25.4 C
Bojonegoro
Monday, March 27, 2023

Afif Fahroni, TKI di Korea Selatan Nekat Pulang Demi Ikut UNBK Paket C

- Advertisement -

BOJONEGORO – Suasana jalan raya cenderung sepi ketika melintas jalur Bojonegoro-Babat pada Minggu (29/4) lalu. Ketika di jalan paling sering bersimpangan dengan kendaraan-kendaraan besar dengan suara klakson yang bersahut-sahutan. Kepulan asap hitam pun tak terelakkan. Rencananya saat itu hendak berkunjung ke Desa Simbatan, Kecamatan Kanor, perjalanan sepeda motor sekitar 15 menit dari perkotaan. 

Muhammad Afif Fahroni, namun lebih akrab disapa dengan panggilan Harno. Dia begitu ramah menyambut kedatangan Jawa Pos Radar Bojonegoro. Dia pun bercerita baru selesai mengerjakan UNBK paket C di wilayah Kecamatan Sumberrejo sekitar pukul 11.30 pada Minggu (29/4) lalu. Harno mengaku mengambil cuti selama 14 hari demi mengikuti UNBK paket C. Jatah cuti tahunannya diambil lebih awal, sehingga saat Lebaran dirinya tak bisa ambil cuti lagi. “Risikonya saya tidak bisa cuti ketika Lebaran, tetapi mau bagaimana lagi sudah konsekuensinya,” ujarnya.

Pria kelahiran 1978 itu tidak sendirian mengerjakan UNBK paket C tersebut, dia ikut bersama sang istri yang juga hanya lulusan SMP. Alasan utama dia ikut UNBK paket C ternyata bukan untuk menaikkan derajat pekerjaannya ketika bekerja di Korea Selatan. Ternyata dia hanya ingin memanfaatkan program pemerintah untuk menyamaratakan pendidikan terakhir warganya. Sebab, selama 7 tahun bekerja di Korea Selatan, dia hanya menggunakan ijazah SMP. “Karena memang ijazah minimal SMP,” ujarnya. 

Dirinya pun kini jabatannya bukan tenaga kasar lagi, tetapi sudah menjadi bagian quality control (QC) di sebuah perusahaan produsen valve S&W. 

Uniknya, Harno berpikiran jangka panjang terhadap jenjang pendidikannya yang nantinya pasti memiliki dampak bagi hidupnya. Bapak dua anak itu juga memikirkan nasib anaknya yang kelak di angan-angannya mewajibkan orang tuanya berpendidikan  minimal SMA agar bisa memeroleh pekerjaan atau sekolah. “Hal yang saya percaya ialah ciri negara maju tentu lulusan SD atau SMP sangat minim, jadi saya tak mau sia-siakan kesempatan keseteraan paket C tersebut,” tuturnya. Ketika disinggung apakah ada alasan lain, dia tetap menjawab tidak ada tendensi lain.

- Advertisement -

Dia pun berencana menghabiskan kontraknya tahun ini dan pulang ke Bojonegoro. Sebab dirinya di rumah punya usaha pandai besi memproduksi arit. Kini, dia sudah memiliki empat karyawan. Jadi, ke depannya dia ingin mengembangkan usaha yang telah dirintisnya sejak 2000-an. “Awal ingin jadi TKI ialah ingin membangun rumah dan membesarkan usaha, jadi kalau sudah cukup modalnya, saya memutuskan untuk menyelesaikan kontraknya,” tuturnya. Sebab, dulu ketika menjadi seorang buruh pandai besi, dia hanya memeroleh gaji Rp 70 ribu per hari. “Dulu dengan gaji segitu tentu untuk meraih keinginan atau cita-cita sangat lambat jalannya, karena itu saya jadi TKI,” katanya.

Selain itu, dia juga menyadari mencari pekerjaan di Bojonegoro itu sulit. Jadi, idealnya membuka lapangan pekerjaan sendiri. Harno juga sudah banyak langganan dari berbagai kota. Setidaknya, skill yang dia miliki terus dia kembangkan. “Kebetulan ketika di Korea Selatan, pekerjaan saya juga berurusan dengan besi,” katanya. 

Bagi dia, tetap lebih enak kerja di Indonesia, tetapi kalau urusan gaji memang yang belum bisa dikatakan layak. “Selama kerja di Korea Selatan untungnya saya ada senior yang membimbing, jadi ada yang mengajari, tetapi ada kawan yang tidak ada pendampingnya, setiap hari pasti dimarahi,” pungkasnya.

BOJONEGORO – Suasana jalan raya cenderung sepi ketika melintas jalur Bojonegoro-Babat pada Minggu (29/4) lalu. Ketika di jalan paling sering bersimpangan dengan kendaraan-kendaraan besar dengan suara klakson yang bersahut-sahutan. Kepulan asap hitam pun tak terelakkan. Rencananya saat itu hendak berkunjung ke Desa Simbatan, Kecamatan Kanor, perjalanan sepeda motor sekitar 15 menit dari perkotaan. 

Muhammad Afif Fahroni, namun lebih akrab disapa dengan panggilan Harno. Dia begitu ramah menyambut kedatangan Jawa Pos Radar Bojonegoro. Dia pun bercerita baru selesai mengerjakan UNBK paket C di wilayah Kecamatan Sumberrejo sekitar pukul 11.30 pada Minggu (29/4) lalu. Harno mengaku mengambil cuti selama 14 hari demi mengikuti UNBK paket C. Jatah cuti tahunannya diambil lebih awal, sehingga saat Lebaran dirinya tak bisa ambil cuti lagi. “Risikonya saya tidak bisa cuti ketika Lebaran, tetapi mau bagaimana lagi sudah konsekuensinya,” ujarnya.

Pria kelahiran 1978 itu tidak sendirian mengerjakan UNBK paket C tersebut, dia ikut bersama sang istri yang juga hanya lulusan SMP. Alasan utama dia ikut UNBK paket C ternyata bukan untuk menaikkan derajat pekerjaannya ketika bekerja di Korea Selatan. Ternyata dia hanya ingin memanfaatkan program pemerintah untuk menyamaratakan pendidikan terakhir warganya. Sebab, selama 7 tahun bekerja di Korea Selatan, dia hanya menggunakan ijazah SMP. “Karena memang ijazah minimal SMP,” ujarnya. 

Dirinya pun kini jabatannya bukan tenaga kasar lagi, tetapi sudah menjadi bagian quality control (QC) di sebuah perusahaan produsen valve S&W. 

Uniknya, Harno berpikiran jangka panjang terhadap jenjang pendidikannya yang nantinya pasti memiliki dampak bagi hidupnya. Bapak dua anak itu juga memikirkan nasib anaknya yang kelak di angan-angannya mewajibkan orang tuanya berpendidikan  minimal SMA agar bisa memeroleh pekerjaan atau sekolah. “Hal yang saya percaya ialah ciri negara maju tentu lulusan SD atau SMP sangat minim, jadi saya tak mau sia-siakan kesempatan keseteraan paket C tersebut,” tuturnya. Ketika disinggung apakah ada alasan lain, dia tetap menjawab tidak ada tendensi lain.

- Advertisement -

Dia pun berencana menghabiskan kontraknya tahun ini dan pulang ke Bojonegoro. Sebab dirinya di rumah punya usaha pandai besi memproduksi arit. Kini, dia sudah memiliki empat karyawan. Jadi, ke depannya dia ingin mengembangkan usaha yang telah dirintisnya sejak 2000-an. “Awal ingin jadi TKI ialah ingin membangun rumah dan membesarkan usaha, jadi kalau sudah cukup modalnya, saya memutuskan untuk menyelesaikan kontraknya,” tuturnya. Sebab, dulu ketika menjadi seorang buruh pandai besi, dia hanya memeroleh gaji Rp 70 ribu per hari. “Dulu dengan gaji segitu tentu untuk meraih keinginan atau cita-cita sangat lambat jalannya, karena itu saya jadi TKI,” katanya.

Selain itu, dia juga menyadari mencari pekerjaan di Bojonegoro itu sulit. Jadi, idealnya membuka lapangan pekerjaan sendiri. Harno juga sudah banyak langganan dari berbagai kota. Setidaknya, skill yang dia miliki terus dia kembangkan. “Kebetulan ketika di Korea Selatan, pekerjaan saya juga berurusan dengan besi,” katanya. 

Bagi dia, tetap lebih enak kerja di Indonesia, tetapi kalau urusan gaji memang yang belum bisa dikatakan layak. “Selama kerja di Korea Selatan untungnya saya ada senior yang membimbing, jadi ada yang mengajari, tetapi ada kawan yang tidak ada pendampingnya, setiap hari pasti dimarahi,” pungkasnya.

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru

Beri Vitamin Tiga Hari Sekali

Bersepeda untuk Jaga Kesehatan


/