FEATURES – Pengabdian pada tempat ibadah memang bisa dilakukan oleh siapa saja. Tapi, jarang orang yang benar-benar mau mengabdikan dirinya di tempat ibadah tersebut. Endang memutuskan dirinya untuk mengabdikan diri merawat kelenteng. Lampion sudah mulai dipasang di sekitar kompleks Kelenteng Hok Swie Bio.
Lampu dengan khas warna merah itu dipasang berjajar dan terlihat apik di bawah payungan terop. Tak hanya di bawah terop. Lampion pun juga dipasang di sekitaran bangunan utama kelenteng.
Pagi itu, kelenteng terlihat lenggang. Hanya ada seorang pria duduk di bagian barat kelenteng. Dia duduk sendiri tanpa ada seorang teman.
Tak lama, seorang perempuan datang. Dia tak begitu banyak tentang persiapan menjelang Imlek. Namun, perempuan itu menyarankan agar bertanya pada seorang perempuan yang menjadi biokong di kelenteng ini.
“Nanti orangnya ke sini. Ditunggu saja,” katanya. Tak lama, seorang perempuan paro baya dengan pakaian yang sangat sederhana melangkahkan kakinya menuju ke gerbang kelenteng.
Perempuan yang rambutnya pendek dan berkacamata itu berjalan gontai mendekati pintu gerbang. Dia masuk ke kelenteng dan melepas alas kakinya.
Perempuan itulah yang bernama Endang Yuliawati. Seorang perempuan enam puluh tahun yang sudah lama mengabdikan dirinya sebagai biokong. Biokong jika istilah di Indonesia adalah seorang juru kunci.
Jika di Jawa, juru kunci itu biasanya berada di makam sunan atau ada yang di masjid. Mereka bertugas sebagai perawat tempat tersebut hingga melayani umat yang akan memanjatkan doa di sana. Begitu juga dengan biokong.
Endang yang pagi itu mengenakan kaus merah bergaris putih tipis selalu terlihat bahagia. Senyumnya tak pernah ketinggalan. Setiap kali ada awak media datang untuk meliput kegiatan kelenteng.
Dia tak pernah absen. Bahkan, perempuan yang sehari-harinya berada di kelenteng itulah yang menjadi jujukan para wartawan jika akan bertanya agenda yang akan digelar kelenteng.
Endang awalnya enggan untuk bercerita tentang aktivitasnya. Namun, setelah berbagai pertimbangan dan penjelasan dari Jawa Pos Radar Bojonegoro akhirnya dirinya mau namun ada beberapa hal yang tidak mau diungkapkan tentang hal-hal pribadi.
“Saya sudah lama jadi biokong,” katanya membuka percakapan tentang dirinya. Sebab, sejak awal dia tidak ingin untuk menceritakan apa yang sejatinya dia lakukan di kelenteng selama bertahun-tahun itu.
Dia tidak begitu mengingat sejak kapan dirinya menjadi biokong di kelenteng tersebut. Sebab, dia adalah generasi keempat setelah buyutnya menjadi biokong di tempat ibadah itu. Kakeknya menjadi biokong sebelum masa kemerdekaan.
Sedangkan, bapaknya melakukan pekerjaan yang sama setelah masa kemerdekaan. “Menjadi biokong itu adalah panggilan,” kata dia.
Endang mengaku tidak ada yang memaksa untuk menjadi biokong. Sebab, itu datang dari dirinya sendiri dan memang sudah keturunan dari leluhurnya. Bahkan, kata dia, saat dirinya kecil sudah sering dilatih oleh kakeknya agar bisa merawat kelenteng.
Misalkan, saat kakeknya bepergian dia yang tinggal di Bojonegoro dia pun mulai melatih dirinya menjadi biokong. “Jadi sudah mulai kecil,” katanya.
Perempuan yang rambutnya mulai memutih itu bahkan mengistilahkan dia lahir pun sudah berada di kelenteng. Itu untuk menggambarkan jika kehidupannya tidak pernah terlepas dari rumah ibadah umat Tionghoa itu.
Tugas menjadi biokong adalah membersihkan kelenteng. Hingga melayani umat yang akan melakukan ibadah di kelenteng. Termasuk mempersiapkan segala hal untuk umat yang akan melakukan ibadah.
Apalagi, menjelang Imlek banyak aktivitas sembahyang yang akan digelar di kelenteng itu. Tak hanya melayani umat. Bahkan, dewa-dewa yang ada di dalam kelenteng pun ikut dirawat. Termasuk menyediakan teh secara khusus.
“Bukan sembarang teh. Ini teh yang baik,” tandasnya. Dia mengaku, menjadi biokong sudah dijalani seperti dirinya menjalani kehidupannya. Dengan begitu, Endang sangat menikmatinya.
Baginya, menjadi biokong sudah menjadi bagian dari hidupnya. Kelak dia meyakini yang dijalaninya akan membawa kebaikan di kemudian hari.