Radar Bojonegoro – Sosok Agen Polisi (AP) I Rawi layak dikenang. Dia gugur di medan perang saat menghadang pasukan Belanda di Desa Trenggulunan, Kecamatan Ngasem pada 1949.
Di desa tersebut juga ada monumen tugu sebagai tanda gugurnya sang pahlawan. Sedangkan, pusara AP I Rawi berada di Taman Makam Pahlawan (TMP) Bojonegoro.
Jawa Pos Radar Bojonegoro di Hari Bhayangkara ke 74 ini mengulas sosok AP I Rawi lebih dari dekat dari sudut pandang literatur sejarawan.
Salah satu sumber literatur ialah buku Bojonegoro Bercerita (Kumpulan Esai), yang terbit pada 2019 lalu. Penulis buku tersebut Rina Umronnifah, dan Achmad Satria Utama.
Terkhusus kisah AP I Rawi ditulis Achmad Satria Utama, seorang guru sejarah SMAN 1 Dander. Satria menuliskan ketika Indonesia menyatakan merdeka pada 17 Agustus 1945, beberapa warga Bojonegoro baru menerima berita kemerdekaan itu pada 21 Agustus 1945. Namun, salah satu penjajah Belanda tak ingin tinggal diam.
Pasukan negara kincir angin tersebut kembali masuk ke Indonesia dengan membonceng sekutu mengatasnamakan NICA (Netherlands Indies Civil Adminitration).
Masuknya Belanda tentu menimbulkan resistensi warga Indonesia. Bentrokan di berbagai daerah terjadi. Puncaknya pertempuran Surabaya pada 10 November 1945, menandai mulainya perjuangan rakyat semesta.
Bahkan pertempuran Surabaya tersebut memantik amarah warga Bojonegoro. Sehingga secara spontan membentuk laskar-laskar pejuang rakyat guna mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
“Apalagi ditambah dengan adanya Agresi Militer I pada 20 Juli 1947 lalu disusul Agres Militer II pada 19 Desember 1948. Pejuang-pejuang di Bojonegoro sepakat angkat senjata,” tulisnya.
Satria bercerita melalui bukunya, sekitar 21 tahun sebelum peristiwa perang antara polisi Mobil Brigade (Mobrig) dengan pasukan Belanda terjadi pada 1949 lahir seorang bocah lakilaki bernama Rawi.
Bocah itu lahir di Kelurahan Karangpacar, Kecamatan Bojonegoro pada 1928. Rawi merupakan anak pertama dari delapan bersaudara pasangan Ngadenan dan Ramlah.
Seluruh anggota keluarga Rawi beragama Islam. Tujuh saudara Rawi di antaranya Rasiyem, Saleh, Aminah, Rais, Rahmat, Ramli, dan Asini.
Satria mendapatkan informasi tersebut mengutip dari skripsi Erlambang Aji Candra berjudul Peranan AP I Rawi dalam Perjuanagn Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia di Bojonegoro pada 1947-1949. Skripsi itu dibuat pada 2015 lalu.
Rawi tergolong dari keluarga menengah ke bawah. Ayahnya Ngadenan berasal dari Kalitidu dan sehari-hari bekerja sebagai kusir. Sedangkan ibunya Ramlah bekerja sebagai penjual perlengkapan pertanian.
Sosok Rawi dikenal pekerja keras dan tanggung jawab. Karena sebagai anak sulung, Rawi harus jadi panutan baik bagi adik-adiknya. Rawi menyelesaikan studi di Sekolah Rakyat pada 1945.
Sebelumnya, Rawi juga pernah bergabung dalam organisasi semi militer buatan Jepang yakni seinendan dan keibodan. Masa mudanya digembleng menjadi seorang pasukan. Rawi semakin yakin menjadi pasukan sekaligus pejuang bagi Indonesia.
AP I Rawi akhirnya menjadi anggota polisi dan mengikuti pendidikan polisi di Padangan selama lima bulan dan lulus pada 1946. Saat awal masuk, pangkatnya masih AP II. Lalu, pada 1947 AP I Rawi ditugaskan menjaga status quo daerah Lamongan membantu Batalyon Djarot.
Ketika menginjak usia 19 tahun, AP I Rawi masuk sebagai anggota Mobrig Karesidenan Bojonegoro dan naik pangkat jadi AP I. Karena sosoknya pemberani dan bisa menjadi teladan, AP I Rawi ditunjuk sebagai pemimpin seksi ketika terjadi perang gerilya melawan pasukan Belanda pada 1948.
Adapun daerah operasi terdiri atas Kalitidu, Ngasem, Bubulan, dan Purwosari. Pada Desember 1948, seluruh anggota kompi diperintahkan untuk melakukan perlawanan secara gerilya. Anggota kompi dibagi menjadi tiga bagian. Seksi I dipimpin Komandan Polisi Abdul Rahman, bertugas meng hadang pasukan Belanda di daerah Clangap, Desa Sumengko, Kecamatan Kalitidu. Seksi II dipimpin AP I Rawi, menghadang di daerah Kalitidu, Ngasem, dan Purwosari.
“Sedangkan Seksi III, dipimpin oleh Komandan Polisi R. Soedjono bergerilya sebagai pasukan penghadang di daerah Bubulan,” katanya.
Pada Maret 1949, AP I Rawi ditunjuk sebagai pemimpin pasukan stroot troopen (pasukan penyerang) melakukan penghadangan di Jalan Raya Bojonegoro-Cepu daerah Clangap, Desa Sumengko, Kecamatan Kalitidu. AP I Rawi bersama anggotanya berhasil menghancurkan satu truk milik pasukan Belanda.
Namun karena kekuatan pasukan Belanda sangat kuat berhasil menyerang balik dan menduduki wilayah Kalitidu. Sehingga, AP I Rawi menghindar hingga daerah Ngasem.
Pada Mei 1949, AP I Rawi berpatroli di Desa Wadang, Kecamatan Ngasem dan sempat mengalami pertempuran dengan pasukan Belanda. Karena merasa terjepit, AP I Rawi bersama anggotanya mengungsi di sekitar Desa Kalitidu.
Di tempat persembunyian, AP I Rawi menemukan beberapa benda dari pasukan Belanda. “Benda yang ditemukan satu magasin berisi peluru bren dan sepatu,” ucapnya.
Ternyata kondisi semakin tak membaik karena kekuatan tidak seimbang. AP I Rawi dan anggotanya memutuskan mengungsi lagi ke arah selatan daerah Ngasem.
Pusat komando kompi pun dipindahkan ke Desa Deling. Pada 9 Agustus 1949 siang, AP I Rawi dan Komandan Polisi Abdul Rahman bersama seluruh anggotanya beristirahat di Desa Trenggulunan.
Mereka menerima laporan bahwa pasukan Belanda sedang menuju Desa Trenggulunan. Pada sore hari pasukan Belanda sebanyak 22 orang di bawah pimpinan Letnan Asmax bergerak melewati Desa Trenggulunan dan berpapasan dengan AP I Rawi dan anggotanya.
Terjadilah pertempuran besar antara satu peleton AP I Rawi yang juga dibantu masyarakat sekitar dengan pasukan Belanda dengan senjata lengkap.
Saat perang, AP I Rawi mencoba memojokkan pasukan Belanda dengan taktik gerilya. Karena pasukan Belanda secara geografis tidak menguasai medan.
Tetapi strategi pasukan Belanda dengan cara pengepungan dari berbagai sisi. Sehingga satu peleton AP I Rawi terjepit pada pertempuran yang kurang lebih berlangsung selama 30 menit.
Bunyi tembakan dan ledakan mesiu pun tak terhindarkan bahkan hingga terdengar dari jarak beberapa kilometer. AP I Rawi lengah, pasukan Belanda mengepung dari sisi belakang dan menembakan senapannya secara beruntun.
Akhirnya, AP I Rawi gugur dalam peperangan tersebut terkena tembakan. “AP I Rawi akhirnya gugur karena tertembak oleh pasukan Belanda di Desa Trenggulunan, Kecamatan Ngasem,” terangnya.
Sementara itu, sebelum AP I Rawi ditunjuk menjadi pemimpin peleton, pemuda berusia 21 tahun itu menikah dengan seorang perempuan yang akrab disapa Nyai.
Perempuan itu merupakan anak dari Inspektur Polisi Tingkat II R Soeprapto selaku komandan kompi polisi Karesidenan Bojonegoro.
Pernikahan itu terjadi juga karena R Soeprapto tertarik dengan kepribadian AP I Rawi yang tegas dan bertanggungjawab. Namun, dari pernikahan tersebut, AP I Rawi tidak memiliki keturunan. Karena ketika istrinya mengalami keguguran saat hamil berusia empat bulan.