23.8 C
Bojonegoro
Friday, June 9, 2023

Terpanggil Mengabdi, Abaikan Larangan sang Ayah

- Advertisement -

PRIHATIN dengan anak berkebutuhan khusus (ABK), nurani Fika Kurniawati tergugah untuk mengabdi menjadi guru Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) Tumbrasanom, Kecamatan Kedungadem. Baginya, ABK butuh bimbingan dan didikan seperti anak normal lainnya.
Fika Kurniawati mendidik anak berkebutuhan khusus sejak 2017 atau dua tahun lalu. Ketika itu, dia tengah menyelesaikan studi akhir pendidikan luar biasa di Universitas Negeri Surabaya (Unesa). ”Jadi,  seminggu sekali bolak-balik untuk mengajar sekaligus mengerjakan skripsi,” ujar dia ketika ditemui di rumahnya Desa Sidomulyo, Kecamatan Kedungadem.

Tak banyak generasi milenial yang mengabdi menjadi guru SDLB. Itu karena mendidik ABK dibutuhkan kesabaran dan energi ekstra. Masa depan pendidik ABK juga tidak secerah semangatnya mengabdi.

Tantangan berat dan risiko tersebut sudah dipahami Fika. Karena itulah, setelah lulus SMA, dia memutuskan mengambil studi pendidikan luar biasa di Unesa. ”Betapa malangnya anak-anak jika tidak ada orang yang mau mengajar,” tuturnya.

Ketika memutuskan mendalami studi ilmu pendidikan luar biasa, ayahnya sempat menentang. Pendidikan tersebut dianggap tidak memiliki prospek masa depan. Fika pun disarankan mengambil prodi matematika, akuntansi, atau ekonomi yang memiliki jalur linier dengan karir di dunia perbankan.
”Pendirian saya teguh,” kenang dia. Fika kemudian menyebut dua sosok yang meneguhkan hatinya. Yakni, salah satu guru di SMA-nya dan seorang pewarta televisi. Mereka inilah yang memberi masukan terkait studi tersebut.
Untuk meluluhkan hati sang ayah, Fika  harus berjuang keras. Mulai menunjukkan keseriusannya hingga menyampaikan hal yang mendasarinya mengambil jurusan tersebut.

Setelah dia menunjukkan keteguhan hatinya, ayah Fika memutuskan merestui. ”Alhamdulillah, saya diterima jurusan pendidikan luar biasa di Unesa pada 2014 melalui jalur Bidik Misi,” tutur dia.

- Advertisement -

Setelah diterima, ayahnya yang semula menentang malah mendukung. Dia juga sering memotivasinya ketika semangatnya kendur. Perjalanan Fika mendalami ilmu yang tak banyak diminati generasi milenial itu mendapat cobaan berat. Pada tahun kedua ayahnya meninggal. Selain kehilangan sosok yang selalu menyemangati, meninggalnya ayah Fika menjadikan ekonomi keluarganya berdampak serius. Untuk mencukupi kebutuhan hidup di Surabaya, dia harus bekerja paro waktu.

Pada semester akhir, dara berjilbab ini memutuskan untuk menerapkan ilmunya di SDLB Tumbrasanom, Kecamatan Kedungadem, kampung halamannya.

Sesuai fokus studinya, dia khusus mengajar anak-anak tuna rungu. Meski menghadapi kendala dalam menerapkan ilmunya ketika mengajar, dia mengaku mampu mengatasinya. ”Saya memiliki pengetahuan tentang cara mengidentifikasi dan menanganinya,” ujar dara 22 tahun yang mahir bahasa isyarat itu.

Karena sudah memutuskan mengabdi pada ABK, Fika mengaku merasa nyaman dan bahagia di sekitar mereka. Bahkan, dia mendapat banyak pelajaran berharga dari anak-anak berkebutuhan khusus itu. Salah satunya semangat dalam belajar dan menjalani hidup. ”Melihat itu, saya terkadang malu jika melihat diri sendiri sering mengeluh,” ucap dara berjilbab itu.
Dikatakan Fika, dengan segala keterbatasan, mereka masih bisa tersenyum, saling membantu sesama teman, dan tidak pernah mengeluh. 
Semangat anak-anak berkebutuhan khusus itu pula yang menjadi motivasi hidupnya.

Berdasarkan ilmu yang dipelajari dan pengamalan dua tahun mengajar, menurut dia, anak-anak tersebut tak butuh belas kasihan. ”Mereka hanya butuh perhatian dan pendidikan,” tegas dia. Meski memiliki kekurangan, anak-anak berkebutuhan khusus juga memiliki potensi keahlian. ”Mereka juga ingin membuktikan prestasi sesuai kemampuannya,” kata dia.

PRIHATIN dengan anak berkebutuhan khusus (ABK), nurani Fika Kurniawati tergugah untuk mengabdi menjadi guru Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) Tumbrasanom, Kecamatan Kedungadem. Baginya, ABK butuh bimbingan dan didikan seperti anak normal lainnya.
Fika Kurniawati mendidik anak berkebutuhan khusus sejak 2017 atau dua tahun lalu. Ketika itu, dia tengah menyelesaikan studi akhir pendidikan luar biasa di Universitas Negeri Surabaya (Unesa). ”Jadi,  seminggu sekali bolak-balik untuk mengajar sekaligus mengerjakan skripsi,” ujar dia ketika ditemui di rumahnya Desa Sidomulyo, Kecamatan Kedungadem.

Tak banyak generasi milenial yang mengabdi menjadi guru SDLB. Itu karena mendidik ABK dibutuhkan kesabaran dan energi ekstra. Masa depan pendidik ABK juga tidak secerah semangatnya mengabdi.

Tantangan berat dan risiko tersebut sudah dipahami Fika. Karena itulah, setelah lulus SMA, dia memutuskan mengambil studi pendidikan luar biasa di Unesa. ”Betapa malangnya anak-anak jika tidak ada orang yang mau mengajar,” tuturnya.

Ketika memutuskan mendalami studi ilmu pendidikan luar biasa, ayahnya sempat menentang. Pendidikan tersebut dianggap tidak memiliki prospek masa depan. Fika pun disarankan mengambil prodi matematika, akuntansi, atau ekonomi yang memiliki jalur linier dengan karir di dunia perbankan.
”Pendirian saya teguh,” kenang dia. Fika kemudian menyebut dua sosok yang meneguhkan hatinya. Yakni, salah satu guru di SMA-nya dan seorang pewarta televisi. Mereka inilah yang memberi masukan terkait studi tersebut.
Untuk meluluhkan hati sang ayah, Fika  harus berjuang keras. Mulai menunjukkan keseriusannya hingga menyampaikan hal yang mendasarinya mengambil jurusan tersebut.

Setelah dia menunjukkan keteguhan hatinya, ayah Fika memutuskan merestui. ”Alhamdulillah, saya diterima jurusan pendidikan luar biasa di Unesa pada 2014 melalui jalur Bidik Misi,” tutur dia.

- Advertisement -

Setelah diterima, ayahnya yang semula menentang malah mendukung. Dia juga sering memotivasinya ketika semangatnya kendur. Perjalanan Fika mendalami ilmu yang tak banyak diminati generasi milenial itu mendapat cobaan berat. Pada tahun kedua ayahnya meninggal. Selain kehilangan sosok yang selalu menyemangati, meninggalnya ayah Fika menjadikan ekonomi keluarganya berdampak serius. Untuk mencukupi kebutuhan hidup di Surabaya, dia harus bekerja paro waktu.

Pada semester akhir, dara berjilbab ini memutuskan untuk menerapkan ilmunya di SDLB Tumbrasanom, Kecamatan Kedungadem, kampung halamannya.

Sesuai fokus studinya, dia khusus mengajar anak-anak tuna rungu. Meski menghadapi kendala dalam menerapkan ilmunya ketika mengajar, dia mengaku mampu mengatasinya. ”Saya memiliki pengetahuan tentang cara mengidentifikasi dan menanganinya,” ujar dara 22 tahun yang mahir bahasa isyarat itu.

Karena sudah memutuskan mengabdi pada ABK, Fika mengaku merasa nyaman dan bahagia di sekitar mereka. Bahkan, dia mendapat banyak pelajaran berharga dari anak-anak berkebutuhan khusus itu. Salah satunya semangat dalam belajar dan menjalani hidup. ”Melihat itu, saya terkadang malu jika melihat diri sendiri sering mengeluh,” ucap dara berjilbab itu.
Dikatakan Fika, dengan segala keterbatasan, mereka masih bisa tersenyum, saling membantu sesama teman, dan tidak pernah mengeluh. 
Semangat anak-anak berkebutuhan khusus itu pula yang menjadi motivasi hidupnya.

Berdasarkan ilmu yang dipelajari dan pengamalan dua tahun mengajar, menurut dia, anak-anak tersebut tak butuh belas kasihan. ”Mereka hanya butuh perhatian dan pendidikan,” tegas dia. Meski memiliki kekurangan, anak-anak berkebutuhan khusus juga memiliki potensi keahlian. ”Mereka juga ingin membuktikan prestasi sesuai kemampuannya,” kata dia.

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru


/