27 C
Bojonegoro
Wednesday, May 31, 2023

Nyai Hajah Asmanah, Perempuan dan Penebar Dakwah di Bojonegoro (2)

- Advertisement -

Rumah Kiai Abu Dzarrin dan Nyai Asmanah begitu teduh. Sederhana dengan kayu jati. Menjadi jujukan santri-santri mengaji. Tak heran, rumah tersebut jadi incaran selama penjajahan Belanda dan Jepang. Hingga kini rumah tersebut masih awet.

M. LUKMAN HAKIM, Bojonegoro, Radar Bojonegoro

Rumah Nyai Asmanah berbahan kayu jati itu masih kokoh. Tidak telalu luas seperti rumah masyarakat Jawa yang berbentuk Joglo dan berpagar rapi di depanya membatasi teras. Bangunan lawas tampak klasik itu adalah rumah milik Ibu Nyai Asmanah.

Arsitektur jawa masih kental dan melekat setiap pintu. Atap dan jendelanya kayu. Ukiran kaligrafi memperindah ruangan di dalamnya. Jauharul Mawahib cucu Nyai Asmanah mengatakan, dalam dan di luar rumah semua masih asli bangunan lawas. Seperti waktu ditempati Kiai Abu Dzarrin dan Nyai Asmanah, rumah itu hanya mengalami renovasi bagian lantai. Sudah diganti keramik putih.

Rumah yang menjadi saksi sejarah peralihan zaman mulai dari penjajahan Belanda, Jepang, sampai Kemerdekaan tersebut menyisakan peristiwa yang di kenang oleh anak-anak Mbah Nyai Asmanah. Salah satunya Bu Nyai Lu’luatul Fuad, ibu Jauharul Mawahib.

- Advertisement -

Berdasar cerita ibunya, zaman penjajahan memang tidak begitu terusik dengan kehadiran Belanda di Bojonegoro. Hal itu karena keluarga Nyai Asmanah merupakan keluarga terpandang dan disegani kawan maupun lawan. Tidak terkecuali Belanda dan para serdadunya. Saat penjajahan Belanda itu, rumah Kiai Abu Dzarrin dan Nyai Asmanah itu pernah dibuat tempat bersembunyi Adipati Aryo Kusumoadinegoro atau biasa dipanggil Kanjeng Sumantri, Bupati Bojonegoro periode 1916-1936.

Saat itu, Kanjeng Sumantri dalam incaran dan sedang dikejar oleh serdadu Belanda. Karena rumah itu dirasa aman dan tidak terlalu mewah, Kanjeng Sumantri bersembunyi di rumah khas kayu jati itu. Apalagi, rumah tersebut digunakan mengaji. Sehingga, serdadu Belanda tidak tidak menaruh curiga Kanjeng Sumantri bersembunyi di rumah digunakan mengaji itu.

“Tidak curiga terhadap rumah mbah Nyai sebagai tempat persembunyian,” ujarnya kepada Jawa Pos Radar Bojonegoro.

Kanjeng Sumantri bersembunyi selama tiga bulan. Sampai disiapkan kamar sendiri oleh Nyai Asmanah sebagai tempat persembunyian. Tidak ada yang masuk selain orang yang ingin mengaji kepada mbah Kiai Abu Dzarrin.

Sementara itu, selama penjajahan Jepang, rumah Nyai Asmanah pernah didatangi tentara Jepang. Lu’luatul Fu’ad putri Nyai Asmanah mengatakan, saat itu serdadu Jepang memakai seragam gaya Dai Nippon, yang ber sekutu dengan pribumi. Datang ke rumah dan bertanya kepada Kiai Abu Dzarrin tentang peliharaan ternak.

Karena jawaban yang didapat tidak dipercaya, tentara Jepang langsung menggeledah dan menemukan kambing disembunyikan di kamar. Kambing milik suami istri itu kemudian dirampas.

Kiai Abu Dzarrin sempat dipukul dan mereka merelakan hewan ternaknya diambil paksa. “Mbah Abu Dzarrin ditabok (dtampar) dan kambingnya dirampas, orangnya itu ternyata dari Desa Sembung, timurnya sawah,” tutur Bu Lu’ sapaan akrabnya.

Usai tragedi itu, Kiai Abu Dzarrin berusaha membuat pagar pondok AlRidhwan dengan dibe rikan semacam doa-doa (rajah). Konon ketika ada orang masuk dengan niat untuk mencuri atau minta akan terkena penyakit.

“Emas dan mutiara hasil pernikahan pernah diambil, yang mengambil (sikil e podo pritil),” tuturnya. Begitupun waktu zaman setelah kemerdekaan, beliau masih berjuang untuk santri dan pendidikan putra-putrinya. Hingga peristiwa berdarah pada 1965. Yakni ketakutan atas ancaman pembunuhan terhadap para kiai-kiai.

Saat itu, Nyai Asmanah sendirian merawat putra-putrinya, setelah Kiai Abu Dzarrin wafat. Nyai Asmanah masih sedih ditinggal suaminya. Semua anaknya masih di intens belajar mengaji di pondok. Setiap jam lima sore pintu rumah selalu ditutup.

Rumah Kiai Abu Dzarrin dan Nyai Asmanah begitu teduh. Sederhana dengan kayu jati. Menjadi jujukan santri-santri mengaji. Tak heran, rumah tersebut jadi incaran selama penjajahan Belanda dan Jepang. Hingga kini rumah tersebut masih awet.

M. LUKMAN HAKIM, Bojonegoro, Radar Bojonegoro

Rumah Nyai Asmanah berbahan kayu jati itu masih kokoh. Tidak telalu luas seperti rumah masyarakat Jawa yang berbentuk Joglo dan berpagar rapi di depanya membatasi teras. Bangunan lawas tampak klasik itu adalah rumah milik Ibu Nyai Asmanah.

Arsitektur jawa masih kental dan melekat setiap pintu. Atap dan jendelanya kayu. Ukiran kaligrafi memperindah ruangan di dalamnya. Jauharul Mawahib cucu Nyai Asmanah mengatakan, dalam dan di luar rumah semua masih asli bangunan lawas. Seperti waktu ditempati Kiai Abu Dzarrin dan Nyai Asmanah, rumah itu hanya mengalami renovasi bagian lantai. Sudah diganti keramik putih.

Rumah yang menjadi saksi sejarah peralihan zaman mulai dari penjajahan Belanda, Jepang, sampai Kemerdekaan tersebut menyisakan peristiwa yang di kenang oleh anak-anak Mbah Nyai Asmanah. Salah satunya Bu Nyai Lu’luatul Fuad, ibu Jauharul Mawahib.

- Advertisement -

Berdasar cerita ibunya, zaman penjajahan memang tidak begitu terusik dengan kehadiran Belanda di Bojonegoro. Hal itu karena keluarga Nyai Asmanah merupakan keluarga terpandang dan disegani kawan maupun lawan. Tidak terkecuali Belanda dan para serdadunya. Saat penjajahan Belanda itu, rumah Kiai Abu Dzarrin dan Nyai Asmanah itu pernah dibuat tempat bersembunyi Adipati Aryo Kusumoadinegoro atau biasa dipanggil Kanjeng Sumantri, Bupati Bojonegoro periode 1916-1936.

Saat itu, Kanjeng Sumantri dalam incaran dan sedang dikejar oleh serdadu Belanda. Karena rumah itu dirasa aman dan tidak terlalu mewah, Kanjeng Sumantri bersembunyi di rumah khas kayu jati itu. Apalagi, rumah tersebut digunakan mengaji. Sehingga, serdadu Belanda tidak tidak menaruh curiga Kanjeng Sumantri bersembunyi di rumah digunakan mengaji itu.

“Tidak curiga terhadap rumah mbah Nyai sebagai tempat persembunyian,” ujarnya kepada Jawa Pos Radar Bojonegoro.

Kanjeng Sumantri bersembunyi selama tiga bulan. Sampai disiapkan kamar sendiri oleh Nyai Asmanah sebagai tempat persembunyian. Tidak ada yang masuk selain orang yang ingin mengaji kepada mbah Kiai Abu Dzarrin.

Sementara itu, selama penjajahan Jepang, rumah Nyai Asmanah pernah didatangi tentara Jepang. Lu’luatul Fu’ad putri Nyai Asmanah mengatakan, saat itu serdadu Jepang memakai seragam gaya Dai Nippon, yang ber sekutu dengan pribumi. Datang ke rumah dan bertanya kepada Kiai Abu Dzarrin tentang peliharaan ternak.

Karena jawaban yang didapat tidak dipercaya, tentara Jepang langsung menggeledah dan menemukan kambing disembunyikan di kamar. Kambing milik suami istri itu kemudian dirampas.

Kiai Abu Dzarrin sempat dipukul dan mereka merelakan hewan ternaknya diambil paksa. “Mbah Abu Dzarrin ditabok (dtampar) dan kambingnya dirampas, orangnya itu ternyata dari Desa Sembung, timurnya sawah,” tutur Bu Lu’ sapaan akrabnya.

Usai tragedi itu, Kiai Abu Dzarrin berusaha membuat pagar pondok AlRidhwan dengan dibe rikan semacam doa-doa (rajah). Konon ketika ada orang masuk dengan niat untuk mencuri atau minta akan terkena penyakit.

“Emas dan mutiara hasil pernikahan pernah diambil, yang mengambil (sikil e podo pritil),” tuturnya. Begitupun waktu zaman setelah kemerdekaan, beliau masih berjuang untuk santri dan pendidikan putra-putrinya. Hingga peristiwa berdarah pada 1965. Yakni ketakutan atas ancaman pembunuhan terhadap para kiai-kiai.

Saat itu, Nyai Asmanah sendirian merawat putra-putrinya, setelah Kiai Abu Dzarrin wafat. Nyai Asmanah masih sedih ditinggal suaminya. Semua anaknya masih di intens belajar mengaji di pondok. Setiap jam lima sore pintu rumah selalu ditutup.

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru


/