Sekumpulan pemuda beragam latar belakang ingin menghidupkan semangat berpikir kritis. Kegiatan diskusi rutinan dengan nama Kampus Terbuka akhirnya berjalan mulai September 2021.
DUDUK melingkar di serambi belakang warung turut Kelurahan Ledok Kulon pada Sabtu sore (8/1). Ada empat pemuda gayeng berdiskusi. Ditemani kopi hitam dan cemilan. Jawa Pos Radar Bojonegoro pun berkesempatan mengikuti diskusi mengalir tanpa moderator. Namun tema diskusi telah ditetapkan. Yakni, membahas relokasi pedagang Pasar Bojonegoro Kota.
Diskusi mengalir hingga tak terasa sudah hampir magrib. Diskusi tersebut bukan kegiatan impulsif sekali jalan, lalu bubar. Namun, diskusi itu sudah terkonsep. Mereka sepakat diskusi rutinan tiap Sabtu dan menamakan kelompok mereka sebagai Kampus Terbuka.
Salah satu pegiat sekaligus inisiator Kampus Terbuka Almaliki Ukay Sukaya Subqy mengatakan, perjalanan Kampus Terbuka dimulai September 2021 lalu. Setidaknya Kampus Terbuka sudah 18 kali pertemuan atau sekitar lima bulan berjalan.
Ide awal Kampus Terbuka sederhana. Karena sering ngopi bareng, namun seringkali diskusinya ngalor ngidul. Jadi, tema diskusinya ditentukan sedari awal. Tentu, diskusi terarah dan mengasah pisau argumentasi. Sehingga setiap pertemuan terdapat tema-tema yang up to date.
“Hal paling dihindari tentunya debat kusir karena komitmen Kampus Terbuka ialah tidak boleh ada sentiment. Yang ada diskusi berdasar argumen,” ucap pria akrab disapa Malik itu.
Kampus Terbuka mengusung jargon dengan akronim Ledre yaitu liberte (bebas), egalite (setara), democratie (demokrasi), dan respublica (republik). Jadi tidak ada tingkatan di dalam Kampus Terbuka. Setiap orang bisa menjadi narasumber.
“Kampus Terbuka memang diformulasikan dalam diskusi ini ingin menghasilkan ulang konsep demokrasi, kesetaraan, dan keadilan sosial,” tuturnya.
Tujuan konkret Kampus Terbuka bukan aksi turun ke jalan. Namun, menghidupkan ruang diskusi sekaligus laboratorium argumentasi di Bojonegoro. Juga mendorong tiap orang mampu berdialektika dengan dasar rasionalitas, bukan sekadar asumsi belaka.
“Kami ingin mempertajam pisau analisis saat melihat sebuah masalah. Bukan sekadar rasan-rasan tidak jelas,” katanya.
Di dalam Kampus Terbuka hanya ada pengelola kelas. Guna menentukan tema dan lokasi diskusi. Biasanya dihadiri hiingga 20 orang dari ragam latar belakang. Ada mahasiswa, aktivis, guru, dosen, peneliti, politisi, pegawai negeri sipil (PNS), karyawan, jurnalis, musisi, seniman, sejarawan. “Kampus Terbuka benar-benar terbuka untuk siapapun,” imbuh pria asal Bandung itu.
Setidaknya Kampus Terbuka bisa menjadi ruang menumpahkan ide maupun gagasan sudah dipelajari lewat buku atau media. “Perang argumen di dalam Kampus Terbuka bertujuan agar semua tidak berkutat di dalam gelembung kita sendiri. Sehingga ada dorongan selalu haus belajar sekaligus memperbanyak buku bacaan karena ternyata masih ada banyak hal belum kita ketahui,” ucap pria kelahiran 1983 itu.
Targetnya, bakal ada manifesto dari Kampus Terbuka berupa buku antologi esai. “Kami saling bagi tema menulis esai. Nantinya semua tulisan dikumpulkan. Rencananya bukunya bisa rampung Maret,” imbuhnya.
Anggota Kampus Terbuka lainnya Saiful Huda mengungkapkan, bahwa Kampus Terbuka bisa dibilang seperti wisata olah pikir. Karena seringkali antaranggota bawa temannya. Baik dari Bojonegoro maupun luar Bojonegoro. “Mereka yang datang juga bebas untuk ikut menyumbang ide, gagasan, maupun argumen,” katanya.
Awe, sapaan akrabnya, menilai di luar sana pasti banyak orang butuh medium berbagi apa sudah dipelajari, dibaca, dan dilihat. “Kalau mau cari alasan filosofisnya, jauh sebelum Masehi, kebiasaan diskusi dan adu pemikiran sudah dimulai sejak peradaban Romawi atau Yunani,” ungkap pria juga merupakan Direktur Bojonegoro Institute itu.
Awe bersama Kampus Terbuka ingin mengembalikan ruh demokrasi yang mana setiap warga negara harus bedaulat. Juga punya hak bebas berbicara. Setiap ide atau gagasan berhak dikritisi. “Penentuan setiap Sabtu agar akhir pekan diisi sebagai ruang melepas stres dengan diskusi santai di Kampus Terbuka,” jelasnya.