayat jika malam bulan purnama, itu pun jika kamu sedang apes lewat di sana,” tambah Herman salah satu teman pernah merasakan dan mengalami suasana keangkeran Gua Lowo.

Gua itu mengeluarkan bau kotoran kelelawar menyengat. Aroma seperti amonia tercium kuat ketika melintas di pinggir lubang gua. Pintu gua menghadap lurus ke atas. Lokasinya yang berada di pinggir jalan raya menbuat tiap pengendara selalu mempercepat laju kendaraannya bila melintas di situ. Mungkin karena takut.

Sebagai gua yang pernah menjadi tempat pembuangan mayat orang-orang yang terlibat partai terlarang ketika mereka dieksekusi oleh tokoh-tokoh masyarakat desaku, gua itu menjadi dekat dan akrab dengan cerita beraroma magis dan hantu-hantu.

Dengan latar belakang yang demikian berdarah itu, tak ayal jalan raya di sampingnya pun menjadi terkenal angker dan sering memakan korban kecelakaan. Gua itu sangat identik dengan sosok perempuan yang lolos dari pembantaian pada peristiwa di tahun pada saat Gestapu tahun 1965 terjadi.

Tubuhnya memang ayu untuk ukuran wanita desa. Kulit kuning bak perempuan keturunan Tiongkok membuat ia awet cantik hingga tua seperti sekarang ini.  Satu satunya cacat di tubuhnya hanyalah bekas luka gorok di lehernya tersebut. Dan luka itu tak mampu mengurangi aura kecantikannya.

Seperti yang selama ini sering diceritakannya, luka itu diperoleh dari lelaki yang ia tolak lamarannya berkali-kali. Lelaki itu pula yang telah menuduhnya sebagai simpatisan partai terlarang hingga membawanya ke gua tempat penjagalan para simpatisan itu.

Kini perempuan itu adalah perempuan pemilik warung kopi paling ramai di Desa Tanggul. Meski sudah uzur, namun garis kecantikan wajahnya masih membekas dan menjadi daya tarik tersendiri bagi para nelayan di desa kami. 

Orangnya supel dan ramah serta ditopang wajah lumayan ukuran wanita desa, warungnya menjadi tujuan bapak-bapak selesai melaut di Desa Tanggul. Meski mudah digoda, namun ia tak mudah jatuh cinta dan terpikat dengan salah satu pelanggan warungnya. Itulah membuatku segan dan sering menaruh hormat padanya.

Aku sering berlama-lama di warungnya sambil melihat para lelaki iseng menggodanya. Namun, satu hal yang pasti, ia sangat keibuan, khususnya, saat meladeni pesananku dan itu kadang membuatku agak canggung dengannya.

Tak banyak yang tahu bahwa ia adalah saksi peristiwa menjadi catatan sejarah kelam tentang era politik yang hitam di negeri ini. Era saat revolusi masih hendak digelorakan oleh Bung Karno hingga mencetuskan konflik paling berdarah dalam perang saudara di Indonesia.

Banyak kasus seperti perempuan yang kisahnya melegenda di Desa Tanggul  ini, yang akhirnya menjadi korban salah sasaran. Kasus tuduhan berdasarkan dendam entah disebabkan asmara maupun saingan bisnis antarteman. Seorang tengkulak meregang nyawa hanya karena banyak membeli hasil petani tergabung dalam kelompok tani afiliasi partai terlarang. Ia dituduh sebagai antek kelompok tani tersebut oleh tengkulak saingannya. Dan nyawanya pun melayang dengan kepala terpenggal. Sia-sia.

Ia sering mengelak jika ditanya tentang bekas luka di lehernya. Para pengunjung warung kopinya pun akhirnya bosan menanyakan hal itu. Mereka memilih asik ngopi sambil sesekali menggodanya. Tentang luka itu, kebanyakan hanya dipakai bahan cerita lalu saja.

Meski demikian tertutup perihal bekas luka di lehernya, kepadaku, ia tetap memberi jawaban meski sedikit-sedikit. Ia tak pernah mengabaikan rasa penasaranku tentang hal itu.

“Yu, bekas luka itu kenapa tidak ditutup,” tanyaku suatu kali padanya. Ia berkerudung biasa bukan jilbab seperti sekarang. Kerudung wanita Jawa yang menutupi rambut kepala dan kadang masih terlihat area lehernya.

“Biarlah luka ini tetap terlihat karena ini sebagai pengingatku akan peristiwa itu. Aku memaafkan pelakunya, tapi juga tak melupakan apa yang pernah ia perbuat padaku,” sebuah jawaban yang dilematis menurutku.

Kami memanggilnya Yu Karti. Nama sebenarnya adalah Maryam Sukarti. Kembang desa yang melegenda karena kecantikannya saat itu. Bahkan hingga kini pun masih ada aura kecantikan itu.

Sukarti tak menaruh dendam pada lelaki penyebab cacat di lehernya itu. Ia hanya menyesalkan perbuatan lelaki tega menuduhnya sebagai antek partai terlarang hanya karena kecewa lantaran  lamaranya telah ia tolak. Yu Karti sudah punya pacar waktu itu dan lelaki itu  sudah beristri serta beranak satu.

Menurut pengakuannya, lelaki itu adalah  anak lurah desa, yang disegani dan gemar main perempuan. “Itu luka tersebabkan oleh apa?” aku bertanya padanya, pura-pura tak tahu gosip tentang perempuan lolos dari pembantaian di zaman kelam negeri ini, saat ia menyodorkan kopi pesananku. 

“Ini sebuah luka disebabkan cinta. Cinta seseorang pernah kutolak. Kejadian itu sudah lama, dan tak usah diungkit lagi,” jawabnya padaku sambil kembali menyeduh kopi.

“Tahun berapakah itu kira kira, kalau aku boleh tahu?” lanjutku sambil masih berpura-pura sebagai pemuda lugu tak pernah mendengar kisah wanita lolos dari kematian saat pembantaian simpatisan partai terlarang di desaku.

“Tahun penuh fitnah dan gonjang-ganjing di negeri ini. Kamu tahu tahun enam puluhan adalah tahun tahun penuh curiga dan kejenuhan pada kekuasaan yang ada. Pada tahun itu jati diri sebagai bangsa masih belum kokoh. Tahun itu semua orang yang merasa terlibat dalam memperjuangkan kemerdekaan di negeri merasa berhak untuk ambil bagian menikmati hasil perjuangan dan menentukan garis hidup bangsa,” jawabnya membuatku heran akan situasi sosial saat itu. Aku melanjutkan bertanya, “Lantas, luka itu, bagaimana terjadinya?”

“Saat itu,  aku bisa dikatakan sebagai kembang desa. Itu semua  bukan lantaran aku berwajah cantik, tapi karena, meski dari desa, aku ini anak yang berpendidikan karena bapakku mengirimku ke pesantren. Dengan keadaan itu, tak heran banyak pemuda desa  ini naksir. Apa benar kamu mau mendengar ceritaku?” ia menegaskan sambil tersenyum simpul.

“Ya, aku mau. Aku juga penasaran dengan kisah-kisah saat partai terlarang masih eksis di negeri ini. Siapa tahu, kisah Yu Karti bisa menjadi pembuka wawasanku tentang apa yang terjadi pada saat itu, ” jawabku penuh antusias.

“Lelaki itu bernamah Solekan, anak kepala desa. Ia terkenal gemar kawin cerai. Sebagai anak kepala desa saat itu, ia begitu berkuasa memanfaatkan jabatan bapaknya. Di desa ini tak ada pemuda berani bersaing dengannya. Semua aparat desa akan selalu berada di pihaknya jika dia bermasalah dengan orang lain.

Hari itu ia datang ke rumahku dan melamarku untuk jadi istrinya. Aku menolaknya dengan alasan masih terlalu muda menikah. Aku terpelajar tak mungkin menjadi istri kedua. Jelek-jelek begini aku ini paham perasaan wanita dimadu, Nang. ” Ia memberikan pembukaan cerita cukup membuatku penasaran sambil memanggil nama kecilku, Nanang. 

Dari mana ia tahu panggilanku waktu kecil membuatku makin bertanya-tanya. Itu adalah nama pemberian kakekku. “Sebenarnya dia adalah lelaki yang mengajakku ke salah satu rapat kelompok tani. Dia hadir mewakili bapaknya dan aku diajaknya turut serta karena menganggap aku wanita terpelajar. Anehnya saat hadir itu aku menulis absen. Dan setelah aku mau diajaknya ke rapat itu, ia sering mendekati aku dan main ke rumahku. Hingga suatu hari, ia melamarku dijadikan istri kedua. Aku menolaknya dengan sangat lembut agar ia tak sakit hati. Tetapi, itulah lelaki, bagi orang seperti dia penolakan wanita adalah harga diri harus dibayar dengan nyawa,” saat mengatakan ini, terlihat matanya mulai sembab.

 “Ketika geger gestapu tahun enam lima itu, Setelah pemberontakan berhasil digagalkan oleh Angkatan Darat, terjadi kisruh luar biasa. Siapa terlibat dengan partai terlarang itu hampir dipastikan mati.”  

“Terus, kok akhirnya Yu Karti dituduh terlibat dengan bukti apa?” aku menyelidik sambil menghirup kopi yang hampir dingin.

“Solekan memberikan daftar absen rapat kelompok tani tersebut yang dulu pernah kuhadiri dengannya kepada petugas, Ia berlaku licik hanya agar aku ditangkap dan dihukum. Nah saat aku digiring ke Gua Lowo itu aku melihatnya menjagal beberapa orang. Aku kebetulan menjadi salah satu orang yang harus dieksekusinya.” 

“Mengapa Yu Karti bias lolos dan tetap hidup?”

“Sebenarnya, Ia tak bermaksud membunuhku, karena ia memang betul-betul mencintaiku. Itulah alasannya mengapa ia mau menjadi algojo saat itu. Itu semua dilakukan  agar ia bisa menjagalku tangannya sendiri. Dan akhirnya ia menggorokku dengan setengah hati. Urat besar di leherku tak terputus, itulah mengapa aku akhirnya tetap hidup dan mungkin takdir kematianku memang belum terjadi pada saat itu.”

“Di manakah sekarang Solekan yang Yu Karti maksudkan itu?” tanyaku dengan rasa penasaran yang tinggi.

“Ia telah meninggal lima tahun lalu di Tanah Suci saat pergi haji,” Ia menjawab itu sambil mengusap rambutku dan meneteskan air mata.

Aku pun meneteskan air mata, mengenang lima tahun lalu saat kakeku meninggal di Tanah Suci lima tahun lalu. Saat itu aku melihat sosok Yu Karti bertakziah ke rumahku juga berlinang air mata.

*) Penulis lahir di desa nelayan, Paciran, di pesisir utara Kabupaten Lamongan. Sehari-harinya menjadi Arsiparis di Dinas Kearsipan Daerah Kabupaten Lamongan. Tahun 2018 terpilih menjadi arsiparis teladan Jawa Timur dan 2019 menjadi finalis arsiparis teladan Nasional diselenggarakan Arsip Nasional Republik Indonesia.

SUDAH lama aku ingin bercerita tentang perempuan satu ini. Kisahnya sangat menakutkan juga heroik di mataku, meski bagi sebagian orang di kampungku ia adalah perempuan kafir yang beruntung. Ia selamat dari penjagalan orang-orang simpatisan Partai Komunis Indonesia alias PKI. Namun, apakah memang demikian adanya, orang-orang hanya percaya pada desas-desus semata. Tak ada satu pun pernah mendengar kisah sebenarnya.

Malam itu ia selamat dengan cara merangkak menyusuri dinding gua yang gelap. Sambil bersimbah darah terus mengalir dari luka di lehernya, ia merayap sambil berpegangan pada ranting-ranting menjulur di sepanjang  dinding Gua Lowo. Ranting-ranting di dinding gua menjadi penyelamat hidupnya. Sambil menahan perih tak tertahankan ia terus merayap. Terus ke atas tanpa berhenti. 

Pedang para penjagal ternyata tak sampai memutus urat nadi besar di lehernya. Begitulah cara dia selamat dan mengapa sampai ia tak mati setelah digorok lehernya oleh para penjagal sebagaiman pernah ia tuturkan kepadaku pada suatu sore yang lengang di warung kopi miliknya.

Kisah selamatnya salah satu korban penjagalan di gua itu telah  aku dengar berkali-kali dari mulut warga kampungku. Cerita itu bagai mitos di kampungku. Cerita yang hampir tak dapat dipercaya, ternyata ada. Dan akan terus diceritakan terutama pada September, bulan paling kelam dalam catatan sejarah negeri ini.

“Lewatlah di samping Gua Lowo pada malam Jumat Kliwon, maka kamu akan mendengar suara-suara orang merintih kesakitan. Dan kalau lagi apes, bahkan kamu akan mendengar suara perempuan terkekeh seperti adegan Suzana dalam perannya sebagai sundel bolong, dalam film Malam Jumat Kliwon,” Celetuk Kang Idi saat kami saling bertukar cerita tentang gua lowo di warung kopi Yu Karti.

- Advertisement -

“Tapi, yang lebih sering, adalah bau mayat jika malam bulan purnama, itu pun jika kamu sedang apes lewat di sana,” tambah Herman salah satu teman pernah merasakan dan mengalami suasana keangkeran Gua Lowo.

Gua itu mengeluarkan bau kotoran kelelawar menyengat. Aroma seperti amonia tercium kuat ketika melintas di pinggir lubang gua. Pintu gua menghadap lurus ke atas. Lokasinya yang berada di pinggir jalan raya menbuat tiap pengendara selalu mempercepat laju kendaraannya bila melintas di situ. Mungkin karena takut.

Sebagai gua yang pernah menjadi tempat pembuangan mayat orang-orang yang terlibat partai terlarang ketika mereka dieksekusi oleh tokoh-tokoh masyarakat desaku, gua itu menjadi dekat dan akrab dengan cerita beraroma magis dan hantu-hantu.

Dengan latar belakang yang demikian berdarah itu, tak ayal jalan raya di sampingnya pun menjadi terkenal angker dan sering memakan korban kecelakaan. Gua itu sangat identik dengan sosok perempuan yang lolos dari pembantaian pada peristiwa di tahun pada saat Gestapu tahun 1965 terjadi.

Tubuhnya memang ayu untuk ukuran wanita desa. Kulit kuning bak perempuan keturunan Tiongkok membuat ia awet cantik hingga tua seperti sekarang ini.  Satu satunya cacat di tubuhnya hanyalah bekas luka gorok di lehernya tersebut. Dan luka itu tak mampu mengurangi aura kecantikannya.

Seperti yang selama ini sering diceritakannya, luka itu diperoleh dari lelaki yang ia tolak lamarannya berkali-kali. Lelaki itu pula yang telah menuduhnya sebagai simpatisan partai terlarang hingga membawanya ke gua tempat penjagalan para simpatisan itu.

Kini perempuan itu adalah perempuan pemilik warung kopi paling ramai di Desa Tanggul. Meski sudah uzur, namun garis kecantikan wajahnya masih membekas dan menjadi daya tarik tersendiri bagi para nelayan di desa kami. 

Orangnya supel dan ramah serta ditopang wajah lumayan ukuran wanita desa, warungnya menjadi tujuan bapak-bapak selesai melaut di Desa Tanggul. Meski mudah digoda, namun ia tak mudah jatuh cinta dan terpikat dengan salah satu pelanggan warungnya. Itulah membuatku segan dan sering menaruh hormat padanya.

Aku sering berlama-lama di warungnya sambil melihat para lelaki iseng menggodanya. Namun, satu hal yang pasti, ia sangat keibuan, khususnya, saat meladeni pesananku dan itu kadang membuatku agak canggung dengannya.

Tak banyak yang tahu bahwa ia adalah saksi peristiwa menjadi catatan sejarah kelam tentang era politik yang hitam di negeri ini. Era saat revolusi masih hendak digelorakan oleh Bung Karno hingga mencetuskan konflik paling berdarah dalam perang saudara di Indonesia.

Banyak kasus seperti perempuan yang kisahnya melegenda di Desa Tanggul  ini, yang akhirnya menjadi korban salah sasaran. Kasus tuduhan berdasarkan dendam entah disebabkan asmara maupun saingan bisnis antarteman. Seorang tengkulak meregang nyawa hanya karena banyak membeli hasil petani tergabung dalam kelompok tani afiliasi partai terlarang. Ia dituduh sebagai antek kelompok tani tersebut oleh tengkulak saingannya. Dan nyawanya pun melayang dengan kepala terpenggal. Sia-sia.

Ia sering mengelak jika ditanya tentang bekas luka di lehernya. Para pengunjung warung kopinya pun akhirnya bosan menanyakan hal itu. Mereka memilih asik ngopi sambil sesekali menggodanya. Tentang luka itu, kebanyakan hanya dipakai bahan cerita lalu saja.

Meski demikian tertutup perihal bekas luka di lehernya, kepadaku, ia tetap memberi jawaban meski sedikit-sedikit. Ia tak pernah mengabaikan rasa penasaranku tentang hal itu.

“Yu, bekas luka itu kenapa tidak ditutup,” tanyaku suatu kali padanya. Ia berkerudung biasa bukan jilbab seperti sekarang. Kerudung wanita Jawa yang menutupi rambut kepala dan kadang masih terlihat area lehernya.

“Biarlah luka ini tetap terlihat karena ini sebagai pengingatku akan peristiwa itu. Aku memaafkan pelakunya, tapi juga tak melupakan apa yang pernah ia perbuat padaku,” sebuah jawaban yang dilematis menurutku.

Kami memanggilnya Yu Karti. Nama sebenarnya adalah Maryam Sukarti. Kembang desa yang melegenda karena kecantikannya saat itu. Bahkan hingga kini pun masih ada aura kecantikan itu.

Sukarti tak menaruh dendam pada lelaki penyebab cacat di lehernya itu. Ia hanya menyesalkan perbuatan lelaki tega menuduhnya sebagai antek partai terlarang hanya karena kecewa lantaran  lamaranya telah ia tolak. Yu Karti sudah punya pacar waktu itu dan lelaki itu  sudah beristri serta beranak satu.

Menurut pengakuannya, lelaki itu adalah  anak lurah desa, yang disegani dan gemar main perempuan. “Itu luka tersebabkan oleh apa?” aku bertanya padanya, pura-pura tak tahu gosip tentang perempuan lolos dari pembantaian di zaman kelam negeri ini, saat ia menyodorkan kopi pesananku. 

“Ini sebuah luka disebabkan cinta. Cinta seseorang pernah kutolak. Kejadian itu sudah lama, dan tak usah diungkit lagi,” jawabnya padaku sambil kembali menyeduh kopi.

“Tahun berapakah itu kira kira, kalau aku boleh tahu?” lanjutku sambil masih berpura-pura sebagai pemuda lugu tak pernah mendengar kisah wanita lolos dari kematian saat pembantaian simpatisan partai terlarang di desaku.

“Tahun penuh fitnah dan gonjang-ganjing di negeri ini. Kamu tahu tahun enam puluhan adalah tahun tahun penuh curiga dan kejenuhan pada kekuasaan yang ada. Pada tahun itu jati diri sebagai bangsa masih belum kokoh. Tahun itu semua orang yang merasa terlibat dalam memperjuangkan kemerdekaan di negeri merasa berhak untuk ambil bagian menikmati hasil perjuangan dan menentukan garis hidup bangsa,” jawabnya membuatku heran akan situasi sosial saat itu. Aku melanjutkan bertanya, “Lantas, luka itu, bagaimana terjadinya?”

“Saat itu,  aku bisa dikatakan sebagai kembang desa. Itu semua  bukan lantaran aku berwajah cantik, tapi karena, meski dari desa, aku ini anak yang berpendidikan karena bapakku mengirimku ke pesantren. Dengan keadaan itu, tak heran banyak pemuda desa  ini naksir. Apa benar kamu mau mendengar ceritaku?” ia menegaskan sambil tersenyum simpul.

“Ya, aku mau. Aku juga penasaran dengan kisah-kisah saat partai terlarang masih eksis di negeri ini. Siapa tahu, kisah Yu Karti bisa menjadi pembuka wawasanku tentang apa yang terjadi pada saat itu, ” jawabku penuh antusias.

“Lelaki itu bernamah Solekan, anak kepala desa. Ia terkenal gemar kawin cerai. Sebagai anak kepala desa saat itu, ia begitu berkuasa memanfaatkan jabatan bapaknya. Di desa ini tak ada pemuda berani bersaing dengannya. Semua aparat desa akan selalu berada di pihaknya jika dia bermasalah dengan orang lain.

Hari itu ia datang ke rumahku dan melamarku untuk jadi istrinya. Aku menolaknya dengan alasan masih terlalu muda menikah. Aku terpelajar tak mungkin menjadi istri kedua. Jelek-jelek begini aku ini paham perasaan wanita dimadu, Nang. ” Ia memberikan pembukaan cerita cukup membuatku penasaran sambil memanggil nama kecilku, Nanang. 

Dari mana ia tahu panggilanku waktu kecil membuatku makin bertanya-tanya. Itu adalah nama pemberian kakekku. “Sebenarnya dia adalah lelaki yang mengajakku ke salah satu rapat kelompok tani. Dia hadir mewakili bapaknya dan aku diajaknya turut serta karena menganggap aku wanita terpelajar. Anehnya saat hadir itu aku menulis absen. Dan setelah aku mau diajaknya ke rapat itu, ia sering mendekati aku dan main ke rumahku. Hingga suatu hari, ia melamarku dijadikan istri kedua. Aku menolaknya dengan sangat lembut agar ia tak sakit hati. Tetapi, itulah lelaki, bagi orang seperti dia penolakan wanita adalah harga diri harus dibayar dengan nyawa,” saat mengatakan ini, terlihat matanya mulai sembab.

 “Ketika geger gestapu tahun enam lima itu, Setelah pemberontakan berhasil digagalkan oleh Angkatan Darat, terjadi kisruh luar biasa. Siapa terlibat dengan partai terlarang itu hampir dipastikan mati.”  

“Terus, kok akhirnya Yu Karti dituduh terlibat dengan bukti apa?” aku menyelidik sambil menghirup kopi yang hampir dingin.

“Solekan memberikan daftar absen rapat kelompok tani tersebut yang dulu pernah kuhadiri dengannya kepada petugas, Ia berlaku licik hanya agar aku ditangkap dan dihukum. Nah saat aku digiring ke Gua Lowo itu aku melihatnya menjagal beberapa orang. Aku kebetulan menjadi salah satu orang yang harus dieksekusinya.” 

“Mengapa Yu Karti bias lolos dan tetap hidup?”

“Sebenarnya, Ia tak bermaksud membunuhku, karena ia memang betul-betul mencintaiku. Itulah alasannya mengapa ia mau menjadi algojo saat itu. Itu semua dilakukan  agar ia bisa menjagalku tangannya sendiri. Dan akhirnya ia menggorokku dengan setengah hati. Urat besar di leherku tak terputus, itulah mengapa aku akhirnya tetap hidup dan mungkin takdir kematianku memang belum terjadi pada saat itu.”

“Di manakah sekarang Solekan yang Yu Karti maksudkan itu?” tanyaku dengan rasa penasaran yang tinggi.

“Ia telah meninggal lima tahun lalu di Tanah Suci saat pergi haji,” Ia menjawab itu sambil mengusap rambutku dan meneteskan air mata.

Aku pun meneteskan air mata, mengenang lima tahun lalu saat kakeku meninggal di Tanah Suci lima tahun lalu. Saat itu aku melihat sosok Yu Karti bertakziah ke rumahku juga berlinang air mata.

*) Penulis lahir di desa nelayan, Paciran, di pesisir utara Kabupaten Lamongan. Sehari-harinya menjadi Arsiparis di Dinas Kearsipan Daerah Kabupaten Lamongan. Tahun 2018 terpilih menjadi arsiparis teladan Jawa Timur dan 2019 menjadi finalis arsiparis teladan Nasional diselenggarakan Arsip Nasional Republik Indonesia.

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru


/