23.3 C
Bojonegoro
Saturday, June 3, 2023

Inkonsisten

- Advertisement -

INKONSISTEN adalah keniscayaan. Apalagi dalam politik. Sangat dinamis. Isuk tempe, sore bisa dele adalah hal yang biasa. Oleh karena itu, inkonsisten dalam politik jangan dilawan. Percuma. Selain menyiksa diri sendiri, orang yang seperti ini biasanya sulit berkembang.
Sialnya, kita sering terbawa perasaan (baper) soal inkonsisten dalam politik. Utamanya bagi politikus newbie.
Ganti bupati misalnya. Hal yang wajar ketika ganti bupati ganti kebijakan. Ganti kepala daerah, ganti tagline. Dan ganti pimpinan, ganti kesukaan. Apa yang salah? Itu bagian dari perubahan.
Bayangkan kalau dunia ini tanpa inkonsisten. Atau minimal, bayangkan dirimu sendiri yang tidak ingin berubah, seperti halnya rumus matematika. Saat yang lain satu tambah satu sudah empat, bahkan lima, Anda satu tambah satu masih Jomblo. Heheu… Sedih bukan. Itulah pentingnya inkonsisten.
Melalui catatan yang sangat singkat sejak dalam pikiran ini, saya ingin memberikan gambaran soal inkonsisten dalam politik kepada Anda. Sehingga menjadi generasi yang tidak baperan.
Baru-baru ini, seiring dengan bergantinya bupati yang sudah berjalan kurang lebih enam bulan. Sejumlah inkonsisten mulai tampak di permukaan. Mulai dari pilihan warna cat, tagline, hingga pengambilan kebijakan.
Mengutip filsuf Yunani Heraclitos, mengatakan bahwa satu-satunya yang tidak akan berubah di dunia ini adalah perubahan itu sendiri. Artinya, semua yang ada di planet ini akan berubah. Jangankan soal politik yang urusannya hanya soal kawan, lawan, dan warna. Yang tinggal menuju pelaminan dan menikmati malam pertama, pun bisa gagal.
Untuk itu, anggap saja perubahan dalam setiap rezim adalah hal biasa dan bisa dilakukan oleh siapa saja. Termasuk kalian-kalian yang sekarang lagi baper dengan cat balai desa, kantor kecamatan dan OPD (organisasi perangkat daerah) yang didominasi warna kuning mirip warna Golkar, setelah sepuluh tahun lamanya kalian nyaman dengan warna hijau mirip warna PKB. Mirip lho ya…
Setelah warna cat di ruang publik. Belakang ini juga menghangat soal tagline Kota Tuban Bumi Wali. Mungkinkan tagline Bumi Wali yang selama sepuluh tahun terakhir melekat pada jiwa dan jati diri Kabupaten Tuban ini akan berubah. Jawabannya, mungkin. Sekali lagi saya ingatkan, ini adalah bagian dari ruang inkonsisten yang diberikan negara.
Yang harus kalian tahu, bahwa negara memberikan ruang inkonsisten dalam menjalankan pemerintahan minimal lima tahun dan maksimal sepuluh tahun atau dua periode. Bisa lebih kalau yang jadi kepala daerah lagi, adalah suaminya/istrinya, anaknya, menantunya, saudaranya, keponakannya, dan misanannya. Karenanya, jangan baper, wong negara saja memberikan medium inkonsisten.
Dalam konteks personal, baper karena benci ini sangat berbahaya. Analoginya seperti ini: Misalnya, dalam sebuah organisasi, Anda benci dengan teman Anda yang beda pilihan politik. Anda tim kampanye dari calon A, sedangkan teman Anda tim kampanye dari calon B. Karena Anda kalah, sehingga Anda benci sekali dengan teman Anda tadi. Lalu, dalam sebuah rapat organisasi, teman Anda tadi mengusulkan sebuah ide dan gagasan yang cukup brilian untuk kemajuan organisasi. Pertanyaannya, mungkinkan Anda yang sejak awal tidak suka dengan teman Anda tadi setuju dengan ide dan gagasannya. Alih-alih setuju, Anda pasti masih berpikir tentang keburukan teman Anda. Sebab, sejak awal Anda sudah baper soal kalah pilihan politik. Sehingga, sebagus apapun ide dan gagasannya, dalam hati Anda pasti tidak sepakat.
Bagaiman dengan politik? Sama. Bagi yang baper karena kalah dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) pasti selalu mencari celah kekurangan kepala daerah. Sialnya, tidak semua kritik yang dialamtkan kepada kepala daerah memiliki subtansi dan urgensi sebagai kepentingan bersama. Sebaliknya, setiap apa yang dilakukan pemerintah selalu dianggap salah.
Jika sudah demikian, maka sebagus apapun kebijakan yang dijalankan pasti dipersoalkan. Dan, ini tidak fair, karena yang sebelumnya juga berubah dari yang sebelumnya, pun yang sebelumnya lagi, berubah dari yang sebelum-sebelumnya. Sebab, inkonsisten adalah keniscayaan. Jangan melawan kalau masih baperan. Apalagi, tidak memiliki urgensi terhadap kepentingan rakyat.

*) Wartawan Di Jawa Pos Radar Bojonegoro

INKONSISTEN adalah keniscayaan. Apalagi dalam politik. Sangat dinamis. Isuk tempe, sore bisa dele adalah hal yang biasa. Oleh karena itu, inkonsisten dalam politik jangan dilawan. Percuma. Selain menyiksa diri sendiri, orang yang seperti ini biasanya sulit berkembang.
Sialnya, kita sering terbawa perasaan (baper) soal inkonsisten dalam politik. Utamanya bagi politikus newbie.
Ganti bupati misalnya. Hal yang wajar ketika ganti bupati ganti kebijakan. Ganti kepala daerah, ganti tagline. Dan ganti pimpinan, ganti kesukaan. Apa yang salah? Itu bagian dari perubahan.
Bayangkan kalau dunia ini tanpa inkonsisten. Atau minimal, bayangkan dirimu sendiri yang tidak ingin berubah, seperti halnya rumus matematika. Saat yang lain satu tambah satu sudah empat, bahkan lima, Anda satu tambah satu masih Jomblo. Heheu… Sedih bukan. Itulah pentingnya inkonsisten.
Melalui catatan yang sangat singkat sejak dalam pikiran ini, saya ingin memberikan gambaran soal inkonsisten dalam politik kepada Anda. Sehingga menjadi generasi yang tidak baperan.
Baru-baru ini, seiring dengan bergantinya bupati yang sudah berjalan kurang lebih enam bulan. Sejumlah inkonsisten mulai tampak di permukaan. Mulai dari pilihan warna cat, tagline, hingga pengambilan kebijakan.
Mengutip filsuf Yunani Heraclitos, mengatakan bahwa satu-satunya yang tidak akan berubah di dunia ini adalah perubahan itu sendiri. Artinya, semua yang ada di planet ini akan berubah. Jangankan soal politik yang urusannya hanya soal kawan, lawan, dan warna. Yang tinggal menuju pelaminan dan menikmati malam pertama, pun bisa gagal.
Untuk itu, anggap saja perubahan dalam setiap rezim adalah hal biasa dan bisa dilakukan oleh siapa saja. Termasuk kalian-kalian yang sekarang lagi baper dengan cat balai desa, kantor kecamatan dan OPD (organisasi perangkat daerah) yang didominasi warna kuning mirip warna Golkar, setelah sepuluh tahun lamanya kalian nyaman dengan warna hijau mirip warna PKB. Mirip lho ya…
Setelah warna cat di ruang publik. Belakang ini juga menghangat soal tagline Kota Tuban Bumi Wali. Mungkinkan tagline Bumi Wali yang selama sepuluh tahun terakhir melekat pada jiwa dan jati diri Kabupaten Tuban ini akan berubah. Jawabannya, mungkin. Sekali lagi saya ingatkan, ini adalah bagian dari ruang inkonsisten yang diberikan negara.
Yang harus kalian tahu, bahwa negara memberikan ruang inkonsisten dalam menjalankan pemerintahan minimal lima tahun dan maksimal sepuluh tahun atau dua periode. Bisa lebih kalau yang jadi kepala daerah lagi, adalah suaminya/istrinya, anaknya, menantunya, saudaranya, keponakannya, dan misanannya. Karenanya, jangan baper, wong negara saja memberikan medium inkonsisten.
Dalam konteks personal, baper karena benci ini sangat berbahaya. Analoginya seperti ini: Misalnya, dalam sebuah organisasi, Anda benci dengan teman Anda yang beda pilihan politik. Anda tim kampanye dari calon A, sedangkan teman Anda tim kampanye dari calon B. Karena Anda kalah, sehingga Anda benci sekali dengan teman Anda tadi. Lalu, dalam sebuah rapat organisasi, teman Anda tadi mengusulkan sebuah ide dan gagasan yang cukup brilian untuk kemajuan organisasi. Pertanyaannya, mungkinkan Anda yang sejak awal tidak suka dengan teman Anda tadi setuju dengan ide dan gagasannya. Alih-alih setuju, Anda pasti masih berpikir tentang keburukan teman Anda. Sebab, sejak awal Anda sudah baper soal kalah pilihan politik. Sehingga, sebagus apapun ide dan gagasannya, dalam hati Anda pasti tidak sepakat.
Bagaiman dengan politik? Sama. Bagi yang baper karena kalah dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) pasti selalu mencari celah kekurangan kepala daerah. Sialnya, tidak semua kritik yang dialamtkan kepada kepala daerah memiliki subtansi dan urgensi sebagai kepentingan bersama. Sebaliknya, setiap apa yang dilakukan pemerintah selalu dianggap salah.
Jika sudah demikian, maka sebagus apapun kebijakan yang dijalankan pasti dipersoalkan. Dan, ini tidak fair, karena yang sebelumnya juga berubah dari yang sebelumnya, pun yang sebelumnya lagi, berubah dari yang sebelum-sebelumnya. Sebab, inkonsisten adalah keniscayaan. Jangan melawan kalau masih baperan. Apalagi, tidak memiliki urgensi terhadap kepentingan rakyat.

*) Wartawan Di Jawa Pos Radar Bojonegoro

Artikel Terkait

Most Read

Server Mendadak Offline, Siswa Panik

Suka Tampil Simple

#TubanMendatang Lebih Baik

Artikel Terbaru


/