TUBAN – Kasus pemerkosaan yang dilakukan siswa salah satu SDN di Desa Prunggahan Kulon, Kecamatan Semanding terhadap perempuan dewasa mengundang keprihatinan berbagai pihak. Koalisi Perempuan Ronggolawe (KPR) Tuban mengatakan, penanganan kasus pemerkosaan yang melibatkan anak di bawah umur berinisial DNP tersebut mempertaruhkan gelar Kota Layak Anak (KLA) yang disandang Pemkab Tuban sejak 23 Juli atau sekitar dua bulan. ‘’Jangan salahkan jika masyarakat beranggapan kegiatan-kegiatan KLA hanya seremonial,’’ kata Direktur KPR Tuban Nunuk Fauziah mempertanyakan status KLA yang disandang Bumi Wali.
Dikatakan dia, pasca penghargaan yang diberikan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Keme P3A) kepada Pemkab Tuban, kasus yang melibatkan anak terus terjadi. Mulai pembuangan bayi, bunuh diri oleh pelajar SMA, hingga kasus terbaru pemerkosaan yang melibatkan pelajar SD.
Menurut Nunuk, butuh action nyata untuk mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Salah satunya, memiliki program kerja tahunan dan anggaran yang masuk akal. Kemudian dalam pelaksanaannya harus mempunyai target dan tolok ukur agar masyarakat bisa menilai keberhasilan dari program tersebut. ‘’Ada 24 indikator KLA, ini yang perlu didiskusikan agar capaiannya jelas (tidak hanya sekadar menyandang gelar KLA),’’ tegas dia.
Dalam kasus pemerkosaan yang melibatkan anak di bawah umur, kata Nunuk, seharusnya pemkab mempunyai langkah taktis dalam membantu penanganan. Baik korban maupun pelaku. Jika pemkab tidak melakukan apa pun terhadap rentetan kasus tersebut, tentu status KLA yang sudah disandang Bumi Wali patut dipertanyakan. ‘’Kami akan mengupayakan anak tersebut (pelaku) tidak masuk tahanan dan memperoleh bimbingan sesuai kebutuhan,’’ kata Nunuk yang mengaku siap action.
Ditegaskan aktivis wanita ini, dalam undang-undang perlindungan anak dinyatakan tidak ada anak yang nakal. Menimbang kasus tersebut, kata Nunuk, sebenarnya sang pelaku adalah korban ketidakberdayaan dalam menghadapi dampak negatif globalisasi dan teknologi. Dia juga korban salah asuh orang tua yang seharusnya berperan penting menjaga anaknya. ‘’Anak ini juga korban dari sistem daerah yang belum memiliki perspektif kebutuhan dan tumbuh kembang anak,’’ beber dia.
Karena itu, sebelum korban lain berjatuhan, KPR berharap pemkab beserta institusi terkait segera melakukan tindakan nyata. Baik dari segi pencegahan maupun tindakan. Terlebih, status KLA yang disandang saat ini bukanlah gelar sembarangan. Hanya sejumlah kabupaten/kota tertentu yang dinilai sanggup melindungi warganya yang berusia di bawah umur. ‘’Dinas tertentu jangan hanya berharap, harus ada upaya riil pada kebijakan yang responsif terhadap kebutuhan terbaik bagi anak,’’ ungkapnya.
Kabid Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Tuban Menik Musyahadah mengatakan, begitu kasus tersebut dilimpahkan ke satreskrim, dirinya sudah melakukan pendampingan hukum. Dia juga berkomitmen memberi bantuan hukum hingga kasus tersebut selesai sekaligus memfasilitasi terapi psikologis pelaku. ‘’Sudah dilakukan pendampingan sejak kasus itu di polres, sementara anaknya kami amankan untuk dilindungi’’ ujar Menik.
Institusinya, kata Menik, juga sepakat dengan keputusan dinas pendidikan setempat yang memerintahkan DNP agar tetap bersekolah. Terlebih, anak tersebut merupakan siswa kelas VI yang sebentar lagi menghadapi ujian nasional (unas).
Dia menegaskan, drop out (DO) bukanlah solusi untuk menyelesaikan masalah. ‘’Begitu ada kasus ini, anak (pelaku) terus mendapat ancaman. Sampai mau dikeroyok keluarga korban,’’ ungkap mantan salah satu kabid di Dinkes Tuban itu.
Agar anak mendapat rasa aman, kata Menik, institusinya berupaya agar korban dan pelaku bisa berdamai. Namun, karena orang tua korban bersikukuh, kasus tersebut akhirnya bergulir ke penyidik polisi.‘’Anak masih perlu tumbuh dan berkembang, akan kami dampingi sampai selesai,’’ kata Menik ketika ditanya terkait tanggung jawab status KLA yang disandang Kabupaten Tuban.