Tari Wak Tangsil lahir sebagai upaya pelestarian kesenian tradisional khas Bojonegoro, yakni seni sandur. Winarti selaku pencipta tari ini ingin sosok Wak Tangsil makin dekat dengan masyarakat. Berkarakter jenaka, nyentrik, dan bijaksana.
BHAGAS DANI PURWOKO, Radar Bojonegoro
Perkembangan seni budaya tradisional maupun kontemporer di Bojonegoro tidak pernah mati. Salah satunya perkembangan seni tari tradisional makin banyak jenisnya. Baru saja lahir Tari Wak Tangsil yang mana tarian ini berlatar belakang kesenian tradisional sandur.
Tarian tersebut mengangkat salah satu tokoh anak wayang sandur yang bernama Wak Tangsil. Jawa Pos Radar Bojonegoro pun berkesempatan bertemu dengan pencipta Tari Wak Tangsil di Sanggar Sayap Jendela kemarin sore (3/6). Penciptanya ialah Winarti juga merupakan Ketua Bidang Seni Tari Sanggar Sayap Jendela di Kelurahan Ledok Kulon.
Saat itu, di sanggar sedang tidak ada kegiatan. Winarti pun sedang bersantai bersama anaknya. Motivasi Winarti membuat Tari Wak Tangsil ketika ada momen Parade Tari Bojonegoro digelar oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Bojonegoro pada Desember 2020. Syarat parade ialah menampilkan tarian baru, bukan tarian sudah populer.
Sehingga, ibu dua anak itu pun muncul ide mengembangkan seni sandur menjadi seni tari. “Setidaknya kesenian sandur ini tetap lestari, sehingga pengembangannya menjadi seni dalam bentuk tari,” ucap perempuan kelahiran 1977 itu.
Adapun sosok Wak Tangsil dalam pertunjukkan sandur memiliki watak jenaka, nyentrik, namun bijaksana. Sehingga gerakan Tari Wak Tangsil setidaknya mewakili watak melekat pada karakter tersebut. Selain gerakan khas wak tangsil saat sandur, latar musik yang digunakan juga menyadur dari sandur. “Pengembangan Tari Wak Tangsil ini memang tetap merujuk Sandur. Jadi gerakan serta latar musik yang digunakan sesuai dengan adegan Wak Tangsil saat main Sandur,” jelasnya.
Proses kreatif Tari Wak Tangsil butuh waktu sekitar tiga minggu. Sayangnya, Winarti kesulitan mencari penari pria. Karena karakter Wak Tangsil di Sandur diperankan oleh pria. Tetapi daripada tidak terealisasi, Winarti memutuskan memakai penari perempuan dirias layaknya Wak Tangsil. Sehingga, para penari perempuan itu harus mampu memainkan gerak tegas pria ala Wak Tangsil.
Winarti terus berkonsultasi dengan seniman lokal turut melestarikan Sandur yaitu Djagat Pramudjito. Karena Tari Wak Tangsil tidak menghilangkan pakem-pakem sudah ada di dalam Sandur. Setelah pentas di Parade Tari Bojonegoro, Tari Wak Tangsil kembali dipentaskan di acara Bamboo Festival di Desa Beged, Kecamatan Gayam.
Kemudian, pentas di acara Hari Kartini yang digelar komunitas Sang Rupa. “Terakhir kali pentas di acara tahunannya Sanggar Rengganis di Kecamatan Rengel, Kabupaten Tuban,” bebernya.
Perlu diketahui, Tari Wak Tangsil dibuka dengan lima orang penari seolah disusupi oleh Dewi Gagar Mayang yang mana merupakan penggambaran Dewi yang sederhana dan berwujud manusia biasa. Menyusup ke dalam karakter Wak Tangsil. “Gerakan-gerakan lima penari menunjukkan karakter Wak Tangsil yang paling identik di antara anak wayang lainnya, seperti Pethak, Balong, dan Cawik dalam pertunjukkan Sandur,” kata guru seni budaya di SMKN 1 Bojonegoro dan guru ekstrakurikuler seni tari di SD Katolik Bojonegoro itu.
Menurutnya, sosok serta karakter Wak Tangsil sangat kuat. Besar harapannya karakter Wak Tangsil dikenal luas dan diminati masyarakat. Karena rencananya, Sanggar Sayap Jendela menjadi Wak Tangsil sebagai produk ekonomi kreatif. Jadi, bisa menjual boneka Wak Tangsil atau menjual topi Wak Tangsil sebagai suvenir. Agenda selanjutnya, Sanggar Sayap Jendela ingin mementaskan Tari Wak Tangsil secara kolosal. Sehingga Tari Wak Tangsil bisa semakin populer.