BOJONEGORO – Sidang lanjutan terdakwa Wiwik Pujiningsih, kasus dugaan korupsi anggaran pendapatan dan belanja desa (APBDes) Sukosewu 2016-2017 akan masuk agenda pemeriksaan terdakwa pekan depan.
Sedangkan sidang pada Senin (11/3) lalu, pihak jaksa penuntut umum (JPU) menghadirkan saksi ahli, yakni Kepala Bagian (Kabag) Hukum Pemkab Bojonegoro Faisol Ahmadi. Sementara, penasihat hukum terdakwa tidak hadirkan saksi.
“Kami memang tidak hadirkan saksi yang meringankan mas, menurut kami keterangan saksi ahli dan pengembalian uang yang dilakukan terdakwa ke rekening desa bisa jadi pertimbangan majelis hakim,” ujar penasihat hukum terdakwa Mansur.
Dia menjelaskan saat sidang pemeriksaan saksi ahli tersebut, diketahui apabila pembentukan tim pelaksana tidak wajib. Sehingga, menurut dia, pernyataan ahli tersebut bisa menjadi syarat meringankan terdakwa.
“Saksi ahli mengatakan pembentukan tim pelaksana dalam proses pengadaan barang dan jasa tidak wajib, bisa dibuat bisa tidak, itu hanya sebagai pedoman saja di salah perbup tentang pengelolaan dana desa,” tuturnya.
Terpisah, Kabag Hukum Pemkab Bojonegoro Faisol Ahmadi mencoba meluruskan pernyataannya tersebut merujuk pada pasal 7 Perbup Nomor 4 Tahun 2016.
Dia mengatakan, kades dapat membentuk tim pelaksana dalam kegiatan pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa. Bagi dia, kata dapat di dalam pasal tersebut bisa diartikan luas. Karena memang tidak ada kata wajib di dalam pasal itu.
“Tetapi substansinya bukan itu, bukan masalah wajib atau tidak, tapi masalah pertanggungjawaban penggunaan APBDes tersebut, boleh saja tidak buat tim pelaksana, tapi SPJ-nya juga harus bisa dibuktikan,” tegasnya.
Karena menurut dia, setiap peraturan dibuat tentu untuk dilaksanakan, bukan untuk disimpangi. Kalau memang pernyataannya tersebut dijadikan bahan untuk penasihat hukum terdakwa, Faisol tidak masalah.
Sebab, dia menganggap majelis hakim pasti lebih mampu menilainya. Karena di dalam Perbup Nomor 38 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pengadaan Barang/Jasa di desa juga dianjurkan para kades untuk membentuk tim pelaksana.
Faisol menilai kasus yang menjerat Kades Sukosewu tersebut terkait penyalahgunaan APBDes. Sehingga di dalam sirkulasi keuangannya ditemukan penyelewengan, karena diketahui APBDes itu dikelola dan dibelanjakan sendiri oleh kades, tanpa melibatkan tim pelaksana dan bendahara.
Sehingga, ketika dilakukan pemeriksaan, ditemukan beberapa proyek yang tidak bisa dipertanggungjawabkan terdakwa.
“Intinya, prosedur pelaksanaan dari pembelanjaan APBDes tidak sesuai dengan mekanisme yang berlaku, ada penyalahgunaan wewenang,” katanya.
Sementara itu, salah satu JPU kasus tersebut Dekry Wahyudi menambahkan, hasil keterangan ahli menyatakan apa yang dilakukan terdakwa tidak sesuai dengan prosedur. Banyak kekeliruan yang dilakukan terdakwa.
Misalnya, semua uang yang seharusnya masuk ke rekening desa, namun ternyata ada sebagian uang yang dibawa terdakwa. Selain itu, beberapa SPJ ditemukan beberapa kekeliruan.
“Sehingga di mata hukum apa yang dilakukan terdakwa sebagai pengelola anggaran tidak dibenarkan,” ujarnya.
Diketahui ada tiga item anggaran yang diduga diselewengkan terdakwa, akibatnya ditemukan kerugian negara sebesar Rp 550 juta. Tiga item yang diduga dikorupsi di antaranya Rp 409,8 juta selisih perhitungan pekerjaan fisik di Desa Sukosewu, lalu Rp 121 juta dari selisih upah kerja yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
“Juga honor tim pelaksana yang tidak bisa dipertanggungjawabkan terdakwa senilai Rp 19,8 juta,” pungkasnya.