Nelayan payang di Lamongan sudah ada sejak 1900. Nelayan tersebut yang ikut menyelamatkan korban tenggelamnya kapal van der wijck pada 1936.
——————————
B. FEBRIANTO, Lamongan
——————————
BEBERAPA hari terakhir ini dermaga Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Brondong cukup padat. Kapal – kapal nelayan ditambatkan di pelabuhan tersebut.
Sebagian nelayan tidak berani melaut akibat cuaca buruk di laut lepas.
Sebagian besar kapal – kapal itu milik para nelayan payang di Kelurahan Brondong dan Blimbing, serta Desa Kandangsemangkon.
Disebut nelayan payang karena alat tangkap ikannya bernama payang.
‘’Di seluruh Lamongan jumlah kapal nelayan payang sekitar 1.350 unit,’’ kata Ketua Rukun Nelayan (RN) Kandangsemangkon, Kecamatan Paciran, Agus Mulyono.
Satu kapal payang umumnya diperkuat 10 anak buah kapal (ABK). Sehingga ada sekitar 13.500 nelayan payang yang melaut dari wilayah setempat.
Berdasarkan cerita dan informasi yang diperoleh Agus Mulyono, alat tangkap payang ditemukan nelayan dari Kelurahan Blimbing bernama Sari Kastiman pada 1900.
‘’Alat tangkap payang ditemukan nelayan Lamongan dan saat ini sudah menyebar di seluruh Indonesia,’’ tuturnya.
Saat kali pertama dibuat, alat tangkap payang dibuat dari rumput gajah. Talinya dari ijuk kelapa.
Alat tangkap tersebut dengan cepat diminati nelayan karena hasil tangkapnya lebih banyak dan bisa dibawa dengan kapal hingga ke tengah laut.
Saat terjadi peristiwa tenggelamnya kapal van der wijck pada 1936 di tengah laut Jawa, nelayan payang yang banyak melakukan pertolongan.
Para penumpangnya diselamatkan ke daratan, yang sekarang berupa kawasan TPI lama di Pelabuhan Brondong.
‘’Saat ini lokasi tempat penyelamatan penumpang kapal van der wijck dibangun monumen peringatan,’’ cerita pria yang juga kepala Desa Kandangsemangkon tersebut.
Pria yang sejak kelas empat SD sudah biasa ikut melaut bapaknya itu menuturkan, nama payang berasal dari cara kerja alat tangkap itu.
Yakni nggrayangi (meraba-raba) atau nggogo (bahasa setempat) ikan di bawah permukaan laut.
Perkembangan selanjutnya, alat tangkap payang tidak lagi dibuat dari rumput gajah. Namun, dibuat dari pintalan kapas dan talinya bernama lawe.
Memasuki tahun 1970, payang berkembang lagi dengan dibuat dari benang serit.
‘’Hingga tahun itu kapal payang masih menggunakan layar dan menarik payangnya dengan tangan biasa,’’ jelas pria yang 19 tahun menjadi nakhoda kapal payang itu.
Modernisasi payang mulai 1980. Alat tersebut terbuat dari nilon dengan tali dari limbah tekstil.
‘’Kapal payang sudah memakai mesin dan menarik payang tidak lagi dengan tangan, tapi dengan mesin garden,’’ ujarnya.
Setelah itu, daya jangkau kapal payang semakin jauh. Tidak hanya di sekitar laut Jawa. Namun, hingga ke Masalembu bahkan Makassar.
Hasil tangkapannya juga semakin besar. ‘’Karena keunggulannya itu, payang kemudian diminati nelayan-nelayan berbagai daerah di seluruh Indonesia,’’ tuturnya.
Karena cukup unggul dalam menangkap ikan, harga payang juga cukup mahal. Untuk jaringnya saja Rp 10 juta hingga Rp 12 juta per unit.
Kalau ditambah dengan tambangnya, menjadi Rp 40 juta. ‘’Kalau lengkap dengan kapalnya yang berkapasitas 30 gt, harganya mencapai Rp 300 juta,’’ ujarnya.
Melihat begitu mahal harganya dan begitu besar hasil tangkapnya, tidak heran para nelayan payang sangat resah ketika keluar larangan payang dari Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastutik.
‘’Investasi nelayan yang mencapai ratusan juta rupiah tersebut harus ditinggalkan begitu saja.
Kemudian diminta membuat alat tangkap baru, tentu dengan biaya yang tidak sedikit. Sehingga nelayan payang sangat resah dengan adanya larangan itu.
Apalagi ditambah dengan tidak ada jaminan alat tangkap baru dari pemerintah hasilnya minimal sama, apalagi lebih besar dari payang,’’ jelasnya.