31.6 C
Bojonegoro
Sunday, June 4, 2023

Biar Wanita Hamil dan si Sakit Tak Ditandu Sarung

- Advertisement -

CERITA kelam terisolirnya Dusun Bunten, Desa Tondomulo, Kecamatan Kedungadem, Kabupaten Bojonegoro, Jatim tinggal kenangan. Kampung di pedalaman ini sekarang terbuka dengan dunia luar setelah TNI melalui program TNI Manunggal Membangun Desa (TMMD) ke-105 TA 2019 mengerahkan seluruh kemampuan dan potensinya untuk melepas dusun di lereng pegunungan Kendeng ini dari keterkungkungan.

Sesaat setelah jari-jari bucket ekskavator melongsorkan tebing terakhir di ujung gerbang masuk Dusun Bunten, mobil Fortuner berpelat militer 113-V mengiring masuk jalan kampung di tengah hutan tersebut.

Tubir paling ujung tersebut merupakan gugusan tebing terakhir yang dikepras.

Setelah akses jalan dibuka, mobil dinas Dandim 0813 Bojonegoro Letkol Arh Redinal Dewanto ini tercatat sebagai mobil pertama yang menginjak jalan perkampungan terpencil tersebut. ”Hore…. ono mobil mlebu (masuk, Red),” teriak spontan sejumlah warga menyambut momen bersejarah pada pra-TNI Manunggal Membangun Desa (TMMD) ke-105 TA 2019 tersebut pada Rabu (3/7) sekitar pukul 11.40 WIB.

Tak hanya mengepras tebing untuk memperlebar jalan, alat berat juga menguruk sejumlah sisi jurang yang bersebelahan dengan jalan. Begitu juga jalan yang melintasi hutan dan tegalan. Seluruhnya dilebarkan.

- Advertisement -

Sebuah jembatan kayu darurat yang melintasi Kali Mati dibongkar. Di bekas reruntuhan inilah dibangun jembatan permanen.

Akses menuju dusun yang berjarak sekitar 6 km dari pusat pemerintahan desa tersebut selama ini hanya berupa jalan setapak. Lebarnya tak lebih dari satu meter. Hanya pejalan kaki, penggembala, dan motor yang melintasinya.

Sabtu (20/7), Jawa Pos Radar Bojonegoro menembus dusun ini dengan motor trail. Pemandunya, Pasiter Kodim 0813 Bojonegoro Kapten Inf Musriyono dan staf teritorial Sertu Trisno Wibowo juga mengendarai motor jenis yang sama. Meski akses jalan sudah dibuka, medan menuju Bunten masih cukup berat. Untuk mencapai dusun ini, wartawan koran ini mencatat harus melintasi 14 tanjakan dan turunan di kawasan hutan dan pegunungan. Sebagian besar jalannya tanah liat. Selebihnya berbatu cadas.

Pada musim kemarau, melintasi jalan tanah tersebut tak ubahnya menembus kabut. Roda yang menjejak jalan menerbangkan tanah kering nan halus.

Sepanjang musim penghujan, jalan bertanah liat tersebut berubah menjadi kubangan. Lumer dan licin. Bunten merupakan salah satu wilayah terluar Bojonegoro. Posisinya di tenggara Kota Jati ini. Timur dusun ini, Desa Pojok, Kecamatan Kabuh, Kabupaten Jombang. Baratnya, Desa Ngepung, Kecamatan Lengkong, Nganjuk dan utara Desa/Kecamatan Sukorame. Sementara Selatan merupakan gugusan pegunungan Kendeng yang membujur dari timur ke barat.

Setelah TNI mengerahkan seluruh potensinya bersama lintas sektoral, tanda-tanda bergeliatnya kampung yang dihuni 97 kepala keluarga (KK) ini mulai terlihat. Diharapkan setelah akses jalan menuju Bunten dibuka, berbagai problem sosial, mulai kemiskinan, kekeringan, hingga minimnya sarana prasarana bisa dientas. Itulah misi utama TMMD 105 TA 2010 selama sebulan (10 Juli- 8 Agustus).

Jamin, kepala dusun (kasun) setempat menuturkan, karena terisolir dan sulit dijangkau, Bunten jauh dari hiruk-pikuk pembangunan. Masyarakatnya terbelakang karena sarat dengan keterbatasan. Diungkapkan dia, wanita hamil di Bunten harus turun gunung sekitar dua minggu sebelum persalinan.

Karena tak bisa dilalui mobil, untuk keluar Bunten, mereka harus ditandu dengan sarung. Setelah berada di desa maupun kota kecamatan, wanita hamil tinggal di rumah kerabatnya. Itu untuk memudahkan mereka menuju akses tempat pelayanan kesehatan terdekat jika sewaktu-waktu melahirkan. Perlakuan yang sama berlaku untuk warga yang sakit.

Sebenarnya, sejak 2011, di dusun ini bertugas seorang bidan desa bernama Lusi Nasrulah. Lagi-lagi, karena sulitnya membawa pasien keluar dusun dan terbatasnya peralatan medis menjadikan tenaga kesehatan ini kerap merekomendasikan persalinan di luar Bunten.

Terisolirnya Bunten memaksa sebagian besar anak di kampung ini cukup puas menempuh pendidikan di SDN Tondomulo 3, satu-satunya lembaga pendidikan yang berdiri di dusun ini sejak 1984. Baru 2012, sekitar lima anak di dusun ini yang lulus SMP. Sementara lulusan SMA baru tahun ini. Itu pun jumlahnya hanya lima anak. Ya, untuk bisa bersekolah tingkat atas, anak-anak di kampung ini harus berjuang ekstra.

Diceritakan M. Ikrom, salah satu dari tiga guru PNS SDN Tondomulo 3, selama musim penghujan, anak-anak harus berjalan kaki menuju Putuk Mojo sebelum matahari terbit. Putuk Mojo adalah salah satu punggung bukit yang berjarak sekitar 3km dari Bunten. Jalan setapak menuju bukit ini paling susah dilewati. Selain jalannya lumer, medannya juga cukup ekstrem.

Sesampai di Putuk Mojo, anak-anak melanjutkan perjalanan dengan motornya yang ditempatkan di bawah sebuah gubuk beratap terpal di tepi jalan. Kalau pulang terlalu larut, orang tuanya menjemput di punggung bukit ini. ”Dalam kondisi gelap, mereka berjalan kaki menggunakan oncor (obor),” kata pendidik 30 tahun ini.

Hal yang sama juga dilakukan Ikrom dan teman satu sekolahnya. Karena harus melalui ”jalur neraka”, selama musim penghujan, mereka selalu mengenakan seragam olahraga plus bersepatu boot.

Dengan kondisi tersebut, diakuinya, motivasi anak didiknya untuk melanjutkan pendidikan terbentur dengan minimnya akses transportasi. Agar anak-anak lulusan SD di Bunten tetap bisa melanjutkan sekolah, Kepala Desa Tondomulo Yanto mengungkapkan, selama 1995-2000, SMP PGRI Kedungadem membuka kelas jauh di dusun tersebut. Ruang kelasnya menempati rumah kasun setempat dan sekali waktu di gedung SDN Tondomulo 3. Menyadari sulitnya dusun dijangkau, kegiatan belajar mengajar (KBM) hanya 3-5 kali sepekan. Jumlah siswanya pun hanya tujuh anak.

Karena beratnya medan menuju Bunten, kelas jauh tersebut berakhir pada tahun keenam (2001). Siswa yang masih ingin melanjutkan pendidikan diminta mengalah turun gunung.

Biar tidak terlalu jauh, tempat KBM menempati rumah kepala sekolah Suci Handayani di Tondomulo. ”Karena beratnya akses menuju dan keluar Bunten, kelas jauh tersebut tak berumur lama,” ujar dia.  

Terisolirnya Bunten menjadikan hasil pertanian di dusun yang berjarak sekitar 40 km dari pusat kota kabupaten ini tak pernah dijual setelah panen. Sebagian besar petani, kata Karmi, kader posyandu setempat, menimbun hasil panennya hingga menunggu kemarau. ”Mana bisa diangkut, sepanjang musim penghujan, jalan setapak itu lumer seperti kubangan,” ujar perempuan lulusan kejar paket C ini. Begitu beratnya melalui jalan setapak di Bunten kala penghujan, hanya motor yang sudah dimodifikasi gir dan skoknya yang bisa menaklukkan.

Kemarau pun, biaya transportasi di Bunten cukup mahal. Ojek motor untuk melangsir barang, termasuk hasil pertanian Rp 100 ribu per kwintal. Itu pun hanya sampai Dusun Kedunglele, kampung terdekat yang berjarak sekitar 4km. Mahalnya biaya angkut menjadikan hasil pertanian di kampung ini tak mampu meningkatkan ekonomi masyarakatnya yang sebagian besar petani lahan persil atau penggarap lahan hutan. Begitu juga untuk mengangkut barang kebutuhan lain.

Mahalnya biaya angkut tersebut tak sebanding dengan nilai hasil pertanian. Sebagian besar lahan pertanian tadah hujan di lereng pegunungan kapur ini kontur tanahnya miring. Hasil pertaniannya didominasi jagung dan ketela pohon. Dan, hanya sebagian kecil padi.

Kondisi ini menjadikan sebagian masyarakatnya bergantung pada sumber daya alam yang ada. Makanan pokoknya nasi jagung dan tiwul. Sayur dan sebagian bumbunya dari tanaman di ladang dan hutan. Lauknya hasil buruan, mulai beragam jenis burung hingga kijang. ”Seminggu, kita belum tentu ketemu tempe. Ke pasar saja dua pekan sekali,” ujar Karmi.

Terbelakangnya Bunten diperparah dengan belum mengalirnya listrik ke dusun ini. Untuk penerangan, setrum sebagian rumah warga menyalur dari Kedunglele. ”Satu boks meter, rata-rata dipakai 5-10 rumah,” tutur Karmi. Penghuni rumah-rumah inilah yang urunan membayar rekening listrik dan membeli kabel.

Sejak 2017, jumlah rumah yang nebeng sambungan listrik berkurang. Itu seiring diterimanya bantuan panel listrik tenaga surya dari pemkab setempat. Kini, total rumah dengan penerangan tenaga matahari berjumlah 81 unit. Itu pun terbatas hanya untuk tiga unit bola lampu 5 Watt plus menyalakan televisi 14inc selama tiga jam.

Terpencilnya Bunten juga menjadikan rendahnya kesadaran masyarakatnya terkait sanitasi. Diungkapkan ibu dua anak itu, di Bunten hanya empat rumah yang memiliki jamban. Sementara rumah-rumah lain membuat lubang di pekarangan rumah untuk buang air besar.

Tak hanya terbelakang. Pengetahuan dan kesadaran agama masyarakat Bunten juga sangat rendah. Dikatakan Karmi, Masjid Miftahul Mahfiroh di dusun ini baru dibangun sekitar setahun terakhir. Peresmiannya September 2018. Setelah memiliki masjid, salat Jumat pun baru dijalankan di kampung ini. ”Jamaahnya hanya sekitar 30-35 orang,” tutur dia.

Karena membuka akses ke Bunten cukup mahal, bupati Bojonegoro Suyoto (2009-2019) berkali-kali menawarkan bedol deso atau pemindahan seluruh warga setempat ke kampung Sumengko, dusun di luar kawasan hutan. ”Warga tak pernah mau dengan tawaran itu,” kata Anas Iswanto, kaur pemerintahan desa setempat.

Yanto mengatakan, kalau seluruh dana desa (DD) sebesar Rp 800 juta plus alokasi dana desa (ADD) Rp 500 juta yang diterima desanya per tahun dikerahkan untuk membuka akses Bunten, minimal dibutuhkan waktu sepuluh tahun. ”Itu pun dengan konsekwensi pembangunan di dusun lain berhenti total,” ujar kepala desa setempat mengapresiasi program TMMD yang mampu membuka akses Bunten hanya dalam hitungan bulan.

Dandim 0813 Bojonegoro Letkol Arh Redinal Dewanto menerangkan, TMMD yang menurunkan 150 personel TNI merupakan wujud kemanunggalan TNI dan rakyat. Melalui bakti operasi bakti TNI di Tondomulo, dia berharap meningkatkan daya saing masyarakat setempat yang tertinggal dari daerah lain. ”Melalui kegiatan ini, kami berharap nilai dan budaya gotong-royong di negeri ini yang mulai luntur kembali lestari,” ujar dansatgas TMMD 105 di Bojonegoro ini. Terlebih, percepatan pembangunan di Tondomulo melibatkan lintas sektoral. Bidang garapannya, normalisasi jalan poros desa 4.000 meter, pembuatan jembatan, gorong-gorong, drainase, normalisasi anak sungai, rehap rumah tidak layak huni, pembuatan MCK umum, rehap ruang kelas, pembuatan saluran air bersih, dan pavingisasi jalan lingkungan. Sementara kegiatan nonfisik, pembinaan, pelatihan, penyuluhan dari instansi pemerintah terkait dengan peningkatan kesejahteraan ekonomi.

CERITA kelam terisolirnya Dusun Bunten, Desa Tondomulo, Kecamatan Kedungadem, Kabupaten Bojonegoro, Jatim tinggal kenangan. Kampung di pedalaman ini sekarang terbuka dengan dunia luar setelah TNI melalui program TNI Manunggal Membangun Desa (TMMD) ke-105 TA 2019 mengerahkan seluruh kemampuan dan potensinya untuk melepas dusun di lereng pegunungan Kendeng ini dari keterkungkungan.

Sesaat setelah jari-jari bucket ekskavator melongsorkan tebing terakhir di ujung gerbang masuk Dusun Bunten, mobil Fortuner berpelat militer 113-V mengiring masuk jalan kampung di tengah hutan tersebut.

Tubir paling ujung tersebut merupakan gugusan tebing terakhir yang dikepras.

Setelah akses jalan dibuka, mobil dinas Dandim 0813 Bojonegoro Letkol Arh Redinal Dewanto ini tercatat sebagai mobil pertama yang menginjak jalan perkampungan terpencil tersebut. ”Hore…. ono mobil mlebu (masuk, Red),” teriak spontan sejumlah warga menyambut momen bersejarah pada pra-TNI Manunggal Membangun Desa (TMMD) ke-105 TA 2019 tersebut pada Rabu (3/7) sekitar pukul 11.40 WIB.

Tak hanya mengepras tebing untuk memperlebar jalan, alat berat juga menguruk sejumlah sisi jurang yang bersebelahan dengan jalan. Begitu juga jalan yang melintasi hutan dan tegalan. Seluruhnya dilebarkan.

- Advertisement -

Sebuah jembatan kayu darurat yang melintasi Kali Mati dibongkar. Di bekas reruntuhan inilah dibangun jembatan permanen.

Akses menuju dusun yang berjarak sekitar 6 km dari pusat pemerintahan desa tersebut selama ini hanya berupa jalan setapak. Lebarnya tak lebih dari satu meter. Hanya pejalan kaki, penggembala, dan motor yang melintasinya.

Sabtu (20/7), Jawa Pos Radar Bojonegoro menembus dusun ini dengan motor trail. Pemandunya, Pasiter Kodim 0813 Bojonegoro Kapten Inf Musriyono dan staf teritorial Sertu Trisno Wibowo juga mengendarai motor jenis yang sama. Meski akses jalan sudah dibuka, medan menuju Bunten masih cukup berat. Untuk mencapai dusun ini, wartawan koran ini mencatat harus melintasi 14 tanjakan dan turunan di kawasan hutan dan pegunungan. Sebagian besar jalannya tanah liat. Selebihnya berbatu cadas.

Pada musim kemarau, melintasi jalan tanah tersebut tak ubahnya menembus kabut. Roda yang menjejak jalan menerbangkan tanah kering nan halus.

Sepanjang musim penghujan, jalan bertanah liat tersebut berubah menjadi kubangan. Lumer dan licin. Bunten merupakan salah satu wilayah terluar Bojonegoro. Posisinya di tenggara Kota Jati ini. Timur dusun ini, Desa Pojok, Kecamatan Kabuh, Kabupaten Jombang. Baratnya, Desa Ngepung, Kecamatan Lengkong, Nganjuk dan utara Desa/Kecamatan Sukorame. Sementara Selatan merupakan gugusan pegunungan Kendeng yang membujur dari timur ke barat.

Setelah TNI mengerahkan seluruh potensinya bersama lintas sektoral, tanda-tanda bergeliatnya kampung yang dihuni 97 kepala keluarga (KK) ini mulai terlihat. Diharapkan setelah akses jalan menuju Bunten dibuka, berbagai problem sosial, mulai kemiskinan, kekeringan, hingga minimnya sarana prasarana bisa dientas. Itulah misi utama TMMD 105 TA 2010 selama sebulan (10 Juli- 8 Agustus).

Jamin, kepala dusun (kasun) setempat menuturkan, karena terisolir dan sulit dijangkau, Bunten jauh dari hiruk-pikuk pembangunan. Masyarakatnya terbelakang karena sarat dengan keterbatasan. Diungkapkan dia, wanita hamil di Bunten harus turun gunung sekitar dua minggu sebelum persalinan.

Karena tak bisa dilalui mobil, untuk keluar Bunten, mereka harus ditandu dengan sarung. Setelah berada di desa maupun kota kecamatan, wanita hamil tinggal di rumah kerabatnya. Itu untuk memudahkan mereka menuju akses tempat pelayanan kesehatan terdekat jika sewaktu-waktu melahirkan. Perlakuan yang sama berlaku untuk warga yang sakit.

Sebenarnya, sejak 2011, di dusun ini bertugas seorang bidan desa bernama Lusi Nasrulah. Lagi-lagi, karena sulitnya membawa pasien keluar dusun dan terbatasnya peralatan medis menjadikan tenaga kesehatan ini kerap merekomendasikan persalinan di luar Bunten.

Terisolirnya Bunten memaksa sebagian besar anak di kampung ini cukup puas menempuh pendidikan di SDN Tondomulo 3, satu-satunya lembaga pendidikan yang berdiri di dusun ini sejak 1984. Baru 2012, sekitar lima anak di dusun ini yang lulus SMP. Sementara lulusan SMA baru tahun ini. Itu pun jumlahnya hanya lima anak. Ya, untuk bisa bersekolah tingkat atas, anak-anak di kampung ini harus berjuang ekstra.

Diceritakan M. Ikrom, salah satu dari tiga guru PNS SDN Tondomulo 3, selama musim penghujan, anak-anak harus berjalan kaki menuju Putuk Mojo sebelum matahari terbit. Putuk Mojo adalah salah satu punggung bukit yang berjarak sekitar 3km dari Bunten. Jalan setapak menuju bukit ini paling susah dilewati. Selain jalannya lumer, medannya juga cukup ekstrem.

Sesampai di Putuk Mojo, anak-anak melanjutkan perjalanan dengan motornya yang ditempatkan di bawah sebuah gubuk beratap terpal di tepi jalan. Kalau pulang terlalu larut, orang tuanya menjemput di punggung bukit ini. ”Dalam kondisi gelap, mereka berjalan kaki menggunakan oncor (obor),” kata pendidik 30 tahun ini.

Hal yang sama juga dilakukan Ikrom dan teman satu sekolahnya. Karena harus melalui ”jalur neraka”, selama musim penghujan, mereka selalu mengenakan seragam olahraga plus bersepatu boot.

Dengan kondisi tersebut, diakuinya, motivasi anak didiknya untuk melanjutkan pendidikan terbentur dengan minimnya akses transportasi. Agar anak-anak lulusan SD di Bunten tetap bisa melanjutkan sekolah, Kepala Desa Tondomulo Yanto mengungkapkan, selama 1995-2000, SMP PGRI Kedungadem membuka kelas jauh di dusun tersebut. Ruang kelasnya menempati rumah kasun setempat dan sekali waktu di gedung SDN Tondomulo 3. Menyadari sulitnya dusun dijangkau, kegiatan belajar mengajar (KBM) hanya 3-5 kali sepekan. Jumlah siswanya pun hanya tujuh anak.

Karena beratnya medan menuju Bunten, kelas jauh tersebut berakhir pada tahun keenam (2001). Siswa yang masih ingin melanjutkan pendidikan diminta mengalah turun gunung.

Biar tidak terlalu jauh, tempat KBM menempati rumah kepala sekolah Suci Handayani di Tondomulo. ”Karena beratnya akses menuju dan keluar Bunten, kelas jauh tersebut tak berumur lama,” ujar dia.  

Terisolirnya Bunten menjadikan hasil pertanian di dusun yang berjarak sekitar 40 km dari pusat kota kabupaten ini tak pernah dijual setelah panen. Sebagian besar petani, kata Karmi, kader posyandu setempat, menimbun hasil panennya hingga menunggu kemarau. ”Mana bisa diangkut, sepanjang musim penghujan, jalan setapak itu lumer seperti kubangan,” ujar perempuan lulusan kejar paket C ini. Begitu beratnya melalui jalan setapak di Bunten kala penghujan, hanya motor yang sudah dimodifikasi gir dan skoknya yang bisa menaklukkan.

Kemarau pun, biaya transportasi di Bunten cukup mahal. Ojek motor untuk melangsir barang, termasuk hasil pertanian Rp 100 ribu per kwintal. Itu pun hanya sampai Dusun Kedunglele, kampung terdekat yang berjarak sekitar 4km. Mahalnya biaya angkut menjadikan hasil pertanian di kampung ini tak mampu meningkatkan ekonomi masyarakatnya yang sebagian besar petani lahan persil atau penggarap lahan hutan. Begitu juga untuk mengangkut barang kebutuhan lain.

Mahalnya biaya angkut tersebut tak sebanding dengan nilai hasil pertanian. Sebagian besar lahan pertanian tadah hujan di lereng pegunungan kapur ini kontur tanahnya miring. Hasil pertaniannya didominasi jagung dan ketela pohon. Dan, hanya sebagian kecil padi.

Kondisi ini menjadikan sebagian masyarakatnya bergantung pada sumber daya alam yang ada. Makanan pokoknya nasi jagung dan tiwul. Sayur dan sebagian bumbunya dari tanaman di ladang dan hutan. Lauknya hasil buruan, mulai beragam jenis burung hingga kijang. ”Seminggu, kita belum tentu ketemu tempe. Ke pasar saja dua pekan sekali,” ujar Karmi.

Terbelakangnya Bunten diperparah dengan belum mengalirnya listrik ke dusun ini. Untuk penerangan, setrum sebagian rumah warga menyalur dari Kedunglele. ”Satu boks meter, rata-rata dipakai 5-10 rumah,” tutur Karmi. Penghuni rumah-rumah inilah yang urunan membayar rekening listrik dan membeli kabel.

Sejak 2017, jumlah rumah yang nebeng sambungan listrik berkurang. Itu seiring diterimanya bantuan panel listrik tenaga surya dari pemkab setempat. Kini, total rumah dengan penerangan tenaga matahari berjumlah 81 unit. Itu pun terbatas hanya untuk tiga unit bola lampu 5 Watt plus menyalakan televisi 14inc selama tiga jam.

Terpencilnya Bunten juga menjadikan rendahnya kesadaran masyarakatnya terkait sanitasi. Diungkapkan ibu dua anak itu, di Bunten hanya empat rumah yang memiliki jamban. Sementara rumah-rumah lain membuat lubang di pekarangan rumah untuk buang air besar.

Tak hanya terbelakang. Pengetahuan dan kesadaran agama masyarakat Bunten juga sangat rendah. Dikatakan Karmi, Masjid Miftahul Mahfiroh di dusun ini baru dibangun sekitar setahun terakhir. Peresmiannya September 2018. Setelah memiliki masjid, salat Jumat pun baru dijalankan di kampung ini. ”Jamaahnya hanya sekitar 30-35 orang,” tutur dia.

Karena membuka akses ke Bunten cukup mahal, bupati Bojonegoro Suyoto (2009-2019) berkali-kali menawarkan bedol deso atau pemindahan seluruh warga setempat ke kampung Sumengko, dusun di luar kawasan hutan. ”Warga tak pernah mau dengan tawaran itu,” kata Anas Iswanto, kaur pemerintahan desa setempat.

Yanto mengatakan, kalau seluruh dana desa (DD) sebesar Rp 800 juta plus alokasi dana desa (ADD) Rp 500 juta yang diterima desanya per tahun dikerahkan untuk membuka akses Bunten, minimal dibutuhkan waktu sepuluh tahun. ”Itu pun dengan konsekwensi pembangunan di dusun lain berhenti total,” ujar kepala desa setempat mengapresiasi program TMMD yang mampu membuka akses Bunten hanya dalam hitungan bulan.

Dandim 0813 Bojonegoro Letkol Arh Redinal Dewanto menerangkan, TMMD yang menurunkan 150 personel TNI merupakan wujud kemanunggalan TNI dan rakyat. Melalui bakti operasi bakti TNI di Tondomulo, dia berharap meningkatkan daya saing masyarakat setempat yang tertinggal dari daerah lain. ”Melalui kegiatan ini, kami berharap nilai dan budaya gotong-royong di negeri ini yang mulai luntur kembali lestari,” ujar dansatgas TMMD 105 di Bojonegoro ini. Terlebih, percepatan pembangunan di Tondomulo melibatkan lintas sektoral. Bidang garapannya, normalisasi jalan poros desa 4.000 meter, pembuatan jembatan, gorong-gorong, drainase, normalisasi anak sungai, rehap rumah tidak layak huni, pembuatan MCK umum, rehap ruang kelas, pembuatan saluran air bersih, dan pavingisasi jalan lingkungan. Sementara kegiatan nonfisik, pembinaan, pelatihan, penyuluhan dari instansi pemerintah terkait dengan peningkatan kesejahteraan ekonomi.

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru


/