BEBERAPA minggu terakhir Bojonegoro diselimuti duka. Mulai badai menerjang beberapa rumah warga Kecamatan Balen, kecelakaan transportasi air di Desa Semambung, Kecamatan Konor, tenggelamnya seorang kakek di Sungai Klepek dan bencana lain ke depannya diprediksi melanda beberapa wilayah.
Seperti dipaparkan BMKG, saat ini apa disebut fenomena La Nina atau penurunan suhu (pendinginan) di Samudra Pasifik. Sehingga mengurangi pertumbuhan awan. Berdampak meningkatnya curah hujan dan membawa potensi bencana seperti hidrometeorologi, puting beliung, banjir, dan sebagainya.
Tentu mitigasi dan sarana mencegah kejadian terburuk sudah dipersiapkan dari pemangku kebijakan. Seperti peringatan dini, pembuatan jalur evakuasi tiap daerah rawan bencana, dan monitoring untuk memastikan kondisi alam. Namun, masih ada beberapa celah kemudian luput sehingga tidak bisa terhindarkan berjatuhannya korban.
Saat meliput kejadian perahu tenggelam lalu, tidak sedikit berseloroh kejadian tersebut disebabkan pembangunan Jembatan Kanor-Rengel (Kare) meminta bawon atau tumbal. Ada juga berpendapat karena tiang pancang menyebabkan arus air bengawan semakin deras. Ada juga pandangannya karena alam di sekitar disakiti. Untuk yang terakhir ini saya pikir ia sudah melampaui pandangan antroposentrisme pembangunan.
Dari beberapa frekuensi itu, ternyata ada banyak cara pandang tumbuh dalam genealogi masyarakat, terutama pedesaan. Saya hanya menikmati guneman-guneman tersebut sebagai khazanah pergulatan narasi terlembaga dalam pikaran masing-masing orang.
Memandang kebencanaan sebagai konsekuensi kausalitas kepercayaan sains atau saintisme. Tentu melibatkan proyek ilmiah, pandangan ini sebagian besar dianut para teknokrat, birokrat, akademisi, dan yang membanggakan sains sebagai suatu piranti mampu mengatasi problem manusia dalam hal ini kebencanaan.
Seperti pembangunan rumah dengan tanah bergerak, fondasi dibangun perlu diberikan perhatian khusus terkait bantalan agar bisa meredam atau meminimalisir kerusakan. Atau dalam kasus Jembatan Kare yang luput perencanaan adalah dampak fondasi dan tiang pancang menyebabkan arus lebih deras.
Padahal, ada tambangan penyeberangan sudah ada sejak dahulu kala di sana. Amdal dan mitigasi sekitar proyek sebagai salah satu produk sains tentu berpengaruh kejadian tersebut. Mungkinkah kontraktor bisa dituntut? Ini permisalan saja terkait mempergunakan sains dalam kebencanaan.
Padangan selanjutnya, yakni mistisisme kebencanaan. Hal ini banyak dipercayai orang-orang konservatif sudah mengakar di pedesaan. Karena sejarah masyarakat Jawa tidak bisa dipisahkan dengan apa yang disebut klenik. Apalagi masyarakat di bantaran bengawan. Karena pada dasarnya kehidupan dahulu banyak didekat mata air.
Sehingga, pandangan mistis seperti pada kasus proyek Jembatan Kare, bahwa setiap pembangunan membutuhkan tumbal atau bawon, tempat tersebut dihuni makhluk halus. Hal tersebut sudah terlembaga dalam manifes berpikir. Diamini atau tidak, itu merupakan khazanah intelektual warga. Jika ingin diubah atau dihapus mungkin mempunyai sembilan nyawa saja tidak cukup.
Karena sudah terbukti, saat terjadi pencerahan Eropa atau Renaisance digaungkan tidak semua ortodoksi gereja itu hancur lebur. Malahan pencerahan sendiri memperlihatkan keangkuhan sains sebagai percepatan menuju penghancuran. Seperti penciptaan senjata modern mengakibatkan bencana terbesar yakni perang dunia. Sehingga muncul kritik disebut post modernisme atitesis modernisme yang terlalu membanggakan sains.
Dari keduanya, seperti khazanah filsafat, ada tesis, anti-tesis tentu juga ada sintesis. Dalam hal ini persilangan mistisisme dan saintisme atau perjamuan keduanya. Dua domain berbeda dapat didudukkan atau diundang dalam rapat pertemuan berdamai dengan mengakui kaidah masing-masing.
Mistisisme kebencanaan berkontribusi kehati-hatian masyarakat. Sehingga setiap pembangunan atau berkaitan pemanfaatan ruang, aspek kehati-hatian terlembaga dalam masyarakat pedesaan. Karena mereka berpikir, ada makhluk selain dirinya juga mempunyai hak menempati. Contoh apiknya bagaimana masyarakat sekitar Pegunungan Kendeng menjaga alam, sudah tertanam sejak kecil bahwa tanah, hutan, gunung, adalah ibu bumi tidak bisa dieksploitasi besar-besaran.
Selanjutnya, saintisme kebencanaan berkontribusi peletakan perspektif hukum alam terlembaga dalam kodifikasi pengetahuan ilmiah. Sehingga muncul amdal, izin mendirikan bangunan (IMB) yang kini sudah diubah oleh omnibus law menjadi persetujuan bangunan (PBg). Begitulah bahasa bermain.
Perjamuan keduanya, bisa diadopsi bukan sebagai perspektif baru. Namun, sebagai pertimbangan pluralisme narasi. Sehingga kesenjangan atara intelektual menara gading dan intelektual tanah (masyarakat lokal atau pedesaan) tidak berseberangan dan saling mengklaim pembenaran atas nama pengetahuan.
Kalau dalam khazanah Islam ada dalam ayat ‘alimul ghoibi wa syahadati huwarrohmanurrohim, dan manifestasi manusia ulul albab. Mengetahui tampak dan mengetahui tidak tampak atau belum tampak. Sehingga kebencanaan dapat diminimalisir dengan persahabatan narasi mistisisme dan saintisme. Kebijaksanaan memandang peristiwa.
Terakhir, terkait tragedi tenggelamnya perahu di dekat proyek Jembatan Kare, evaluasi perlu dilakukan pemerintah di berbagai tingkatan. Atau dengan memberikan kompensasi kepada mereka. Untuk para korban, semoga cinta mereka sampai kepada Tuhan dan menyebar kepada kita yang masih diberikan nikmat hidup.
Seperti cinta membara tidak dipertontonkan, namun tersampaikan dalam perjalanan menaiki perahu menerjang badai, seperti dalam cerpen Seno Gumira Aji Dharma berjudul Cinta di atas Perahu Cadik.
LUKMAN HAKIM,
wartawan Jawa Pos Radar Bojonegoro