PETANI kebun salak wedi di Desa Wedi, Kecamatan Kapas, resah. Pohonnya mengering. Tanah di dasar sungai sekitar kebun retak-retak. Buah salak tak bisa berkembang dengan maksimal.
Memasuki permukiman Desa Wedi, Kecamatan Kapas, terlihat rumah-rumah warga berhimpitan dengan kebun salak. Di halaman, samping, dan belakang rumah warga terdapat pohon berciri khas batang berduri ini.
Pohon salak ini menjadi ikon. Namun, daun pohon yang menjadi ikon desa setempat tak lagi berwarna hijau. Beberapa dahannya kering dan berubah menjadi cokelat.
Buah salak yang umurnya rerata lebih dari sebulan itu ukurannya sebesar kelereng. Usia tersebut sebenarnya masa pertumbuhan buah yang kulitnya dipenuhi duri. Namun, petani mengeluh buah salak yang akan panen akhir tahun ini terancam gagal.
Sebab, buah salak menjadi salah satu agropolitan Bojonegoro itu tak berkembang. Imbas kekurangan air. ’’Pohonnya kering. Buah salak sulit berkembang,’’ kata Nur Cholis, salah satu petani salak di Desa Wedi ditemui di kebunnya kemarin (13/9).
Pria akrab disapa Cholis itu menceritakan, kebutuhan dasar pohon salak hanya air. Sedangkan, pupuk dan obatnya selama ini tidak menggunakan bahan kimia. Sehingga, salak wedi termasuk kategori buah organik.
Potensi hama nyaris tidak ada. Salak yang telah ditanam warga desa setempat sejak tahun 1900-an itu tahan terhadap hama jenis apapun. Kecuali ada ulat dan tikus. Namun, menangkal hama itu, petani memelihara predatornya di kebun.
’’Ada aturan tidak tertulis di lingkungan tentang larangan memburu predator hama salak,’’ tandas bapak dua anak tersebut.
Kekeringan salak ini, tentu menjadi ancaman gagal panen untuk jangka pendek. Sedangkan, jangka panjang, salak selama ini menjadi sumber pendapatan warga setempat, juga akan punah. Sebab, karena kekurangan air, pohon salak akan mati.
Menurut alumni Pondok Pesantren (Ponpes) Abu Dzarrin itu, selain ancaman pelestarian kebun salak di desa tersebut, juga karena adanya pembebasan lahan untuk bisnis pengembang perumahan. Selama ini pengembang membeli kebun petani dan membunuh pohon salak.
Berdasar keterangan warga setempat, kekeringan kebun salak yang terjadi berawal dari adanya jaringan PDAM masuk desa. Sehingga, sumur warga yang menjadi mata air untuk kebutuhan rumah tangga, sejak masuk jaringan pipa PDAM, warga tak lagi melakukan normalisasi saluran air. Juga tak ada lagi aliran air ke kebun dari wilayah hulu.
Padahal, sebelumnya petani salak setiap kemarau melakukan normalisasi sungai di sepanjang desa untuk mengairi kebun. ’’Jika generasi penerus tak lagi peduli pelestarian pohon salak, tak menutup kemungkinan salak di desa kami punah,’’ imbuh Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Wedi M. Subkhan.
Karena saat ini salak wedi mengalami kekeringan, tentu agenda tahunan desa, yaitu sedekah salak yang digelar bertepatan peringatan haul tokoh desa yang menanam salak wedi pertama, berpotensi gagal digelar.
Karena perkembangan salak tak bisa maksimal, sehingga warga bakal tidak bisa menyumbangkan salaknya kepada panitia kegiatan yang dikemas pada festival itu kepada pengunjung.
Dia berharap ada sentuhan dari pemkab setempat agar kebun salak tetap lestari. Karena desa tersebut berpotensi menjadi desa wisata yang akan menunjang kesejahteraan warga.