Radar Bojonegoro – Lahan pertanian wilayah perkotaan menyusut sekitar 2.302 hektare. Sesuai data di Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Bojonegoro pada 2019, luasan lahan pertanian di perkotaan 3.302 hektare, saat ini menyisakan 1.002 hektare.
Penyempitan lahan produktif itu karena alih fungsi lahan menjadi hunian properti, dan minimnya minat bertani di kawasan perkotaan. Kabid Sarana dan Prasarana DKPP Bojonegoro Zainal Fanani menjelaskan, menyusutnya lahan pertanian di wilayah perkotaan disebabkan alih fungsi lahan dan pemetaan wilayah yang terdapat dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW).
“Ada sawah-sawah yang memang bisa dialihfungsikan dan tidak bisa dialihfungsikan,” ujarnya kemarin (7/9) Zainal menerangkan, sedangkan tanah yang masuk dalam kawasan pertanian pangan berkelanjutan (KP2B) tidak bisa dialihfungsikan. Sebab, kawasan yang khusus diperuntukkan untuk produksi pangan yang dijaga dan dilindungi dari alih fungsi lahan.
Saat ini lahan KP2B sudah diintegrasikan dalam RTRW baru. “Untuk mencegak alih fungsi lahan,” tegasnya.
Dari data di DKPP Bojonegoro, penyusutan dimulai sejak 2019 dengan luasan lahan 3.302 hektare pada 2020 menjadi 1.002 hektare. Karena adanya alih fungsi lahan dari pertanian menjadi perumahan dan usaha properti.
Dekan Fakultas Pertanian Universitas Bojonegoro (Unigoro) Darsan menjelaskan, penyusutan lahan diakibatkan alih fungsi lahan pertanian menjadi properti dan pabrik industri. Fenomena tersebut menggambarkan saat ini minat bertani masyarakat di wilayah perkotaan sudah mulai tergerus.
“Menganggap aktivitas pertanian sebagai sampingan bukan pekerjaan utama,” katanya terpisah.
Menurut Darsan, penyusutan lahan bagus jika dilihat dari sisi bisnis perekonomian, barang yang diproduksi akan berkurang, sedangkan permintaan akan meningkat karena populasi penduduk terus meningkat.
Namun, jika suatu daerah mengalami penyusutan lahan pertanian secara terus menerus dan tidak lagi menjadi sentra pertanian biaya produksinya akan lebih tinggi. “Karena sarana produksi pertanian tidak lagi diminati oleh para pedagang, kemudian bergantung pada suplai dari daerah lain,” ungkapnya.
Darsan menjelaskan, penyusutan lahan dan minat bertani juga bisa diakibatkan oleh regulasi yang tidak berpihak kepada para petani. Penyu sunan RTRW pun nantinya juga berpengaruh pada keberlanjutan pangan suatu daerah.
Selain itu, kebijakan pusat dan daerah perlu ada kepaduan agar mengatasi masalah pertanian. “Nasionalismenya kurang, hanya mememntingkan perdagangan, jangka panjangnya bahaya jika tidak ada kemandirian pangan,” ujarnya. (luk)