32.4 C
Bojonegoro
Thursday, June 1, 2023

Pembangkangan Ala Samin, Lawan Belanda Tanpa Perang

- Advertisement -

Rdar Bojonegoro – Bambang Sutrisno, salah satu putra sesepuh masyarakat Samin di Dusun Jepang, Desa/Kecamatan Margomulyo Mbah Harjo Kardi mengatakan, masyarakat Samin sangat getol melakukan perlawanan terhadap pemerintah Belanda. Namun bentuk perlawanannya berbeda dengan para tokoh pahlawan lainnya.

‘’Perlawanan masyarakat Samin itu tanpa kekerasan,” katanya kepada Jawa Pos Radar Bojonegoro kemarin (9/11). Menurut Bambang, alasan tidak melakukan perlawanan dengan kekerasan merupakan buah dari ajaran masyarakat Samin. Utamanya dari pitutur roso rumungso. Sehingga, jika dicubit itu sakit, jangan cubit orang lain karena rasanya akan sama.

‘’Juga semakna pitutur inti dan arti korelasinya bahwa meskipun itu orang Belanda, mereka tetap dianggap saudara semua,” ujar dia. Bambang menyebutkan, beberapa contoh bentuk tindakan perlawanan masyarakat Samin. Pertama yakni enggan membayar pajak. Karena mereka menganggap uang hasil pajak saat itu untuk membangun Belanda. Bukan untuk penduduk pribumi.

‘’Kedua, tidak mau diperintah dan dipekerjakan kolonial Belanda. Tidak mau memberi maupun diberi,” tambahnya. Menurut dia, contoh lain saat ada perintah menunggu burung di sawah. Masyarakat Samin hanya sebatas menunggui saja. Karena perintahnya menunggu burung, ketika burungnya memakan padi ya dibiarkan saja. Selain itu, ada perintah mencangkul jagung. Kemudian, jagung tersebutlah yang dicangkuli.

Ada lagi contoh ketika diperintah membersihkan rumah. Akhirnya, barang-barang yang ada di dalam rumah dikeluarkan semua. ‘’Masyarakat Samin menjalankan sesuai perintah. Tapi karena tindakan-tindakan itu, dianggap orang gila atau stres dan akhirnya dipulangkan,” imbuhnya.

- Advertisement -

Masyarakat Samin juga memiliki strategi lain ketika ditanyai pemerintah Belanda terkait identitasnya. Misalnya perihal nama, mereka pasti akan menjawab laki-laki jika mereka seorang laki-laki. Begitu juga dengan jawaban perempuan. Hal serupa terjadi ketika muncul pertanyaan jumlah anak. Masyarakat Samin hanya menjawab dua. Yakni laki-laki dan perempuan.

‘’Karena hakikatnya kita semua lahir hanya ada laki-laki dan perempuan. Kalaupun ada nama Bambang atau Tris, itu merupakan pengaran yang diberikan oleh orang tua,” jelas dia. Contoh lainnya ketika ditanya dari mana atau akan kemana. Jawabannya berkutat pada dari belakang atau akan ke depan. Karena jika disebutkan detil dari titik A atau mau ke titik B, nanti si A dan B akan diketahui identitasnya sebagai masyarakat Samin.

‘’Masyarakat Samin tidak berbohong. Prinsipnya ingin saling melindungi dan menyelamatkan. Dengan pembawaan jujur dan apa adanya kepada musuh,” terangnya. Kata Bambang, enggan sekolah juga menjadi bentuk perlawanan masyarakat Samin terhadap penjajah. Karena saat itu sekolah milik Belanda. Sehingga ada kekhawatiran, jika sekolah nanti masyarakat Samin akan menjadi pengikut Belanda. ‘’Sehingga tidak disekolahkan formal. Meski begitu, masyarakat Samin tetap menjalani sekolah yakni belajar dengan alam,” tutur dia.

Intinya, segala bentuk perlawanan itu dilakukan sesuai ajaran Samin Surosentiko. Namun, lambat laun ada sebuah pesan sebelum meninggal. Artinya kalau sudah ada pemimpin orang Jawa atau dari Jawa berarti sudah merdeka. Kemudian di belakang pemerintah mengikuti peraturan yang berlaku. ‘’Jadi karena pesan tersebut sekarang sudah terjadi, kami pun mengikuti pesan dari beliau,” tutupnya.

Rdar Bojonegoro – Bambang Sutrisno, salah satu putra sesepuh masyarakat Samin di Dusun Jepang, Desa/Kecamatan Margomulyo Mbah Harjo Kardi mengatakan, masyarakat Samin sangat getol melakukan perlawanan terhadap pemerintah Belanda. Namun bentuk perlawanannya berbeda dengan para tokoh pahlawan lainnya.

‘’Perlawanan masyarakat Samin itu tanpa kekerasan,” katanya kepada Jawa Pos Radar Bojonegoro kemarin (9/11). Menurut Bambang, alasan tidak melakukan perlawanan dengan kekerasan merupakan buah dari ajaran masyarakat Samin. Utamanya dari pitutur roso rumungso. Sehingga, jika dicubit itu sakit, jangan cubit orang lain karena rasanya akan sama.

‘’Juga semakna pitutur inti dan arti korelasinya bahwa meskipun itu orang Belanda, mereka tetap dianggap saudara semua,” ujar dia. Bambang menyebutkan, beberapa contoh bentuk tindakan perlawanan masyarakat Samin. Pertama yakni enggan membayar pajak. Karena mereka menganggap uang hasil pajak saat itu untuk membangun Belanda. Bukan untuk penduduk pribumi.

‘’Kedua, tidak mau diperintah dan dipekerjakan kolonial Belanda. Tidak mau memberi maupun diberi,” tambahnya. Menurut dia, contoh lain saat ada perintah menunggu burung di sawah. Masyarakat Samin hanya sebatas menunggui saja. Karena perintahnya menunggu burung, ketika burungnya memakan padi ya dibiarkan saja. Selain itu, ada perintah mencangkul jagung. Kemudian, jagung tersebutlah yang dicangkuli.

Ada lagi contoh ketika diperintah membersihkan rumah. Akhirnya, barang-barang yang ada di dalam rumah dikeluarkan semua. ‘’Masyarakat Samin menjalankan sesuai perintah. Tapi karena tindakan-tindakan itu, dianggap orang gila atau stres dan akhirnya dipulangkan,” imbuhnya.

- Advertisement -

Masyarakat Samin juga memiliki strategi lain ketika ditanyai pemerintah Belanda terkait identitasnya. Misalnya perihal nama, mereka pasti akan menjawab laki-laki jika mereka seorang laki-laki. Begitu juga dengan jawaban perempuan. Hal serupa terjadi ketika muncul pertanyaan jumlah anak. Masyarakat Samin hanya menjawab dua. Yakni laki-laki dan perempuan.

‘’Karena hakikatnya kita semua lahir hanya ada laki-laki dan perempuan. Kalaupun ada nama Bambang atau Tris, itu merupakan pengaran yang diberikan oleh orang tua,” jelas dia. Contoh lainnya ketika ditanya dari mana atau akan kemana. Jawabannya berkutat pada dari belakang atau akan ke depan. Karena jika disebutkan detil dari titik A atau mau ke titik B, nanti si A dan B akan diketahui identitasnya sebagai masyarakat Samin.

‘’Masyarakat Samin tidak berbohong. Prinsipnya ingin saling melindungi dan menyelamatkan. Dengan pembawaan jujur dan apa adanya kepada musuh,” terangnya. Kata Bambang, enggan sekolah juga menjadi bentuk perlawanan masyarakat Samin terhadap penjajah. Karena saat itu sekolah milik Belanda. Sehingga ada kekhawatiran, jika sekolah nanti masyarakat Samin akan menjadi pengikut Belanda. ‘’Sehingga tidak disekolahkan formal. Meski begitu, masyarakat Samin tetap menjalani sekolah yakni belajar dengan alam,” tutur dia.

Intinya, segala bentuk perlawanan itu dilakukan sesuai ajaran Samin Surosentiko. Namun, lambat laun ada sebuah pesan sebelum meninggal. Artinya kalau sudah ada pemimpin orang Jawa atau dari Jawa berarti sudah merdeka. Kemudian di belakang pemerintah mengikuti peraturan yang berlaku. ‘’Jadi karena pesan tersebut sekarang sudah terjadi, kami pun mengikuti pesan dari beliau,” tutupnya.

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru


/