26.2 C
Bojonegoro
Tuesday, March 28, 2023

Pilih Kulit Kambing, Penjualan Luar Jawa Timur

- Advertisement -

Nadila Rachma Sahara tertantang membuat kerajinan eco print dengan media kulit. Produknya dipasarkan ke berbagai daerah.

UMUMNYA teknik eco print diaplikasikan di media kain. Namun, kualitas warnanya tidak bertahan lama. Nadila Rachma Sahara lantas mencoba mengaplikasikan teknik eco print di media kulit.
‘’Tahun 2020 saat masih kerja di Sidoarjo, saya nyambi belajar bikin eco print. Kebetulan ketemu komunitas khusus eco print pakai kulit. Saya banyak belajar di situ. Intinya, teknik eco print di media apapun sama saja. Cuma di kulit memang lebih jelimet,’’ ujarnya kepada Jawa Pos Radar Lamongan kemarin (30/11).
Teknik eco print selalu berkembang menyesuaikan dengan medianya. Nadila membutuhkan waktu selama tiga bulan untuk belajar eco print di media kulit. Dia merasa menemukan formula yang pas untuk menciptakan motif-motif alami di permukaan kulit.
Untuk membuat produk eco print di media kulit, Nadila membutuhkan waktu hingga sebulan. ‘’Proses paling lama adalah mengolah kulitnya. Kalau bahan kulit eco print-nya sudah ada, proses jahit produknya tidak akan lama,’’ tuturnya.
Perajin yang tinggal di Desa/Kecamatan Mantup ini menggunakan kulit kambing atau domba. Alasannya, lebih tipis dan berpori. Nadila mencontohkan kulit sapi yang teksturnya lebih tebal. Dia  membutuhkan tenaga yang ekstra saat mengolah untuk eco print
Proses yang dilakukan Nadila, lembaran kulit kambing direndam dalam larutan mordan selama 60 menit agar bisa mengikat warna yang diberikan.
‘’Sambil nunggu rendaman kulit, sebelumnya kami juga merendam kain ke dalam pewarna alami. Minimal satu jam sampai 24 jam,’’ jelasnya.
Jika proses perendaman kulit dan kain selesai, maka kedua bahan tersebut lantas dibentangkan di atas bidang datar. Urutannya selembar kulit, dedaunan dan bunga-bunga untuk membentuk motif, dua lembar kain, lalu ditutup plastik jenis PE. Bahan-bahan tersebut digulung dengan presisi, kemudian dilakban rapat.
Agar warnanya semakin meresap, gulungan kain dan kulit ini dikukus selama 120 menit. ‘’Suhu kukusannya harus dijaga 60 derajat sampai 70 derajat. Kalau kepanasan, bisa ngelinting nanti kulitnya. Tiap 30 menit sekali tutup kukusannya dibuka untung buang uap airnya,’’ terang Nadila.
Gulungan kulit yang selesai dikukus dibentangkan lagi agar kering selama 24 – 28 jam. Selanjutnya, kulit di-finishing menggunakan balsam atau coating agar semakin kinclong dan tidak mudah pudar warnanya.
Jika proses pengolahan kulit sudah dilalui, maka Nadila tinggal menjahit sesuai produk yang dipesan pelanggan.
‘’Awal-awal lebih banyak bikin sepatu. Semakin ke sini, ada yang minta dibikinin tas atau dompet juga saya layani,’’ ujarnya.
Untuk menentukan harga produk eco print kulit ini, Nadila menghitung berdasarkan harga bahan kulit dan jasa jahit. Dia tidak bisa menyamaratakan semua harga karena kebutuhan kulit di setiap produk berbeda-beda.
‘’Apalagi tipikal customer saya nggak pingin warna atau pola kulitnya sama kayak yang lain. Jadi harus custom one by one. Kalau harga bahan kulit mulai Rp 75 ribu tergantung warnanya. Sedangkan jasa jahit mulai Rp 195 ribu,’’ imbuhnya.  
Perempuan 23 tahun ini mengandalkan pemasaran karyanya melalui jejaring komunitas pecinta eco print. ‘’Di Lamongan susah jualnya, antar Jawa Timur juga susah. Pembelinya rata-rata dari Palembang, Lombok, luar-luar pulau. Paling dekat pernah ada pembeli dari Semarang,’’ ungkapnya.
Dia berharap pemerintah setempat memberi perhatian terhadap perajin seperti dirinya agar bisa memperluas pemasaran sekaligus meningkatkan kapasitas produksi.

Nadila Rachma Sahara tertantang membuat kerajinan eco print dengan media kulit. Produknya dipasarkan ke berbagai daerah.

UMUMNYA teknik eco print diaplikasikan di media kain. Namun, kualitas warnanya tidak bertahan lama. Nadila Rachma Sahara lantas mencoba mengaplikasikan teknik eco print di media kulit.
‘’Tahun 2020 saat masih kerja di Sidoarjo, saya nyambi belajar bikin eco print. Kebetulan ketemu komunitas khusus eco print pakai kulit. Saya banyak belajar di situ. Intinya, teknik eco print di media apapun sama saja. Cuma di kulit memang lebih jelimet,’’ ujarnya kepada Jawa Pos Radar Lamongan kemarin (30/11).
Teknik eco print selalu berkembang menyesuaikan dengan medianya. Nadila membutuhkan waktu selama tiga bulan untuk belajar eco print di media kulit. Dia merasa menemukan formula yang pas untuk menciptakan motif-motif alami di permukaan kulit.
Untuk membuat produk eco print di media kulit, Nadila membutuhkan waktu hingga sebulan. ‘’Proses paling lama adalah mengolah kulitnya. Kalau bahan kulit eco print-nya sudah ada, proses jahit produknya tidak akan lama,’’ tuturnya.
Perajin yang tinggal di Desa/Kecamatan Mantup ini menggunakan kulit kambing atau domba. Alasannya, lebih tipis dan berpori. Nadila mencontohkan kulit sapi yang teksturnya lebih tebal. Dia  membutuhkan tenaga yang ekstra saat mengolah untuk eco print
Proses yang dilakukan Nadila, lembaran kulit kambing direndam dalam larutan mordan selama 60 menit agar bisa mengikat warna yang diberikan.
‘’Sambil nunggu rendaman kulit, sebelumnya kami juga merendam kain ke dalam pewarna alami. Minimal satu jam sampai 24 jam,’’ jelasnya.
Jika proses perendaman kulit dan kain selesai, maka kedua bahan tersebut lantas dibentangkan di atas bidang datar. Urutannya selembar kulit, dedaunan dan bunga-bunga untuk membentuk motif, dua lembar kain, lalu ditutup plastik jenis PE. Bahan-bahan tersebut digulung dengan presisi, kemudian dilakban rapat.
Agar warnanya semakin meresap, gulungan kain dan kulit ini dikukus selama 120 menit. ‘’Suhu kukusannya harus dijaga 60 derajat sampai 70 derajat. Kalau kepanasan, bisa ngelinting nanti kulitnya. Tiap 30 menit sekali tutup kukusannya dibuka untung buang uap airnya,’’ terang Nadila.
Gulungan kulit yang selesai dikukus dibentangkan lagi agar kering selama 24 – 28 jam. Selanjutnya, kulit di-finishing menggunakan balsam atau coating agar semakin kinclong dan tidak mudah pudar warnanya.
Jika proses pengolahan kulit sudah dilalui, maka Nadila tinggal menjahit sesuai produk yang dipesan pelanggan.
‘’Awal-awal lebih banyak bikin sepatu. Semakin ke sini, ada yang minta dibikinin tas atau dompet juga saya layani,’’ ujarnya.
Untuk menentukan harga produk eco print kulit ini, Nadila menghitung berdasarkan harga bahan kulit dan jasa jahit. Dia tidak bisa menyamaratakan semua harga karena kebutuhan kulit di setiap produk berbeda-beda.
‘’Apalagi tipikal customer saya nggak pingin warna atau pola kulitnya sama kayak yang lain. Jadi harus custom one by one. Kalau harga bahan kulit mulai Rp 75 ribu tergantung warnanya. Sedangkan jasa jahit mulai Rp 195 ribu,’’ imbuhnya.  
Perempuan 23 tahun ini mengandalkan pemasaran karyanya melalui jejaring komunitas pecinta eco print. ‘’Di Lamongan susah jualnya, antar Jawa Timur juga susah. Pembelinya rata-rata dari Palembang, Lombok, luar-luar pulau. Paling dekat pernah ada pembeli dari Semarang,’’ ungkapnya.
Dia berharap pemerintah setempat memberi perhatian terhadap perajin seperti dirinya agar bisa memperluas pemasaran sekaligus meningkatkan kapasitas produksi.

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru

Ingin Jadi Akuntan

Sudah Terima Nama 623 CJH

Tayub Blora Masih Eksis


/